Kata
“agama” memiliki definisi yang sangat beragam. Kata agama yang disebut juga
dengan “religion” berasal dari bahasa Latin yang berarti “keyakinan yang baik”,
“ritual”. Manusia beragama untuk memiliki panduan nilai-nilai moral dalam
menghadapi kehidupan dan kesengsaraan untuk mencapai kebebasan/surga. Nilai kebenaran
dalam sebuah agama hanya terbatas pada teks yang menerangkan tentang sejarah
dan nilai-nilai kebenaran akhir mengenai agama tersebut. Nilai kebenaran akhir
itu juga didukung dengan adanya para nabi sebagai utusan Tuhan yang tidak bisa
diganggu gugat.
Ketika
umat manusia hanya dipaksa untuk meyakini apa yang telah disebutkan dalam teks tanpa
diberi keleluasaan untuk memikirkannya, maka ada kemungkinan munculnya
keragu-raguan jika menemui suatu hal yang dirasa tidak sesuai dengan dunia
nyata. Seperti sebuah ungkapan yang pernah saya dengar bahwa “ketika suatu hal
di awali dengan kepastian, maka akan ditemukan keragu-raguan dalam perjalanan
waktunya dan ketika sesuatu diawali dengan sebuah keragu-raguan, maka akan
ditemukan sebuah kepastian yang mantap kemudian.” Hal tersebut menunjukkan
bahwa keberhentian dalam mencari sebuah hakekat kebenaran, pada saatnya pasti
akan menimbulkan rasa keraguan bagi pemercaya keyakinan itu. Berbeda dengan
oran yang memang mencari kebenaran hakekat untuk pada akhirnya dibuktikan
dengan segamblang-gamblangnya sehingga memperkuat dan memperkokoh keyakinannya.
Akan
tetapi ada suatu hal yan sedikit aneh. Ketika seseorang ingin mencari sebuah hakekat kebenaran, ketika serang ingin
mencari sebuah kebenaran, diantara yang dilakukan ialah dengan terus bertanya
dan mengkritisi segalah hal yang terjadi kepada orang yang diangggap mengetahui
pengetahuan lebih. Sayangnya, entah karena fanatisme terhadap keyakinan atau
karena memang tidak bisa menjelaskan lebih dalam, kebanyakan
pertanyaan-pertanyaan itu tetap tidak terjawab. Jalan lain lagi ialah dengan
membandingkan antara suatu hal yang dianggap benar oleh sekelompok rang dan
kelompok lain. Dalam situasi ini, pasti harus ada juri yang menentukan manakah
yang paling benar.
Pertanyaan
mengenai konsep kebenaran mengenai Tuhan yang terdapat pada beberapa keyakinan
agama masih tetap muncul. Orang-orang yang mencari kebenaran ini
mengatasnamakan dirinya sebagai para filsuf. Pekerjaan mereka hanyalah bertanya
dan selalu mempertanyakan segala sesuatu yang berhubungan dengan Tuhan untuk
mendapatkan hakekat kebenaran berdasarkan rasio. Sempat dikatakan bahwa agama dan filsafata
adalah dua hal yang tidak kompatible. Jika memng seperti itu adanya, bukankah
lebih baik untuk tidah meng-eksklusifkan diri sebagai pencari kebenaran sejati
dalam agama. Memang benar bahwasanya Tuhan menciptakan akal fikiran untuk
digunakan dalam berfikir. Berdasarkan Descartes pula bahwa Tuhan berkehandak
untuk difikirkan oleh umat manusia. Hal itu diungkapkan oleh Descartes karena
menurutnya Tuhan lah yang menciptakan, lalu kenapa Tuhan harus takut untuk
kalah dalam pembuktian tingkat kebenaran (seperti kutipan yang juga disampaikan
Bapak Hatim). Bukanlah Tuhan yang takut akan terkalahkan kebenarannya, akan tetapi
Tuhan takut manusia-manusia ini akan tidak mampu untuk memikirnya.
Menurut
pandangan saya, pembahasan filsafat pada saat ini tidaklah berguna. Hal ini
tidak beda jauh dengan hanya mempelajari sejarah, yaitu pemikiran-pemikiran
para filsuf terdahulu. Padahal, para filsuf terdahulu pun menemukan pendapatnya
sendiri tanpa meminta untuk diikuti ataupun diajarkan ke generasi berikutnya. Filsafat
memberikan kebebasan seluas-luasnya untuk mengeluarkan pemikiran ataupun
pendapat apa pun yang muncul. Jadi hasil akhir yang didapat adalah bukannya
kebebasan berfikir pada setiap individu yang
mempelajari, akan tetapi peracunan fikiran dengan menyediakan
pemikiran-pemikiran terdahulu.
No comments:
Post a Comment
Thank you for the comment.