Mbah Uti ku meninggal beberapa tahun lebih dari 15 tahun yang lalu. Mbah Uti itu sapaan untuk Mbah Putri di Bahasa Jawa, Bahasa Indonesianya Nenek. Bahkan aku baru tau nama aslinya Mbah Uti itu ketika aku mulai beranjak dewasa di tingkat SMA (Sekolah Menengah Atas). Aku baru saja baca buku tentang menulis dan di bagian akhir buku ada lampiran beberapa hasil tulisan para pemenang lomba menulis ibu-ibu lanjut usia. Salah satu ceritanya bercerita tentang nenek, dan tiba-tiba aku teringat Mbah Utiku.
Mbah Utiku itu perkasa
Mbah Utiku itu perkasa
Jarak antara rumahku ke rumah Mbah Uti itu tidak deket, kurang lebih 3 - 4 km. Biasanya Mbah Uti kalau sedang kangen sama cucu-cucunya, Mbah Uti akan langsung datang ke rumah tanpa pikir panjang. Pada waktu itu masih jarang sekali ada angkot atau pransportasi umum di sana, bahkan bisa jadi dalam sehari itu cuma lewat cuma sekali bolak balik. Makanya, sering sekali Mbah Uti jalan kaki. Seingatku dulu Mbah Uti punya sepeda unta cewek (hehe aku tidak tahu apa nama jenis sepeda ini dalam Bahasa Indonesia). Sepeda unta itu model sepeda zaman dulu yang bagian depannya tidak ada penghalangnya, makanya aku sebut sepeda wedok (cewek) karena biasanya dipakai perempuan. Sayangnya aku tidak bisa bercerita banyak soal sepeda itu karena seingatku jarang sekali Mbah Uti datang ke rumah pakai sepeda. Meskipun Mbah Uti selalu datang dengan jalan kaki, Mbah Uti tidak pernah datang dengan tangan kosong. Pasti ada saja yang dibawa. dan, bawanya tentengannya itu tidak cuma satu atau dua plastik kecil, tapi satu keranjang besar yang digendong belakang pakai selendang. Mbah Uti memang perempuan perkasa.
----------
Salah satu orang yang sudah membentukku jadi pribadi saat ini adalah Mbah Uti. Salah satunya adalah karena keperkasaannya yang aku ceritakan di atas. Berikut adalah hal-hal lain tentang Mbah Uti.
Jadilah perempuan anggun
Pernah suatu ketika aku sedang makan dengan duduk di lantai. Aku masih kecil saat itu. Aku makan dengan membuka kaki lebar alias ngangkang dan meletakkan piring di tengah tengah kaki. Waktu itu ada Mbah Uti yang duduk di sebelah ku sedang menginang. Mbah Utiku menarik salah satu kakiku dan mendekatkannya ke kaki yang lain. Katanya "Perempuan itu duduknya yang rapet." Sejak saat itu juga aku tidak lagi duduk dengan kaki terbuka lebar. Setidaknya bersila. Dan, aku perhatikan Mbah Uti memang selalu meluruskan dan merapatkan kakinya dengan menopangkan satu kaki di atas lainnya setiap kali duduk di lantai.
Kamu ingin sesuatu, berusahalah
Setiap kami para cucunya libur sekolah, kami diajak Mbah Uti untuk ikut ke ladang memanen hasil kebun seperti kacang hijau, jagung, padi dan lain-lain. Nah, Mbah Uti selalu bertanya apa yang kami ingin beli. Tapi, itu harus keperluan sekolah. Ada kalanya aku ingin sepatu, buku, tas, atau seragam baru. Setelah menanyakan satu per satu tentang apa yang ingin kami beli, kami semua diajak Mbah Uti pergi ke kebun beramai-ramai. Bahkan, ada kalanya kami di ajak ke pasar untuk menjual hasil panen dan langsung beli apa yang kami inginkan. Aku masih ingat sekali waktu itu aku, Mas Munir, Mas Imam, dan Dila diajak ke kebun untuk memanen kencur. Kami membagi tugas, ada yang menggali dan ada yang membersihkan tanah dari kencurnya. Yang paling melekat di ingatanku adalah waktu itu mas Imam dan Mas Munir bergantian untuk membawa sekarung kencur hasil panen kami ke pasar. Dan, jaraknya sangatlah jauh yang kami tempuh dengan jalan kaki. Luar biasa kan? Tapi rasa lelahnya terbayarkan ketika kami dibelikan barang-barang yang kami inginkan. Sangat senang rasanya.
Mbah Uti adalah wanita panutan kedua setelah Mamak dalam hidupku. Aku bersyukur masih diberikan kesempatan untuk masih bisa bertema dan belajar dari Mbah Uti sebelum meninggal dunia.
No comments:
Post a Comment
Thank you for the comment.