Lagi-lagi, tulisan yang pernah aku buat untuk dikirimkan ke projek menulis teman-teman alumni Sampoerna School of Education (SSE) beberapa tahun lalu. Sayangnya, tidak lolos untuk dibukukan bersama tulisan teman-teman lainnya. Entah karena waktu itu aku terlambat menyelsaikan, atau karena tidak memenuhi kriteria standar. Tak apa. Sekarang, menarik juga untuk aku baca.
Date modified 10/11/2019 09:15 PM
Sudah setengah tahun aku bekerja sebagai
Content Analyst di sebuah perusahaan multi nasional di Kuala Lumpur, Malaysia.
Tugas utamaku adalah menganalisa penggunaan sosial media oleh masyarakat,
khususnya di Indonesia, dengan berbagai kepentingan yang mereka miliki. Selama
melakukan pekerjaan ini, aku harus melihat dan mengkaji banyak hal, dari yang sangat
aku sukai sampai yang aku tidak suka dan bahkan terkadang sangat menggangguku. Beberapa
hal yang menggangguku adalah seperti kekerasan pada anak dan/atau binatang, dan
intimidasi dan pelecehan terhadap seseorang. Aku masih ingat sekali ketika ada
seorang ibu tua yang dipermalukan oleh sekelompok orang hanya karena ibu tua
tersebut ketahuan mencoba mencuri sekarung beras dari sebuah toko. Aku sama
sekali tidak sanggup melihatnya sampai sampai aku pun menangis dan butuh waktu
sejenak untuk menenangkan diri. Sampai saat ini, aku melihat berbagai macam
kejahatan satu demi satu yang nyata terjadi di luar sana, bukan hanya di film
buatan. Ternyata, banyak orang di luar sana yang sangatlah kejam dan tidak
punya hati.
Berangkat dari peristiwa di atas, aku
menemui seorang psikolog yang memang sudah di sediakan pihak perusahaan jika
sewaktu-waltu ada karyawan yang membutuhkan. Aku pun mulai menceritakan hal di
atas dan beberapa peristiwa lainnya yang aku temui dan sangatlah menggangguku.
Tidak bisa tertahankan lagi, aku pun bercerita dengan penuh tangisan
melampiaskan perasaanku. Setelah bercerita, psikolog mulai mengajakku
berdiskusi dan aku belajar sesuatu dari sini. Dia menjelaskan bahwa pada
dasarnya segala apapun yang aku lihat adalah peristiwa yang sudah terjadi, dan
aku tidak punya daya ataupun upaya sama sekali untuk mencegahnya ketika aku
melihat. Kepedulianku yang sangat tinggi dan keinginanku untuk mencegahnya ternyata
bergesekan dengan ketidakberdayaanku saat aku melihatnya sehingga membuatku
merasa sangat sedih. Psikolog pun memberikan saran supaya aku lebih terbuka
dengan hal-hal yang tidak aku inginkan terjadi tetapi sudah terjadi.
Setelah obrolan dengan psikolog di atas,
aku masih terus merenungkan apa yang kami bicarakan, terutama mengenai kenapa
aku selalu melibatkan diriku jauh kedalam berbagai situasi yang aku lihat.
Tidak lama kemudian aku ingat serangkaian ‘refleksi’ yang seringkali menjadi
bagian dari proses belajar dan tidak jarang menjadi tugas selama aku di
Sampoerna. Aku masih ingat jelas pertanyaan yang biasanya dijadikan panduan
seperti apa yang kamu ketahui
sebelumnya?; apa yang tidak kamu ketahui sebelumnya?; apa yang kamu ketahui
sekarang?; dan, apa langkah kamu selanjutnya? Ternyata, bahkan tanpa aku
sadari, serangkaian proses refleksi ini telah membentukku menjadi pribadi reflektif
saat ini dengan rasa empati dan simpati sangat tinggi terhadap hal-hal yang
terjadi di sekitar sehingga kepedulian ini menjadi pendorong untuk melakukan
perubahan di masa yang akan datang.
Seperti obrolan dengan psikolog sebelumnya,
segala hal yang tidak aku inginkan terjadi di luar sana sudahlah terjadi dan
saat ini aku sudah tidak dapat melakukan apapun untuk hal itu, tetapi aku masih
punya masa depan yang bisa aku rubah. Aku mungkin tidak bisa melakukan apapun
dengan kejahatan-kejahatan yang aku lihat selama aku mengkaji penggunaan sosial
media di segala penjuru Indonesia, tetapi bukan berarti aku tidak bisa
melakukan apa-apa. Aku pun mulai bertanya kepada diriku sendiri tentang apa
yang bisa aku lakukan dan aku jangkau dengan kesempatan yang ada di sekitarku
dan kesempatan yang aku miliki. Dari berbagai isu yang ada di sekitar adalah terkait
para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia. Aku menemukan berbagai macam
permasalahan yang terjadi termasuk kekerasan oleh majikan dan gaji yang lebih
rendah dibandingkan pekerja asal negara lain yang disebabkan keterbatasan
kemampuan Bahasa Inggris mereka. Oleh karena itu, aku pun memutuskan untuk menjadi
bagian dari Edukasi untuk Bangsa sebagai salah satu tenaga pengajar Bahasa
Inggris di sana, dan membantu pengembangan program Bahasa Inggris di Indonesia
Domestic Worker Federation untuk para Pekerja Rumah Tangga (PRT).
Aku yakin pribadi reflektif ini tidak hanya
terbentuk dalam diriku sendiri, tetapi juga pada semua teman-temanku di
berbagai profesi yang mereka tekuni saat ini dimanapun mereka berada.
No comments:
Post a Comment
Thank you for the comment.