Showing posts with label Jakarta. Show all posts
Showing posts with label Jakarta. Show all posts

Saturday, September 9, 2017

Judging Someone is Judging You

Akhirnya, aku memutuskan untuk tidak terlibat lagi dalam program ini. Apakah ini berarti aku terlalu angkuh? Atau mungkin aku pecundang? Bisa jadi. Tapi, apapun penilaian pihak-pihak yang tahu akan hal ini, dalam hal ini aku bisa memilih dan inilah pilihanku.
-----
Hari ini adalah hari kedua aku menjadi pengajar sukarela (volunteer) di sebuah Sekolah Dasar Islam (SDI) daerah Tangerang Selatan. Aku diberikan amanah untuk mengajar dua kelas dalam sehari. Alhamdulillah, hari pertama yang lalu berjalan dengan lancar. Aku sangat berterimakasih kepada seorang temanku yang sudah berbagi informasi kesempatan untuk mengajar di sini. Menjadi bagian dari sebuah kegiatan sosial seperti ini merupakan sebuah langkah giving back to community yang selalu diajarkan dan ditanamkan kampus almamaterku.

Di kedua kalinya inilah aku bertemu dengan ketua koordinator program yang biasa disapa dengan Ms. X (nama samara) untuk pertama kali. Semuanya berjalan ala kadarnya dan sewajarnya pertemuan pertama,. Kami saling memberikan salam. Setelah Ms.. X menutup pintu mobilnya, aku menyebutkan namaku sambil mengulurkan tangan menjabat tangan Ms. X. Kami (aku, temanku dan Ms. X) pun mulai sibuk memeriksa kesiapan masing-masing kelas yang akan diajar.

Sampai ada saatnya aku terkejut dengan respon si Ms. X.

Ms. X: Fitri, Ms. Z is absent today. Could you please cover her class for today?
Me: Yes, sure. As long as I'm told what the class is and any topics I have to cover, so no problem.
Ms. X: Fitri, please don't  take it seriously. It is not something serious. So, don't be too serious. Relax. We are here as volunteers. Teaching here is not like you teach at where you are teaching. And I don't like it when you say "as long as I'm told", please don't say that to me.
Me: Oh, alright. I'm sorry. I apologize for what I have just said.

What the hell is she talking about??!! Aku kaget, bingung, dan merasa serba salah.

Peristiwa yang cukup singkat tapi tajam ini membuatku berpikir kembali, lagi dan lagi. Aku sama sekali tidak bisa mengerti apa yang dipikirkan oleh si Ms. X ini. Responnya sama sekali jauh di luar bayanganku. Bahkan sepertinya keluar konteks pembicaraan. Disinilah aku menemukan adanya jurang pemisah antara aku dan Ms. X. Kok bisa? Ya aku juga tidak tahu. Berasa aja gitu.

*Mungkin kutipan di atas tidak 100% seperti apa yang terucap, tapi kurang lebih begitulah isinya.

-----

Ketika anak-anak sudah berdatangan dan menuju kelas masing-masing, maka dimulailah sesi belajar. Pertama aku mengajar di kelas intermediate anak-anak kelas 6. Kelas berikutnya adalah pre-basic anak-anak kelas 1. Sebisa mungkin aku mengemas materi pelajaran sedemikian rupa, lebih tepatnya santai dan menyenangkan, seperti yang selalu Ms. X bilang. Di kelas intermediate aku membuat dua pos: pos 1 "I like..." dan pos 2 "I don't like...". Di papan tulis, aku tuliskan beberapa nama buah-buahan dan menanyakan satu-per-satu "Do you like....?", maka si anak harus lari ke pos jawabannya masing-masing. Di kelas kedua, anak-anak mempraktikkan perkenalan "What is your name?" dan "My name is....". Untuk mendapatkan giliran, aku memberikan arahan kepada anak-anak untuk berbaris dalam satu barisan dengan dua orang di bagian depan saling berpegangan tangan dan diangkat keatas untuk dilewati barisan itu (permainan ini biasa dikenal dengan nama Ular Naga; kata anak-anak). Sambil bernyanyi Eeny Meeny Miny Moe, barisan melewati kedua anak yang berpegangan tangan dan ketika nyanyian berhenti maka satu anak dari barisan tertangkap. Di saat itulah si kedua anak menanyakan "What is your name?" dan yang tertangkap menjawab "My name is ...".

Selama di dalam kelas, aku mendapati Ms. X beberapa kali memasuki kelasku dan menyaksikan bagaimana proses belajarnya. Terutama di kelas kedua, Ms. X bahkan sempat berinteraksi juga dengan anak-anak di kelasku itu.

-----

Ms. X: Fitri, can I talk to you for a minute before you leave?
Me: Yes, sure.

Disinilah inti dari tulisan ini, yaitu sederetan nasihat yang diberikan oleh Ms. X. Aku akan coba untuk mengelompokkannya dan mengurutkannya.
  • Saya kaget pertama kali melihat kamu memasukkan tangan di saku blazer kamu. Mungkin kamu tidak bermaksud, tetapi itu menunjukkan bahwa kamu ingin memberi tahu semua orang bahwa kamu lebih daripada yang lain. It shows that you are arrogant. Hey people, I am better than you so stay away from.Body language yang seperti ini menciptakan jarak. Selain itu juga ketika kamu tadi berbicara dengan saya didepan pintu dengan posisi berdiri seperti ini dan kaki seperti ini (Ms. X mempraktikkannya dengan berdiri sedikit bersandar ke tembok dan menekuk santai salah satu kaki, entah yang kanan atau kiri, aku lupa; dan ya memang aku begitu), itu pun menunjukkan bahwa kamu itu lebih hebat dari yang lain. First impression itu kan penting yah. Dan itulah kesan pertama saya ketika bertemu kamu. Mungkin kamu tidak bermaksud tapi begitulah orang lain menilai.
  • I'm teaching ethical business, jadi saya tahu bagaimana cara bersikap dan berperilaku dengan etika yang baik, bagaimana menarik simpati dan perhatian orang lain kepada kita. Karena sebelum membuat orang lain tertarik kepada produk kita, kita harus membuat orang tertarik dulu dengan diri kita dengan nyaman berbicara sehingga orang itu pun penasaran dan ingin tahu tentang produk yang ditawarkan.
  • Saya tahu kamu dari A (nama temanku), jadi saya mebayangkan kamu itu punya sikap dan perilaku seperti dia yang begitu lembut dan baiknya. Kan kita kalau mau menilai seseorang bias dengan melihat temannya, lingkungannya. Makanya saya terkejut ketika bertemu kamu pertama kalinya dengan perilaku yang jauh berbeda dengan yang saya bayangkan.
During her speech, what I said was sorry and thank you. That's all. But of course I showed also appreciation for how much attention she has paid to me during that day.

