Wednesday, September 7, 2016

Sekilas Commuting di Jepang dan Indonesia


Hari ini ada beberapa hal yang aku pelajari. Berawal dari waktu belajar dengan Ms. Megumi, murid Bahasa Inggris di tempatku bekerja. Hari ini kami melanjutkan diskusi tentang 'Commuting'. Topik ini cukup menarik untuk kami bahas. Dari pembahasan ini, aku jadi lebih tahu beberapa hal tentang Jepang dan bagaimanakah perbandingan antara Jepang dan Indonesia jika dilihat dari beberapa hal.

How do people commute?
Masyarakat di kota Jepang sebagian besar menggunakan bis atau kereta dalam kehidupan sehari-hari. Biasanya, mobil pribadi digunakan oleh orang-orang tertentu yang tinggal cukup jauh dari perkotaan. Tapi tetap saja, mereka akan pergi menuju terminal bis atau stasiun kereta terdekat dan menggunakan transportasi umum tersebut ketika beraktifitas di dalam kota. Terdapat beberapa alasan mengapa transportasi umum disana banyak digunakan. Pertama, karena harga bensin yang mahal (mencapai kira-kira Rp. 40.000/liter). Kedua, biaya parkir mobil pun mahal (kira-kira Rp 30.000/50 menit). Biaya parkir mahal karena wilayah Jepang yang tidak cukup luas. Sedangkan di indonesia, harga bensin sangat murah (bahkan sering kali demonstrasi terjadi kalau harga naik satu atau dua ribu rupiah) sehingga masyarakat lebih memilih untuk memiliki kendaraan pribadi. Alhasil, jumlah kendaraan meningkat dan kemacetan dimana-mana (khususnya di Jakarta). Lagipula, bayar parkir juga murah (yaa meskipun masih ada saja yang komplain kalau bayar parkir lebih 500 atau 1000 rupiah)

No phone on bus/train
Sangat menarik, di Jepang ada larangan untuk menggunakan telepon genggam (Handphone - HP) selama berada di dalam transportasi umum (bis dan kereta). Bahkan ada tanda larangan tersebut di badan kendaraan. Hp dianggap sebagai mengganggu 'pacemaker'  pada orangtua dan penumpang yang memiliki keterbatasan fisik. Oleh sebab itu, Ms. Megumi lebih senang membaca buku selama dalam perjalanan. Dan mungkin ini juga sebabnya orang Jepang terbiasa menghabiskan waktu perjalanannya dengan membaca. Meski demikian, masih saja ada penumpang yang secara sembunyi-sembunyi menggunakan hp nya di atas kendaraan.

Kneeling bus
Di jepang, semua bis adalah kneeling bus sehingga semua orang bisa mengakses (termasuk orang tua dan penumpang dengan keterbatasan fisik). Selain itu, halte bis tepat berada disisi jalan dan dapat dengan mudah diakses olah semua orang. Jika dibandingkan dengan Indonesia, khususnya Jakarta, sangatlah jauh berbeda. Bahkan sampai saat ini saya belum pernah menemukan ada kneeling bus disini (bisa jadi karena aku kurang informasi). Selain itu, Ms. Megumi juga cukup heran dengan lokasi halte bis Transjakarta yang berada ditengah kedua jalur jalan raya dan harus ditempuh dengan tangga dan melalui overpass. Bagaimana jika orang-orang tersebut (orang tua dan penumpang dengan keterbatasan fisik) ingin bepergian?

