Selasa, 22 April
2014
Baiklah, aku
memutuskan hal yang aku pelajari saja, tidak harus semua kegiatan di hari ini
akan kuceritakan.
Pagi-pagi
sekali terdengar suara berisik mesin di
depan ruumah. Karena aku mengantuk, jadi tetap melanjutkan tidur tanpa
memperdulikan suara gemuruh itu. Setelah dibangunkan oleh teman-teman untuk
sarapan, aku langsung bangun dan makan. Setelah itu kami langsung menuju ke
lantai dua masjid (tempat kami melaksanakan program perpustakaan). Dan ternyata suara berisik itu berasal dari mesin penggiling
padi di depan rumah. Mesin sudah berhenti bekerja ketika aku hampiri. Mas ikin
sudah berdiri disitu dari tadi sepertinya. Setelah menimbang beras hasil
penggilingan, Mang Empu (salah satu putra Mak Um dan juga tinggal satu rumah dengan Mak Um, tepat bersebelahan dengan base camp kami. Mang Empu tidak lain adalah kakak laki-laki Bu Iik) memberikan sejumlah uang ke si akang penggiling. Mas Ikin pun bertanya ke Mang Empu berapa jumlah pembayaran unntuk menggiling. Beliau menjawab, 5000
per kg. kami pun bercakap-cakap sedikit dengan si akang penggiling.
Mobil penggiling
keliling berjalan mengelilingi desa kalau-kalau ada yang mau menggiling.
'Dedak' atau bubuk kulit padinya dimiliki oleh si penggling, katanya untuk
pakan kuda. Dedak dari penggiling di pabrik katanya lebih halus diibandingkan
dengan hasil penggiling berjalan. Entah karena apa, kami tidak menanyakannnya. Tapi mungkin karena kualitas mesin itu sendiri. Setelah itu ada seorang nenek yang tampaknya baru saja dari sawah ingin
membeli kotoran penggiling tersebut untuk pakan bebek katanya. Ia membeli Rp 5.000 dan memberikan kantong ke si akang penggiling. Dan si nenek ngomel
terus menerus karena yang diberikan hanya sedikit. Masih terus saja mengomel
karena yang jumlah yang didapatkannya bisasanya Rp 5.000 untuk 2 kg. tapi ini
mungkin hanya 1 kg saja. Sambil membereskan mesin penggiling, kedua akang penggiling mengacuhkan si nenek. Dan mungkin karena mereka tidak tahan dengan omelan si
nenek, si akang mengembalikan uang Rp 5.000 dan meminta nenek untuk memberikannya Rp 3.000. Si nenek langsung mencari-cari di dompet berwarna hitam dengan risleting
putih. Tampaknya tidak terlalu ada banyak uang didalamnya. Nenek hanya
menemukan uang Rp 2.000 dan menukarkan uangnya pada saya. Karena saya tidak sedang
membawa uang, saya minta tolong kepada Eko dan Ikin yang juga ada didekat situ
untuk mengambilkan uang. Setelah uang sudah ditukar, nenek langsung memberikan Rp 3.000 ke akang penggiling dan menuju pulang. Si akang pun pergi menggunakan mobil
penggilingnya. Oya, setelah si nenek pergi, Mang Empu mengatakan si nenek setelah dari
sawah untuk mencari '……..' haduh, aku lupa istilahnya. Ini adalah padi yang
tumbuh lagi setelah tanaman padi yang sebenarnya sudah di panen. Biasanya
setelah di panen, batang padi yang ditinggalkan akan tumbuh lagi beberapa dan
juga menghasilkan buah. Hasilnya tidak sebagus padi utama kata Mang Empu.
Kami menuju
perpustakaan bersama Abah, ternyata kuncinya masih di SD (gedung perpustakaan sebelumnya yang menjadi sasaran kemarahan warga dan dibakar). Jadi, si Abah meminta
tolong ke beberapa orang yang ada di sekitar situ (bapak-bapak) untuk
mengambilkan kuncinya. Dari situ aku melihat betapa besarnya peran si Abah.
Setiap orang dengan senang hati membantu, kecuali beberapa pihak yang tidak
usah saya sebutkan.
Karena kunci tidak
juga ditemukan, maka pintu pun dicongkel dan kami bisa masuk. Kemudian kami
mulai membersihkannya sampai waktu dhuhur dan kemudian pulang untuk
bersih-bersih dan sholat dhuhur. Kemudian setelah makan siang kami kembali lagi
ke perpustakaan lantai dua untuk melanjutkan bersih-bersih. Dan karpet pun sudah terpasang dengan
rapi dan sisanya dilanjutkan esok hari.
No comments:
Post a Comment
Thank you for the comment.