Anyway, selain hal diatas itu, Ms. X juga panjang lebar menceritakan siapakah dirinya,  perjalanan karirnya, dan juga perjuangannya melaksanakan program ini. Dan, Ms. X juga mengungkapkan bagaimana orang-orang di sekitarnya (her workplace) menunjukkan respect and honour to her behaviour and attitude. Well, I'm not a kind of person who'd value myself as much how people value me. Oya, selama percakapan ini juga Ms. X berulang kali meminta maaf jika apa yang dia katakana kurang berkenan di hatiku.

And, setelah mencermati kembali setiap nasehat yang diberikan, aku jadi terpikir.
  • Kesan pertama bisa jadi penting, tapi kesan pertama bukanlah segalanya. Apalagi kalau kesan pertama ini disimpulkan dari bagaimana Bahasa tubuh seseorang. Bukankah ada banyak faktor yang mempengaruhi seseorang dalam berbuat sesuatu, entah itu secara internal ataupun eksternal. Jangankan pengamatan sehari, hidup bersama teman berminggu-minggu, berbulan-bulan dan bahkan bertahun-tahun pun masih bisa jadi salah dalam memahami sikap seseorang. Lagipula aku meyakini bahwa kita tidak bisa membuat semua orang senang dan bahagia dengan keberadaan dan apa adanya kita, dan aku pun tidak mau memaksakannya. Yang bisa aku lakukan adalah memahami bagaimana diriku dan bagaimana orang lain itu, sehingga dengan segala perbedaan dan persamaan, kami bisa saling mengerti dan memahami untuk mencapai tujuan bersama. Dan menurutku, dengan Ms. X bersikap seperti ini menunjukkan bahwa dia ingin semua orang mempunyai tata karma atau tindak tanduk yang sama seperti apa yang dia yakini. Padahal, beda tempat, beda waktu, beda orang, tindak tanduk itu bisa diartikan dan diterima dengan berbeda-beda.
  • Setiap orang mempunyai gaya dan selera masing-masing dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Sebagai seorang guru, akupun punya gaya dan seleraku tersendiri yang bisa jadi berbeda dengan guru lain. Yang jelas, guru tidaklah dan bukanlah pegawai sales marketing yang berusaha mendekati customer supaya tertarik dengan produk yang ditawarkan. Secara pribadi aku menilai bahwa mereka itu bersikap so sweet ya karena memang seperti itu mereka seharusnya sambil menerapkan strategi-strategi pemasarannya dalam menarik minat pembeli. Lagipula, ini kan menarik simpati dan ketertarikan sesaat. Lain lagi sebagai seorang guru, butuh waktu yang lama sekali untuk bias menjalin hubungan dengan para murid. Nah sebagai manusia biasa, memang kenapa aku harus bersikap dan berperilaku supaya semua orang yang aku temui tertarik? Terus, kalau mereka tidak tertarik, kenapa? Haruskah aku ajak mereka berbicara empat mata supaya mereka tertarik? Hidupku sudah terlalu sibuk dan aku tidak mau lebih menyibukkan diri dengan salah satu tujuan hidup "disukai semua orang". If you like it, lets' rock and if you don't like it, just leave it. Simple.
  • Ms. X membandingkan aku dengan temanku. Aku sempat meng-iya-kan pernyataan nya bahwa kita bisa menilai  seseorang dari siapakah teman-temannya atapun dimanakah lingkungannya. Dan dalam hal ini, lingkunganku bersama temanku itu hanyalah satu diantara banyak lingkungan lainnya dimana aku berada, tumbuh, belajar dan berkembang. Duh, bukannya masih ada banyak faktor lainnya juga yah yang mempengaruhi kepribadian seseorang? (lagi-lagi secara internal maupun eksternal).
-----
Apalah artinya sebuah pengalaman tanpa adanya refleksi diri untuk perbaikan di masa mendatang. Beberapa hal yang aku pelajari adalah:
  • Sebaik dan semulia apapun motivasinya, jangan pernah serta merta memberikan komentar mengenai bagaimana seseorang bersikap atau berperilaku, apalagi pada pertemuan pertama. Bisa jadi, bahkan kemungkinan besar penilaian itu kurang tepat sehingga bisa menyinggung perasaan si penerima.
  • Ketika ada seseorang atau kelompok yang tidak sejalan atau ada ketidaksesuaian dan masih ada kesempatan untuk memilih (apakah bertahan atau pergi), pergilah, karena masih ada banyak orang dan tepat di luar sana yang menerima dengan senyum lebar dan pelukan hangat.
*Setiap manusia tidaklah terlepas dari kesalahan, begitupun aku.




Monday, August 14, 2017

Literally Blind-dating

"Are you free today."
"So far yes. What's up?"
"Wanna join in? A blind-date."
"Seriously? Nice. I might gonna find my best match there."
----------
I left my room five minutes before the event started since the venue is not far from my place. I dressed up as beautifully as I could hoping I would find someone in the crowd (it reminds me of the La La Land sountrack). Then, there I was, in a cafĂ© with some people sitting having nice conversations. And me, I was such a dumb had no idea what to do. I saw my friend was sitting on one of the chairs but I was thinking that it would be inappropriate to bother her conversation, so I tried finding an empty chair for seat.

On my steps to a chair, a girl with short hair (as short as man hair-cut) greeted me and followed by an old man offering his hand. The girl said "He wanna shake your hand). Since I saw him wearing a black glasses (such a sunglasses) and offering his right hand not to me directly, I was assuming that he might be blind. I grabbed his hand for shaking hand and mentioned my name. I asked his name then.

I sat on a chair filling an attendance form and my friend came to me. Even before I had much talk with my friend, another attendee coming and filling in the form. And, they both, my friend and the just coming girl, had a talk. Such a long talk about some events in Jakarta recently to visit. Then, my friend and I went upstairs to perform Dhuhur prayer. After the prayer upstairs, I heard the people downstairs are having some briefing for the Blind Date event. We both went downstairs at the same time when all people are going to a room that pretty looked like a mini theatre. Well, they are going in pairs in which one typical participant with one blind participant.

And it was how the date...

The movie playing was entitled "I am Hope". I saw my two students there, London and Jenina (Out of topic anyway). Interestingly, the typical participants are named volunteers in this occasion. Why? Because they are going to describe the movie to the blind-dated partner during the play.
Do you think it is difficult? Could be
Do you think it is just easy? Maybe
But, big YES, it was challenging.
As the host mentioned that it might be a problem for the volunteers to describe if this was the first time to see the movie. I got this problem.

I was sitting at the back seat with my blind-dated partner next to me. It was a guy named Alif. I was doing very well in the first few minutes. I did perfectly. Even I got two thumbs up from Boy, the committee. As times went by, Alif might have got bored listening to my gentle, beautiful and expressive voice all the time. He put himself back and played with his phone.
What?
What is he doing?
What should I do?
Should I keep telling him?
Should I just enjoy the movie myself?
Damn
Instead of knowing nothing what to do, I poked Boy and asked what to do with that situation. I asked with no words but just with my hands moving here and there showing "What the hell should I do? He is playing with his phone."