*Tulisan ini pertama kali digoreskan pada 06 September 2016

Tuesday, August 30, 2016

Mental Orang Indonesia di Mata Para Polisi

Before
Beberapa waktu yang lalu, terjadi lagi aku kena tilang di daerah sekitar Monas, Jakarta. Aku membonceng satu teman dan ada satu temanku lagi berinisial B membonceng satu temanku yang lain lagi. Jadi, kami berempat dengan dua sepeda motor bermaksud mengajak dua teman yang aku dan B bonceng berkunjung ke beberapa tempat di Jakarta, satu diantaranya adalah Monas.
Pada saat itu kami bingung mencari tempat parkir motor di sekitar Monas. Karena kami dalam situasi cukup bingung dan tak tentu arah, secara tidak sadar kami menuju ke lokasi parkir melalu jalan khusus roda empat. Aku tidak memperhatikan simbol lalu lintas yang ada di pintu masuk menuju jalur itu. Lagipula, aku melihat ada beberapa sepeda motor yang melaju di jalan itu, jadi aku pikir aman. Akhirnya polisi menghentikan laju kami di tengah perjalanan. Polisi mengajak kami menuju pos polisi. Aku sempat bertanya kenapa ada motor-motor lain yang melewati jalur itu. Jawabannya "Udah, sini dulu". Pak Polisi tidak menghiraukan pertanyaanku dan hal ini cukup menyebalkan.
In
Kurang lebih sama dengan cerita tilang di ceritaku sebelumnya. Si Pak Polisi memeriksa SIM dan STNK, mengeluarkan surat tilang, menunjukkan angka denda yang akan dikenakan di pengadilan (Rp. 250.000), memberikan informasi mengenai pengadilan (dimana dan kapan) dan menawarkan untuk menebusnya pada saat itu juga dengan menawarkan nilai 'denda' yang lebih kecil (Rp. 100.000) dan katanya nanti akan dibantu disetorkan ke pusat. Oiya, dalam menawarkan nilai denda, lagi-lagi polisi tidak melafalkannya, tapi hanya menunjukkan nilai yang ada di atas kertas surat tilang.
Proses ini cukup menarik karena beberapa hal aku pelajari. Ketika memberikan informasi tentang waktu pelaksanaan pengadilan, si polisi menanyakan apakah kami bisa datang pada saat ini dan membuat kami berpikir tentang 'kebisaan' kami untuk hadir. Temanku langsung berpikir dan memutuskan tidak bisa hadir karena harus berada di tempat kerja pada waktu tersebut. Dia memilih untuk menebusnya pada saat itu juga dengan membayar 'denda' (alias tebusan) senilai Rp. 100.000. Temanku dan seorang Polisi menyingkir dariku dan kedua temanku lainnya. Datanglah Polisinya yang lain mengambil alih urusan tilangku.
Ketika temanku sudah mengambil keputusan tersebut, aku masih berpikir. Disaat aku berpikir lebih lama dengan menampakkan wajah penuh bersalah, takut dan sedih (hehe), Pak Polisi bertanya "Jadi gimana ni? Mau ke pengadilan atau diambil sekarang biar cepet?. Aku pun memutuskan untuk menghubungi orang tuaku dan meminta pendapat mereka. Di telepon, Bapak mengatakan "Ya kalau memang kamu mau cepet, ya ditebus disitu. Tapi kalau kamu mau belajar gimana proses di pengadilan, ya ke pengadilan aja. Lagipula denda di pengadilan gak sebesar itu". Akupun menutup telepon dan menyampaikan ke si Polisi bahwa menurut Bapakku aku lebih baik hadir di pengadilan.
Sebelumnya aku tidak terbayang bagaimana respon si Polisi selanjutnya. Ternyata setelah aku menyampaikan keputusanku, si Polisi bertanya "Emang apa sih kerjaan bapaknya?". Aku jawab "Petani di kampun, Pak", sempat terpikir untuk bilang bahwa Bapakku seorang Polisi sih, tapi takut bohong (hehe). Polisi "Ya kan gak semuanya harus menurut orangtua kalau memang mau cepet". Aku jawab dengan nada dan ekspresi wajah polos "Ya tapi kata Bapak saya begitu, Pak". Mengejutkannya si Polisi terus berusaha membuatku untuk merubah keputusanku itu. Polisi "Yaudah, sekarang kamu bisa kasih berapa biar kita bantu? Itu kan temennya segitu, kamu bisanya berapa?", Aku "Pengadilan aja, Pak". Dua teman di sebelahku sepertinya merasa bersalah dan berbisik untuk membayarnya dengan memberikan Rp. 50.000. Tapi aku tetap kekeh dengan ketupusanku, karena memang aku ingin belajar dari pengalaman di pengadilan nanti. Ya, akupun tahu kalau si Polisi itu pun pasti akan menerima ketika aku kasih Rp. 25.000 sekalipun.
*Di jalan setelah tilang si B bilang "Tadi itu si Polisi sempet ngomong Fit waktu kamu telpon Bapakmu, Itu temennya ngapain lagi pake ribet telpon orang tua segala."
After
Datanglah hari persidangan dan aku hadir. Karena waktu pelaksanaan persidangan pukul 9 pagi- 5 sore, aku hadir setelah jam makan siang. Proses persidangan ternyata sudah selesai, dan sekarang proses pembayaran denda. Aku menuju antrian penyetoran surat tilang, mengambil nomor antrian, mnunggu sampai nomor antrian dipanggil, membayar denda dan selesai. Tidak serumit dan sesulit yang dikatakan Polisi. Dan tidak semahal yang dikatakan Polisi. Aku dikenakan denda Rp. 100.000. Ya meskipun apakah benar nilai dendanya sebesar itu, karena surat bukti pembayarannya tidak ditunjukkan oleh petugas. Allahu A'lam.
Kesimpulan
Dari peristiwa di atas, menunjukkan bahwa Polisi memperlakukan para pelanggar lalu lintas (khususnya orang Indonesia) dengan mendudukkan mereka pada beberapa sifat berikut ini:
1. Mental cepat dan mudah. Orang Indonesia lebih memilih untuk melakukan pekerjaan ataupun hal lain daripada dating di persidangan dan mengikuti prosedur hukum yang berlaku. Polisi selalu menonjolkan jauhnya lokasi persidangan dan waktu di hari kerja (aku aja kemarin minta izin dari kantor dan Alhamdulillah diberikan izin)
2. Mental penakut. Orang Indonesia kurang memiliki keberanian untuk melakukan hal yang belum pernah dilakukan, apalagi untuk menghadiri pengadilan yang terdengar menyeramkan dan dengan nilai denda yang ditunjukkan Polisi.
Sepertinya cukup sekian, mungkin ada beberapa hal yang tertinggal, tapi semoga ada beberapa hal yang bisa kita semua pelajari dari pengalaman tersebut.
*Oiya, kata Bapakku setelah Bapak mendengar cerita proses tilangku, "Sebenarnya Polisis itu udah ketakutan Nduk waktu kamu bilang lebih memilih buat ke pengadilan. Makanya Polisi terus nyecer kamu buat bayar berapapun sebisa mu (meskipun dengan jumlah kecil".