Unexpectedly, Boy sat next to me close her eyes and said "Okay, I close my eyes and you describe the movie to me".
"Are you kidding? You can just see it yourself".
"Common, go ahead."
Well, I did as she requested until sometimes we found out that Alif still not stop playing with his phone. A few minutes later, Alif asked for help to go to toilet and Boy took him out. Once Boy was back, I asked "Do I really have to do this?"
"Yes. Until you're tired."
"Well. I'm tired already."
"Oh really. Okay."
And for the rest of the movie, I enjoyed it myself. What a wonderful life!

It was such an interesting experience, wasn't it? To have the real blind-date ever in my life. And anyway, as the movie was over, I didn't see Alif around. He might have run away to find the better blind-dated partner.



 

Thursday, August 10, 2017

Gara-gara Guru

Tok tok tok
“Assalamualaikum” Bapak suryo mengucap salam sambai berdiri tepat di sebelah pintu utama yang masih tertutup. Tapi, di depan rumah ada banyak anak anak yang sedang bermain sepeda dan diawasi oleh beberapa ibu-ibu. 

“Waalaikumsalam” Terdengar balasan salam dari dalam rumah. Suara seorang perempuan dibarengi langkah mendekati pintu.

“Oalah, Pak Suryo, mari silahkan masuk Pak, Bu”, Ibu Karni membuka pintu sambil mempersilahkan masuk dengan menggunakan jempol tangan kanannya menunjuk ke tempat duduk plastik sederhana di ruang tamu. Kursi plastik empat buah melingkari meja segiempat berwarna ungu itu biasa menerima tamu-tamu. Meja plastiknya pun diperindah dengan telapak meja berwarna merah muda berihiaskan sebuah bunga besar di bagian tengahnya, hasil sulaman Ibu Karni sendiri di sela-sela waktu luangnya.

Pak Suryo tidak datang sendiri. Dia datang dengan Ibu Ida. Mereka berdua  menuju tempat duduk. Ibu Karni pun kemudian menyusul duduk. Karena terlebih dulu masuk, Pak Suryo duduk di bagian kiri meja dengan mmbelakangi jendela kaca yang tertutup gorden. Karena tidak ingin terkesan menyusahkan, Bu Ida memilih untuk duduk tepat di kursi membelakangi jendela kaca depan, dekat dengan pintu.

"Mungkin Ibu sudah mengetahui maksud kedatangan kami. Kami sangat menyayangkan karena Fandi belum juga kembali ke sekolah. Apakah Ibu sudah berbicara dengan Fandi?"

"Sudah, Pak. Saya sudah ngomong sama fandi buat berangkat sekolah lagi. Saya bilang aja, gak enak sampe guru kelasnya datang kerumah. Dia sih cuma diem aja pak. Kemaren itu si Fandi sempet berangkat. Tapi saya juga gak tau kenapa kok gak mau masuk lagi."

Pak Suryo dan Bu Ida menyimak cerita Bu Katni. Ketiganya pun diam sejenak. Pak Suryo menoleh ke arah Bu Ida dan saling pandang sejenak. Seketika Bu Ida berujar.

"Kalau boleh tahu Ibu, apa Fandi tidak cerita alasan kenapa dia tidak mau kembali lagi ke sekolah? Karena kami sangat berharap Fandi bisa kembali lagi ke sekolah".

"Saya juga pengennya begitu, Bu. Fandi gak cerita apa-apa, Bu. Cuma diem aja. Saya juga bingung."

Pak Suryo menunduk berusaha menguraikan rangkain peristiwa yang terjadi dan informasi yang sudah didapat. Dia bingung bagaimana harus menyelesaikan permasalahan ini. Napas yang dalam pun diambil dan dihembuskan perlahan.

"Baiklah, Bu. Mungkin memang ini sudah menjadi pilihan Fandi. Kami sudah berupaya sesuai kemampuan kami. Tapi bagaimanapun juga, kami masih mengharapkan Fandi kembali ke sekolah. Insya Allah, pintu sekolah selalu terbuka."
Pak Suryo dan Bu Ida mohon undur diri dan meninggalkan rumah yang setengah jadi  itu dengan lantainya yang masih kasar dan bertembokkan batu bata merah.
------------
Waktu sudah menunjukkan jam 10 malamm dan Fandi belum juga pulang. Masih ada beberapa lembar triplek yang perlu di pasang di langit-langit bangunan. Hari ini Fandi akan kerja lembur. Pekerjaanya memang tidak terlalu berat jika dibandingkan pekerja proyek lainnya dengan gaji yang tidak jauh berbeda.

Fandi menghabiskan kurang lebih satu jam mengendari sepeda motor tuanya itu yang sudah dianggap seperti kekasihnya karena selalu menemani kemanapun dia pergi. Sambil beristirahat di atas kasur, Fandi ngobrol dengan seorang wanita yang baru saja dikenalnya lewat aplikasi chatting online. Obrolannya sangatlah ringan seperti tinggal dimana, berkegiatan apa, tinggal dengan siapa. Pertanyaan-pertanyaan umum untuk anak muda yang sedang pdkt (pendekatan) mencari mangsa calon pacar. Meskipun baru saja saling mengenal, mereka berdua asik bercerita, saling tanya dan jawab. Terkadang diam, bercanda, tertawa, meledek. Obrolan berlanjut sampai malam semakin larut dan keduanya pun mulai mengantuk akut. Suara si gadis  sewaktu-waktu hilang  di telepon karena tertidur.
------------
"Nis, nanti aku minta izin buat pulang duluan yah. Soalnya aku gak enak badan nih. Badanku berasa meriang". Fandi melapor ke teman sebangkunya untuk pulang lebih awal. Sayangnya ibu guru tidak mengizinkan.

"Kenapa Fandi? Sakit? Makanya jangan keseringan mancing di empang." HAHAHHAHAHA. Gelagak tawa sontak dating dari semua anak di kelas.

"Noh dengerin. Makanya jangan keseringan main di empang." Celetuk salah satu anak.

"Lagian, sering-sering mancing, pernah dapet aja kagak." Sahut anak lainnya.

HAHAHHAHAHA. Sorak tawa pun berulang lagi.

"Gak papa, Nis. Aku masih kuat kok nahan sampe nanti pulang sekolah". Fandi berbisik ke teman sebangkunya yang dimintai tolong untuk meminta izin ke Ibu Guru.
--------------
Semakin Fandi mengenal si gadis, semakin dia merasa minder karena gadis yang saat ini sedang dekat dengannya itu jauh lebih berpendidikan tinggi dibandingkan dirinya yang bahkan tingkat SMP (Sekolah Menengah Pertama) pun tidak tuntas. Fandi menyesalkan apa yang terjadi padanya. Tetapi apalah daya, manusia terlalu lemah bahkan tak berdaya dengan apa yang sudah  berlalu. Inilah yang Fandi saat ini.
-------------
"Iya. Waktu itu Ibu Retno bikin aku malu udah di kelas. Makanya aku gak mau sekolah". Fandi mengiyakan apa yang Ibu nya katakana dan memberikan jawaban singkat setelah sebelumnya ada seorang tamu datang ke rumah.

Ibu Retno yang tinggal tidak jauh dari rumah Fandi tiba-tiba datang berkunjung. Setelah dipersilahkan masuk dan duduk di salah satu kursi ruang tamu, belum sama sekali ada kata terucap tetapi hanya kepala yang menunduk dan tangan yang beradu saling meremas satu sama lain. Pemandangan ini membuat Ibu Katni tak tahu bagaimana harus memulai pembicaraan karena khawatir tidak sopan mendahului.

Seketika suara tangis pecah dari Ibu Retno sambil berkata "Saya mohon maaf Bu".
"Lha mohon maaf buat apa tho, Bu?"
"Semua ini gara-gara saya."
"Apanya yang gara-gara Ibu?"
"Fandi tidak mau sekolah itu karena saya."
"Duh, saya kok jadi bingung. Saya gak ngerti maksud Bu Retno ini."

Ketika Fandi sakit dan meminta izin untuk pulang, Ibu Retno bukannya memberikan perhatian dan mengizinkan Fandi pulang tetapi malah meledeknya. Ibu Retno meledek hobi memancing di empang jadi penyebab Fandi sakit. Beberapa hari sebelumnya tidak sengaja Ibu Retnoo melewati empang di dekat perumahanya dan melihat Fandi ada disana. Ledekan Ibu Retno pun langsung jadi bahan tertawaan semua anak-anak di kelas.

Fandi merasa malu. Fandi merasa marah. "Kenapa hobiku dibawa-bawa ke sekolah?" Fandi tidak suka dengan sikap Ibu Retno. Sudah lama Fandi menyembunyikan hobinya memancing dari teman-temannya di sekolah kerena tidak mau jadi bahan tertawaan. Fandi membenci Bu Retno, dan tidak ingin melihatnya lagi dengan meninggalkan sekolah. Tetapi, bergulirnya waktu telah menggerus dan meleburkan rasa kesal dan benci kepada Ibu Retno yang hampir setiap hari dia lihat di sekitar rumah.


-----------
Si gadis pun mulai sedikit demi sedikit menjauhi Fandi dengan mengurangi komunikasi lewat pesan ataupun telepon, setelah dia tahu bahwa Fandi memiliki kekurangan perbekalan pendidikan untuk menghadapi masa depan. Inilah pilihan si gadis.

Lalu bagaimana dengan Fandi? Saat ini, Fandi masih harus terus melanjutkan perjalanan kehidupannya dengan pendidikan setinggi tangga bangku SMP. Hidupnya kini adalah hasil keputusannya yang lalu, termasuk menjauhnya si gadis yang didambakan. Semoga Fandi masih menyimpan harapan di masa depan dengan keputusan-keputusannya di kehidupan saat ini.



Monday, July 31, 2017

Universitas Menyediakan, Kita Manfaatkan

Di usiaku saat ini, aku mulai menyadari betapa bedanya ketika menyandang status sebagai mahasiswa dan sebagai seorang karyawan atau pekerja. Aku merasakan sebuah kebanggan tersendiri ketika masih bisa memperkenalkan diri sebagai seorang mahasiswa di sebuah universitas. Di sisi lain, status sebagai mahasiswa juga memberikan sedikit dampak "memudakan" usiaku, hehe. Seringkali, aku menempatkan statusku sebagai pekerja di nomor dua. Padahal kenyataannya, kuliyahku lah yang seringkali ada di nomor dua kan. Tapi bagaimanapun juga, biarlah semua lika-liku perjuangan menjadi mahasiswi sekaligus pekerja ini nantinya akan menjadi sebuah cerita untuk anak cucu ku di masa mendatang sebagai salah satu penyemangat mereka.

Salah satu hal yang bisa aku pelajari selama menjadi adalah bahwa terdapat beberapa fasilitas yang ternyata ada tetapi tidak atau belum tentu diketahui seluruh mahasiswa. Wajar saja, karena sejauh ini aku belum pernah menemukan sosialisasi khusus terkait hal ini. Fasilitas yang aku maksud disini adalah dana dalam jumlah tertentu yang dianggarkan bagi setiap mahasiswa untuk mengembangkan diri. Aku lupa nominalnya yang pasti (waktu itu bagian keuangan pernah menyebutkan), tapi bisa jadi setiap institusi punya kebijakan dengan nominal yang berbeda-beda. Ada banyak sekali cara bagi mahasiswa untuk mengembangkan diri (secara akademik ataupun non-akademik) seperti, mengikuti perlombaan, menghadiri seminar atau konferensi dan lain sebagainya, baik dalam lingkup regional, nasional, maupun internasional. Dan ini adalah tugas dinas.

Ternyata, bukan para dosen saja kan yang berkesempatan menjalankan tugas dinas? para mahasiswa juga punya kesempatan yang sama. Dan, pastinya di sela-sela perjalanan tugas dinas ini bias dimanfaatkan untuk menjelajahi daerah sekitar yang belum pernah dikunjungi.

Alhamdulillah,hingga saat ini aku berkesempatan untuk mengikuti dua kegiatan dengan dukungan yang besar dari pihak kampus. Ini semua juga tidak terlepas dari dukungan Kaprodi (Kepala Program Studi) yang bersedia memmberikan bimbingan dan arahan. Pertama, aku mengikuti konferensi internasional di salah satu universitas negeri di Malang pada tahun lalu. Kedua, segala puji bagi Allah swt., dua bulan lalu aku pun ke Singapur, perjalanan luar negeri pertamaku, untuk mengikuti kegiatan yang kurang lebih sama. Dari kedua pengalaman ini dan beberapa pengalaman yang lain, aku belajar bahwa untuk mempresentasikan paper atau makalah dalam konferensi internasional, aku tidaklah harus sempurna. Yang aku perlukan adalah keberanian untuk tampil di depan orang-orang hebat dengan menyampaikan gagasan-gagasan dan kemudian membuka hati dan pikiran selebar-lebarnya dan selus-luasnya untuk menerima kritik dan saran. Justru inilah pelajaran tersbesar yang perlu diambil dan kemudian dijadikan bekal untuk melakukan kajian, meneliti dan menulis di kemudian hari.