Cuplikan Kisah Kitab Epos Ramayana

Kemarin aku coba berkunjung ke Perpustakaan Daerah Jakarta Selatan, tepatnya di belakang gedung Sekolah Labschool. Semula aku ingin membaca beberapa buku pendidikan. Setelah membaca satu buku tentang Behavior Recovery, aku tertarik membaca kisah Ramayana. Secara acak aku buka lembaran buku ini dan terhentilah aku di bagian ketika Rama akan meninggalkan Ayodya untuk memenuhi Sumpah ayahnya, Raja Dasarata. Aku sama sekali tidak paham dengan latar belakang kisah ini sebelumnya. Akan tetapi kisah tersebut bisa membuatku meneteskan air mata di tengah-tengah ruang perpustakaan. Mungkin karena aku terlalu larut dalam cerita tersebut.
Dalam tulisan ini aku ingin merefleksikan gejolak perasaan yang aku alami ketika menjajaki kata per kata dan kalimat demi kalimat kisah tersebut.
Rama
Betapa berbesar hatinya Rama yang harus pergi ke hutan dan menghabiskan usianya selama 14 tahun disana. Padahal dia sama sekali tidak memiliki campur tangan apapun dengan apa yang dilakukan ayahnya, Raja Dasarata. Dia sama sekali tidak peduli apa yang nanti akan dihadapinya selama hidup di hutan. Padahal dia adalah calon Raja selanjutnya. Rama sangat patuh kepada kedua orangtuanya. Rama benar-benar menjunjung tinggi kedua orangtuanya. Tutur katanya yang penuh cinta kasih dan kelembutan menhiasi kepergiannya meskipun itu malah menambah kesedihan kedua orang tuanya. Kepatuhan Rama kepada kedua orangtunya menyentuh hatiku. Aku sama sekali tidak memiliki bukti apapun yang menunjukkan akan baktiku kepada Bapak dan Ibu. Rama mengingatkanku untuk menempatkan orangtua di singgasana yang sangat tinggi.
Selain sebagai seorang anak, Rama ialah suami Sinta. Dia mengalami dilema perasaan yang sangat. Pada satu sisi dia ingin memenuhi sumpah yang telah dilontarkan oleh ayahnya, akan tetapi berat rasanya untuk meninggalkan istrinya tercinta. Hatinya gelisah dan bergejolak.Sampai akhirnya dia mengungkapkan niat kepergiannya kepada Sinta. Sinta pun memutuskan untuk ikut bersama Rama ke hutan.
Raja Dasarata dan Ratu Kaylela (Ayah dan Ibu Rama)
Keduanya sangat mencintai Rama. Bahkan Raja Dasarata menyesali karena telah melibatkan Rama kedalam sumpahnya. Sama sekali tak terbayangkan olehnya bagaimana Rama dapat menjalani kehidupan di dalam hutan selama empat belas tahun. Mereka merasakan duka yang sangat dalam ketika harus menyaksikan putranya semakin jauh meninggalkan Kerajaan Ayodya.