Seperti konferensi pada umumnya, panitia akan mengundang para akademisi, mahasiswa dan praktisi untuk mengirimkan abstrak dari makalah yang telah dibuat, baik dalam bentuk kajian pustaka maupun penelitian lapangan. (Contoh abstrak yang aku kirimkan). Setelah melalui tahap review oleh panitia, panitia akan mengirimkan email apakah makalah tersebut diterima dan dapat dipresentasikan dalam konferensi tersebut. (Contoh LoA - Letter of Acceptance). Nah, dengan berbekal makalah dan surat undangan ini lah, pengajuan dana bisa dilakukan. Beberapa dokumen yang perlu dilampirkan adalah sebagai berikut:
  1. Surat permohonan dana (ditandatangani oleh Kaprodi - Kepala Program Studi) ditujukan ke Wadek (Wakil Dekan) Bagian Akademik
  2. Rincian dana sederhana (hal yang diperlukan beserta nominal dana)
  3. Undangan (LoA)
  4. Salinan makalah
  5. Salinan rangkaian kegiatan
Semua dokumen diatas aku serahkan ke bagian umum administrasi dan nantinya akan diproses. Setelah semua upaya ini dilakukan, tugasku selanjutnya adalah banyak-banyak berdo'a semoga Allah meridhoi dan melancarkan segala hajat. Aku kembali lagi ke kanto bagian umum ini setiap hari untuk mengupdate informasi proses pengajuan dana ini. Ketika surat sudah sampai ke Wadek yang dituju, semua dokumen akan sampai di bagian keuangan dan tibalah saatnya untuk membicarakan jumlah biaya yang akan ditanggung seperti biaya transportasi, registrasi, maupun akomodasi. Dalam sebuah kegiatan, tidak semua biaya akan ditanggung, tergantung kebijakan bagian keuangan. Tapi, ini sudah lebih dari cukup untukku, alhamdulillah. Pada saat yang sama, departemen lain pun akan mulai mempersiapkan SPPD (Surat Perintah Perjalanan Dinas) yang perlu di bawa dalam kegiatan dan ditandatangani oleh panitia pelaksana kegiatan.

Sekembalinya dari kegiatan, aku diminta untuk mengumpulkan beberapa dokumen berikut:
  1. SPPD bertandatangan panitia pelaksana kegiatan
  2. Boarding pass asli keberangkatan dan kepulangan
  3. Foto kegiatan
Ketika semua dokumen itu sudah diserahkan, maka selesai lah tugas dinas yang diemban. Selesainya tugas ini bukanlah berarti akhir dari segalanya. pengalaman dan pengetahuan selama mengikuti kegiatan akan terus dibawa seumur hidup untuk terus dikaji dan disebarluaskan. Untuk itu, adik-adik dan teman-temanku, para mahasiswa, yuk kita manfaatkan kesempatan bagus ini untuk mengembangkan diri. Sekian dan semoga bermanfaat. Salam senyum dan semangat.


Friday, July 21, 2017

Teaching TOEIC Speaking Test Preparation

For the last few weeks, I was assigned to teach a Korean university student preparing for his TOEIC speaking test. Unlike TOEIC listening and reading test, there is no many resources or certain books can be used for practice. Thus, I searched on Google for some help. So far, there is only one sample of TOEIC speaking test provided by ITC (International Test Center) as the official institution which holds the test. Fortunately, I found a very useful website with a number of samples (http://aekotoeic.blogspot.co.id/). As well, I found a channel on YouTube which gives some tricks and strategy in taking the test (Kenton County Adult English as a Second Language). I haven't taken this test before so I needed to learn about the test so much more than what the student should.

I have put altogether the materials and some important information regarding to the test in the following link. Please feel free to find the documents for your use . Klik disini

Sunday, July 16, 2017

Partai Pembebasan Indonesia (Hizbut Tahrir Indonesia - HTI)

Beberapa waktu yang lalu, terdapat banyak sekali postingan di beranda Facebook tentang kabar (akan) dibubarkannya sebuah organisasi Islam Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Pernyataan tersebut diungkapkan oleh Bapak Wiranto selaku Menkopolhukam (Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan) yang kemudian memancing banyak sekali komentar dari masyarakat di Indonesia, khususnya para teman di Facebook. Komentar di Facebook datang dari para guru, dosen, mahasiswa, karyawan dan para aktifis di beberapa komunitas sosial. Beberapa diantaranya  mendukung pembubaran tersebut dan yang lainnya menolak.

Penolakan dibubarkannya Partai Pembebasan ini kebanyakan berasal dari teman-teman santri di salah satu pesantren kehidupan di Jakarta. Hashtag berupa #kamibersamaHTI pun digunakan di berbagai media sosial bagi mereka yang ingin menyerukan penolakan ini. Beberapa pernyataan yang membarengi hashtag tersebut adalah tentang kemuliaan berjihad menegakkan hukum yang disyari'atkan Allah dalam misis HTI. Teman-teman santri di pesantren ini aktif terlibat dalam beberapa kegiatan HTI. Di sisi lain, beberapa guru dan dosen yang berlatar belakang pendidikan pesantren dan kiprah mereka dalam dakwah, secara implisit menyatakan dukungan atas pembubaran partai politik ini.

Seperti halnya energi positif dan negatif, magnet U dan S, hal ini pun pasti tidak terlepas dari perbedaan pendapat. Tampaknya pun sekarang waktunya yang tepat untuk berbagai sedikit mengenai pengalaman pribadi saya karena pihak-pihak yang mungkin sempat emosional pasti sudah redam dan mulai sibuk dengan perkara lain. Meskipun tidak banyak yang saya ketahui tentang HTI, akan tetapi saya harap pengalaman pribadi yang sedikit ini dapat memberikan sedikit gambaran bagi siapapun yang belum pernah mengenal organisasi Islam ini.

Saya mendengar nama HTI sudah sejak lama. Sepertinya sejak ketika saya belajar di universitas beberapa tahun lalu. Atau mungkin malah lebih lama dari itu, ketika duduk di bangku Sekolah Menengan Atas (SMA).  Meski demikian, saya hanya mendengar nama saja, tidak lebih dari itu. Setelah saya menyelesaikan pendidikan S1, saya berkeinginan untuk mencicipi hidup di pesantren yang dulu sempat tertunda. Saya pun mencari informasi tentang pesantren di Jakarta yang terbuka untuk santri dewasa. Berbagai informasi saya dapatkan dari Google, beberapa teman di Jakarta, brosur, dan juga Alm. Bapak saya. Akhirnya, saya menemukan sebuah pesantren di daerah Jakarta barat. Informasi mengenai pesantren ini diawali ketika saya menghadiri sebuah kajian di masjid dekat Pasar Santa yang dibawakan oleh Pengasuh pesantren tersebut. Waktu itu beliau membawakan kajian Kitab Al-Hikam. Saya pun sempat mengajukan sebuah pertanyaan. Entah mengapa selama kajian berlangsung, saya merasa adanya kecocokan pikiran dan rasa. Saya tidak langsung menemui beliau, tapi saya Googling nama pada logo pesantren yang ada pada pojok kiri atas lembaran ringkasan materi yang dibagikan pada saat itu.

Saya pun akhirnya memutuskan untuk mulai menimba ilmu di pesantren ini. Seperti kata pepatah "Dimana bumi dipijak, disitulah langit dijinjing", saya mulai beradaptasi dengan beberapa peraturan dan kebijakan yang berlaku di pesantren. Untuk mempersingkat, saya hanya akan membahas beberapa hal yang menurut saya mencirikan nilai-nilai yang diyakini teman-teman (terutama para santriwati) sebagai pejuang HTI.

Jilbab dan kerudung
Seluruh santriwati dianjurkan (dengan kata lain diwajibkan) untuk mengenakan kerudung dan jilbab ketika berada di luar rumah atau gedung pondok santriwati. Kerudung disini bermakna kain untuk yang menutup kepala yang menjulur hingga menutup dada. Tapi, sebagian besar santriwati menggunakannya hingga meutup bagian pinggul atau bahkan sampai lutut. Sedangkan jilbab merupakan adalah pakaian yang menjulur menutup dada hingga kaki, atau pada umumnya dikenal dengan 'gamis'. Selain itu, ditambahkan kaos kaki untuk menutup kaki dan penutup pergelangan jika lengan baju longgar karena dikhawatirkan bisa tersingkap ketika beraktifitas. Santriwati tidak diperkenankan atau mendapat teguran jika mengenakan pakaian potongan (atasan dan bawahan). Berikut ini adalah beberapa dalil mengenai anjuran untuk mengenakan jilbab dan kerudung. Klik disini.

Kitab-kitab Hizbut Tahrir
Selain mempelajari beberapa kitab kuning dan juga tafsir, ada beberapa kitab yang memang diterbitkan oleh HTI karangan Taqiyyuddin An-abhani. Terdapat ciri khas pada kitab-kitab ini, yaitu bersampul warna putih dengan tulisan berwarna merah dan hitam. Terdapat dua versi kitab, yaitu dalam Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia. Di antara beberapa judul kitab yang dipelajari ialah Mafahim Hizbut Tahrir (Pemahaman Hizbut Tahrir), Min Muqowwimat An-Nafsiyah Al-Islamiyah (Pilar-pilar Pengokoh Nafsiyah Islamiyah), An-Nidzom Al-Ijtima'i (Sistem Pergaulan dalam Islam). Sebagai rujukan, berikut ini adalah sebuah blog yang memaparkan review atau ulasan kitab-kitab HTI. Klik disini.

Halaqah
Sekali dalam seminggu para santri dijadwalkan untuk mengikuti Halaqah. Secara Bahasa, Halaqah bermakna lingkaran. Dalam hal ini, halaqah merupakan sebuah majelis yang terdiri dari beberapa orang dengan duduk melingkar atau dalam lingkaran guna membahas materi tertentu dari kitab atau buku. Terdapat seorang pemateri atau Murabbi pada masing-masing Halaqah. Buku yang biasanya dikaji bagi para pemula berjudul Materi Dasar Islam: Islam Mulai Akar Hingga Daunnya karangan
Arief B. Iskandar. Jika buku tersebut sudah selesai, maka dilanjutkan dengan mempelajari kitab berikutnya dengan Murabbi berbeda yang tingkat keilmuannya dan pemahamannya dianggap lebih dari Murabbi sebelumnya. Tidak hanya HTI yang mempunyai majelis seperti ini, sebuah ormas lainnya pun melaksanakannya dengan sebutan Liqo'. Halaqah inilah media dakwah HTI dalam merekrut para kadernya. Mengenai dakwah HTI, klik disini.

Aksi
Sebagai bagian dari pejuang HTI, teman-teman berpartisipasi aktif dalam berbagai aksi, terutama sederetan aksi bela islam pada tahun lalu. Bukan demonstrasi.Sebenarnya beberapa aksi tersebut bukanlah yang pertama kali dilakukan oleh teman-teman HTI, jauh sebelumnya mereka beberapa kali turun ke jalan, sebagian besar di sekitaran Monas dan Bundaran HI. Dalam melaksanakan aksi, mereka biasanya membawa bendera Al-Liwa dan Ar-Royah bertuliskan "Laa ilaaha illallah muhammadar rasulullah". Para santriwati biasanya berseragam dengan memakai kerudung putih dan jilbab hitam.

Buletin Al-Islam
Setiap bulan, sebuah buletin bernama Al-Islam berupa satu lembar dengan empat halaman dibagikan bagi seluruh santri. Tidak jarang masing-masing santri diberikan lebih dari satu lembar supaya bisa disebarluaskan. Secara umum, buletin ini membahas beberapa isu yang sedang populer dan kemudian dikaitkan dengan apa yang tercantum dalam Al-Qur'an. Karena pencantuman tulisan ayat Al-Qur'an didalamnya, para santri dilarang untuk membuangnya sembarangan. Kumpulan Al-Wa'ie harus disimpan dengan baik. Buletin ini merupakan satu diantara berbagai media lainnya untuk meng-update informasi bagi para kader HTI.

Tentu masih ada banyak hal lagi yang belum diuraikan dalam tulisan diatas. Oleh sebab itu, marilah kita coba untuk saling mengenal satu dengan yang lain sehingga kita bisa saling memahami dan lebih mempererat kasih saying sebagai sesama Muslim dan juga sesama manusia.










Thursday, May 11, 2017

Catatan 10/05/2017 (Proyeksi Peristiwa Dipenjarakannya Pak Ahok dalam Kacamataku)

Kemarin, aku mendengar kabar bahwa Bapak Ahok telah divonis hukuman penjara selama dua taahun terkait penistaan agama yang telah dilakukannya di pidato beberapa waktu yang lalu di Kepulauan Seribu. Selama ini aku selalu mengamati pendapat teman-temanku dan juga beberapa guru-guruku di beranda facebook. Lagi-lagi, ada dua kelompok yang mengungkapkan pendapatnya yang berbeda. Entah mana yang bisa aku golongkan kanan ataupun kiri, mana yang hitam ataupun yang putih. Mungkin aku terlalu cemen untuk tidak meletakkan diriku di salah satu keduanya. Aku lebih memilih untuk membaca, mengamati dan mempelajari bagaimana keduanya merangkai kerangka pikiran masing-masing sehingga pada akhirnya muncullah kesimpulan yang diungkapkan setiap saat di Facebook.

Jujur, aku sedih ketika para umat muslim mengkoar-koarkan kasus penistaan yang telah dilakukan oleh Pak Ahok yang menurut pendapatku pribadi, apa yang dikatakan beliau saat itu belum tentu merupakan sebuah penistaan. Yang menariknya, malah ungkapkan Pak Ahok membuat para umat muslim untuk mempelajari lagi hal yang telah disampaikan. Ngomong-ngomong, aku jadi tergelitik untuk mencari tahu di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) apa sih itu 'menistakan'? Apa sih itu 'penistaan'? Dan apa sih yang dimaksud dengan 'penista'? (karena keterbatasan koneksi saat ini, jadi aku belum nemu juga).

Padahal nyatanya, di beberapa kesempatan majelis ta'lim ataupun tabligh akbar yang pernah aku hadiri, aku tidak jarang mendengar si Da'i atau penceramah mengungkapkan hal-hal yang bias dikategorikan 'menistakan' keyakinan agama lain ataupun isi dari kitab suci agama lain secara terang-terangan. Tidak ada yang menuntut. Masih saja, buatku pribadi memang sulit untuk mengambil kesimpulan apakah pernyataan beliau itu memang berniat 'menistakan'  atau tidak. Tapi yang jelas, beliau sudah meminta maaf. Selebihnya, bukankah Allah yang paling tahu?

Saat ini, aku heran dengan saudara-saudariku seiman, bagaimana bisa mereka secara 100%, atau bahkan 1000% menutup pandangannya untuk melihat dan mengkaji kembali apa yang tejadi dengan rasa kemanusiawian. Bukankah muslim pun perlu memanusiakan manusia? Sayangnya, sepertinya mereka sudah mentok pada apa yang dipercayainya  yang tertulis di Al-Quran dan ditambah kan lagi  apa yang digembor-gemborkan oleh masing-masing pemimpin pengajian mereka.