*Baru saja menemukan ini di draft dan sepertinya apa yang ada dipikiranku pada saat itu sudah tidak ada lagi sekarang, jadi saying sekali tidak bias aku teruskan

Catatan Pertama di Kelas

Tulisan berikut ini berdasarkan catatan ringkasku di kelas. Seperti biasanya, sesi pertama tahun ajaran baru pasti diawali dengan sesi perkenalan kan. Mungkin catatan ini tidak terasa begitu special sekarang, tapi aku yakin suatu saat nanti catatan ini akan membantuku untuk mengingat lagi memori pada saat pertemuan pertama di kelas ini. Oiya, ini adalah tentang anak-anakku di kelas 10 SMA.

Amar suka sekali dengan warna biru dan dia menjelaskan sebisa mungkin dan dengan penjelasan yang cukup lebar bahwa dia memiliki attention deficit. Semoga aku selalu ingat hal ini dan membantu dia untuk tetap mengikuti pelajaran dengan baik.

Iraf suka music dan dia sempat mengatakan bahwa dia tidak memiliki ketertarikan pada agama. Terlebih lagi, dia tidak mempercayai konsep agama. Hmmm, untuk saat ini dia memang pada keadaan ini, tapi aku yakin akan datang saatnya Irfa memahami dengan baik sebagai seorang Muslim dan memiliki keyakinan yang kuat.

Ruben senang dengan olahraga dan yang menarik adalah dia sama sekali tidak pernah merasakan mi instan. Jarang sekali orang seperti ini.

*Alhasil, kertas catatannya hilang entah terselip dimana, jadi tulisan ini cukup sekian. Kalau nanti kertasnya sudah ketemu, maka bias dilanjutkan lagi


Sunday, July 17, 2016

Tebus (sogok) atau ke Pengadilan?


Tadi siang aku ambil belok kiri sewaktu di perjalanan menuju Jakarta dari Karawang. Eh ternyata itu jalur khusus untuk mobil menuju ke jalan tol. Langsung deh ambil langkah mundur dorong motor dan lanjutkan perjalanan. Ternyata di depan dihadang Pak Polisi. Diminta tuh STNK dan SIM dan diajak ke pos polisi. Di pos, Pak Polisi bilang untuk hadir di pengadilan dan nunjukin lembaran merah dan tercantum beberapa nominal denda pelanggaran. Katanya nanti aku akan kena denda 100.000 di pengadilan. Aku tanya deh kapan dan di pengadilan mana. Pengadilannya di pengadilan Bekasi tanggal 29 Juli.  Langsung aja aku berpikir kalau aku gak tahu lokasinya dan aku punya jadwal ngajar di hari itu. Tapi pengen  coba juga sih buat ikutan ke pengadilan biar punya pengalaman. Lagian aku pernah baca bukunya Panji (Nasionalisme, kalau gak salah itu judulnya), bahwa lebih baik kita ikutin aja aturan untuk hadir di pengadilan kalau melakukan pelanggaran lalu lintas, ya daripada ngasih uang secara langsung ke polisi yang sebenarnya serupa dengan sogok-menyogok.
Ternyata si Pak Polisi langsung aja nawarin "Mau dikasihin atau ke pengadilan? Gak tau juga kan pengadilannya dimana". Aku berasa deg-degan dan agak gemeter takut sampe suaranya kedengeran kaya mau nangis, "Saya gak tau. Kalo dikasihin?". Langsung aja deh tuh si Pak Polisi bilang "Ya kalo dikasihin ini ditebus (sambil nunjukin STNK dan SIM ku). Sekarang ada gak uang segini? (sambil nunjuk nominal 100.000 di lembaran merah tadi itu)". "Gak ada Pak. Saya gak bawa uang" Suaraku agak gemeter gitu sih, tapi ini bukan akting, beneran dan natural. "Yaudah sekarang adanya berapa?" Katanya lagi. "Ya tapi saya gak bawa uang, Pak". Sebenernya ada sih uang selembar 50.000 di dompet, tapi kan buat beli bensin, jadi aku gak bohong kan kalau aku bilang gak punya duit. Akhirnya, Pak Polisi ngasihin STNK dan SIM ke aku sambil bilang "Yaudah ini buat peringatan."

*Ditulis seminggu yang lalu, 17 Juli 2016


Waktunya belanja (Sat, Day 256)

Aku kayanya malah bangun pagi deh jam 9 atau 10 an gitu. Terus aku masih aja ngerjain analisa data, ya itung-itung buat nutupin waktu kerja ...