Aku sedih, kenapa Islam yang aku pahami penuh dengan kasih sayang bisa sejahat ini kepada seseorang? Apalagi kepada seseorang yang kita semua bisa tahu telah melakukan banyak kontribusi terhadap negara. Karena beliau orang Cina? Karena beliau bukan muslim? Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jika aku akan mendapatkan perlakuan yang sama oleh golongan yang anti Islam (karena aku orang muslim) atau anti Jawa (karena aku keturunan jawa) atau anti - Indonesia (karena aku orang Indonesia). Sederhananya, jika aku berada di posisi beliau, mungkin aku sudah kehilangan banyak energy, harapan, semangat dan akhirnya menyerah.

Tapi apalah arti semua tulisanku diatas ini, masih ada banyak ilmu yang aku belum tahu. Tapi setidaknya, kata hatiku mengatakan seharusnya semua ini bisa lebih baik. Allahu a'lam bis showab.
___________

Anyway, di detik terakhir aku membuat catatan di atas, aku menemukan sebuah ungkapan salah satu dosenku dan aku pun setuju bahwa yang menyayangkan dan yang menyedihkan saat ini bukanlah agama yang mana, tetapi para pemeluk agama itu yang memilih untuk bersikap sedemikian rupa terhadap pemeluk agama lain.

Tuesday, April 25, 2017

Notes from CIIS Class (Contemporary Issues in Islamic Studies)

When someone achieves high level of knowledge, s/he might not need religion.
This happens when someone with high knowledge, they tend to see things or diagnose any problem or situation from a scientific point of view, do observation and finally put it into clear and logical explanation. In this state, ones tend to consider themselves to be able to overcome their problems by themselves without any reliance on what the religion says. It is because people commonly come to religion when they are not able to find an explanation of things. In other words,  it shows their weaknesses as human being.

Low level of knowledge view what happens as a mystery.
This shows the limited ability of ones to find an answer of what is happening in the surrounding. this is close to positivism which refers to the limited ability of human to explain stuffs. For example, when a kid is having fever, we might have ever heard people relate it to any interference of Jin or any spirits around. Here, the circumstance is perceived to be a mystery. Another example is Tsunami in Aceh in 2004. Not a few people saw this phenomenon to show that God is angry for what the people are doing there and urges the importance of taubah after this disaster. Besides, some people tried to make certain connections between what is happening with what Qur'an says in particular verses by matching the number of the surah and verse. Sorry to say, it is considered to be false logical thinking.

The knowledge in Pesantren is over.
If we try visiting some Pesantren and have a look at how Islam is taught by the Kyai as the main teacher, we will find that the knowledge of Islam there is delivered in one-way without much critical questions coming from the students. Yes, sometimes the students of the Pesantren might ask questions but still the explanation is referred to the books (so called Kitab Kuning, after the Holy Qor'an) being learned which have been used and repeated for long time from generation to generation. This kind of teaching is considered to be normative since it is related to an ideal standard or model, or being based on what is considered to be the normal or correct way of doing something (Al-Qur'an, Hadis, and Kitab Kuning). What has been told is that is to be followed with no more discussion on it.

Religious study doesn't meet the social expectation.
This case is closely related to the last point above. Islamic religious study is mostly normative and cannot really answer the recent social phenomena or problems happening in the surrounding which might have never found in the past. This kind of study may be enough for the agricultural people in rural area, but not for the people living in a competitive environment and global life like Jakarta. Too many contemporary things to be discussed and answered in accordance with Islamic jurisprudence.  Therefore, this situation requires to conduct an empirical study in the planning and design of Islamic education.

In the last semester, I studied Contemporary Issues in Islamic Studies (CIIS). This course was delivered by two excellent lecturers, Prof. Dr. Abudin Nata, M.A. and Dr. Abdul Mu'thi. I have learned lots of things from both of them through the classroom discussion and also lecturing. The note above is just a little compared to what both have already shared to my friends and I in the classroom for one semester. I am not more than a learner who is always looking forward to your comments and feedbacks.





Thursday, April 13, 2017

Each of Us is Free to Choose

I wrote the following thoughts a few weeks ago when the issue of governor election of Jakarta became such a hot issue to talk about.

Many times my students ask my opinion about voting for non-Moslem leader. Well, it's what's happening now in Jakarta. Recently, Moslems and non-Moslems, they are all like in a war; even among Moslems too. A war with no sword nor murder, but different thoughts and beliefs in rough words. Honestly I don't know what to say to them, my students about it. I'm afraid that what I'm saying might be wrong. Lucky if my answer is correct, but what if not. I might be feeling burdened in all my life afterwards. I take my time and now trying to see this case from some different points of view. No one is qualified to make a judgment of which one is true or wrong to be followed after all. The different ideas of some groups are not wrong. What makes it wrong is just about they way people speak up which then cause the situation worse.

Some groups of Moslems insist to not for non-Moslem to be the governor of Jakarta. The reason is that the Holy Qur'an says so. Besides, they are worried about and scared by a lot of possibilities, especially any policy against Islamic principles, which might happen in the future if the governor is not a Moslem. Thus, to not vote for a non-Moslem is such an opportunity to avoid all of those possibilities happen. Well, simply I can say that these people have a good reason and intention in their voice.

Anyway, some other people (including Moslems and non-Moslems) say "to chose a governor is not only for Moslems, but also for all people in the society (with different religions)", which means the governor doesn't have to be a Moslem. It can be anyone from any religion. I learned long time ago from my teacher that we need to hand over a task or duty for those who are qualified and competent. And now, what is the Moslem candidates are not as qualified or competent as the non-Moslem  candidates. Don't you think we need to be smart in this case? objectively analyze the programs proposed by each candidate for the better future.

In fact, the idea above invites people (Moslems who says 'no' for non-Moslem leader) respond "But someone's thoughts and actions are the representations of his/her religion. Still we go for Moslem leaders". This point of view implies that for them, a Moslem governor is good and a non-Moslem governor is not good, or Islam is a good religion and others are not good religions.

This complicated debate has been going on till now. What I said to all my students is that each person (including my students) has his/her own reason for what she/he is doing with certain intention and expectation within. And I'm pretty sure that the intention is for the sake of goodness. Each of us is free to decide which one to vote for with our own reason and it's confidential.


Tuesday, February 7, 2017

Creative Activites in Teaching and Learning Hijaiyah Letters

Hello Moms, Dads and Teachers,

Here I would like to share some activities that you might find it helpful in teaching Arabic/Hijaiyah letters. We can see that kids like to play fun games and activities. We can also make some of them in making kids familiar with Hijaiyah letters.
  • How do you say it? You can do this activity by showing the complete Hijaiyah letters on a board or big paper (you might provide the letters along with the transliteration in alphabet letters). Provide some small pieces of paper for yourself to draw the letters. Pick one piece of small paper, draw any letter you want, show to the kids and let them find out how to say it. Kids are allowed to look at the poster of complete Hijaiyah letters. It could be more fun when some kids join and try to find as soon as possible.
  • Guess what? It is almost similar with the previous activity but we do it in the other way. Give the kids some pieces of small paper to draw on. Showing them the poster of Hijaiyah letters with its transliteration in alphabets letters. Mention one of the letters and let them find out which letter it is then they draw it on one small piece of paper. They must show it to you once they have finished.
  • Racing. For this, you need to provide the cards of Hijaiyah letters. Put all cards randomly on the table and/or chair around. Decide one spot as the start point for the kids to start racing. You mention one of the letters and let kids find the card. Once the kids have got it, they must give it to you.
Well, I think this is all for this time. I will share more next time.

For Private Iqro' & Qur'an Lesson, please contact:
Siti Fitriah
Phone: (+62)857-5856-6433
Email: siti.fitriah71@gmail.com
Facebook: Siti Fitriah Musadad

Thursday, January 19, 2017

For Parents: How to Start Teaching Kids Qur'an

I'm sure that all Muslim parents want their kids to be able to read Qur'an. Even it's not only a matter of want, but it's parents' obligation to make sure that their kids learn about Islam and be able to read Qur'an, the Holy Book of Muslims. It doesn't take a short time of course. By giving the knowledge of Islam and Qur'an, hopefully the kids are becoming sholih and sholihah who always pray for the parents. For those parents who consider themselves for not having adequate competence in teaching Qur'an, they can take the kids to any TPA (Informal educational institution of Qur'an for kids) or to any courses of Qur'an. However, here is the simple steps that parents can do at home with their kids:
  1. Introduce the kids to sounds of Hijaiyah letters. Find out a simple and fun song of Hijaiyah letters on YouTube. Once you search the keywords of "Hijayah Letters Song", you might find a lot of songs there. You can refer to this link https://www.youtube.com/watch?v=K7K3B9m2kXM. The more the song is sung with the kids, the more familiar the kids are with at least the sounds of Hijaiyah letters.
  2. Introduce the kids to the shapes/writing of Hijaiyah letters. I have got an eBook that parents can refer to. You can print this out and daily guide your kids to trace and write. Here is the link Belajar Menulis Huruf Hijaiyah 1 http://ia600203.us.archive.org/3/items/bam_menulis_613/belajar_menulis_huruf_hijaiyah_1.pdf
  3. Become a role model for your kids in reading Qur'an. Take your kids beside you when you are reading Qur'an. Even though you're not sure or confident about your reading, or may be you read so slowly, don't worry, what you're doing already becomes a motivation for your kids to be like you. How wonderful it is looking at parents reading the complicated and difficult Arabic writing in the Holy Qur'an.
Well, whenever we start, it's never late as long as we're still able to take a breath and our heart is beating.

For Private Qur'an Lesson, please contact:
Siti Fitriah
Phone: (+62)857-5856-6433
Email: siti.fitriah71@gmail.com
Facebook: Siti Fitriah Musadad


Wednesday, January 11, 2017

Where to Learn Reading Qur'an?

I started learning to read Qur'an since I was about 5 year-old. My home was close to a Mushalla where it had TPA (an informal educational institution for kids and teens) in every evening. My parents also became my teachers at home, every time after Magrib prayer.

You too, you can start learning to read Qur'an by joining any TPA, like what I attended. Usually masjid or mushalla has this kind of program for especially the neighborhood. Try to find one around your living area. It is fun to join because we can have such good friends with the people around our home.

If not, you can come to anyone around your home who can teach you. Normally the one who is good in reading Qur'an would be pleased when any one visits her/him to learn Qur'an. Or you can invite her/him to your house. Even if possible, ask your friends to join with you too, so it would be fun to study with friends.

The other option is to join any Qur'an courses. You can find a lot of information about it on the internet and decide the one which is reachable and affordable for you. Here, your schedule will be arranged in particular period of time.

However, it would be great if first you ask your parents to teach you before trying some alternatives above. I am sure your parents know what you need to do next.


For Private Qur'an Lesson, please contact:
Siti Fitriah
Phone: (+62)857-5856-6433
Email: siti.fitriah71@gmail.com
Facebook: Siti Fitriah Musadad

Tuesday, August 30, 2016

Cuplikan Kisah Kitab Epos Ramayana

Kemarin aku coba berkunjung ke Perpustakaan Daerah Jakarta Selatan, tepatnya di belakang gedung Sekolah Labschool. Semula aku ingin membaca beberapa buku pendidikan. Setelah membaca satu buku tentang Behavior Recovery, aku tertarik membaca kisah Ramayana. Secara acak aku buka lembaran buku ini dan terhentilah aku di bagian ketika Rama akan meninggalkan Ayodya untuk memenuhi Sumpah ayahnya, Raja Dasarata. Aku sama sekali tidak paham dengan latar belakang kisah ini sebelumnya. Akan tetapi kisah tersebut bisa membuatku meneteskan air mata di tengah-tengah ruang perpustakaan. Mungkin karena aku terlalu larut dalam cerita tersebut.
Dalam tulisan ini aku ingin merefleksikan gejolak perasaan yang aku alami ketika menjajaki kata per kata dan kalimat demi kalimat kisah tersebut.
Rama
Betapa berbesar hatinya Rama yang harus pergi ke hutan dan menghabiskan usianya selama 14 tahun disana. Padahal dia sama sekali tidak memiliki campur tangan apapun dengan apa yang dilakukan ayahnya, Raja Dasarata. Dia sama sekali tidak peduli apa yang nanti akan dihadapinya selama hidup di hutan. Padahal dia adalah calon Raja selanjutnya. Rama sangat patuh kepada kedua orangtuanya. Rama benar-benar menjunjung tinggi kedua orangtuanya. Tutur katanya yang penuh cinta kasih dan kelembutan menhiasi kepergiannya meskipun itu malah menambah kesedihan kedua orang tuanya. Kepatuhan Rama kepada kedua orangtunya menyentuh hatiku. Aku sama sekali tidak memiliki bukti apapun yang menunjukkan akan baktiku kepada Bapak dan Ibu. Rama mengingatkanku untuk menempatkan orangtua di singgasana yang sangat tinggi.
Selain sebagai seorang anak, Rama ialah suami Sinta. Dia mengalami dilema perasaan yang sangat. Pada satu sisi dia ingin memenuhi sumpah yang telah dilontarkan oleh ayahnya, akan tetapi berat rasanya untuk meninggalkan istrinya tercinta. Hatinya gelisah dan bergejolak.Sampai akhirnya dia mengungkapkan niat kepergiannya kepada Sinta. Sinta pun memutuskan untuk ikut bersama Rama ke hutan.
Raja Dasarata dan Ratu Kaylela (Ayah dan Ibu Rama)
Keduanya sangat mencintai Rama. Bahkan Raja Dasarata menyesali karena telah melibatkan Rama kedalam sumpahnya. Sama sekali tak terbayangkan olehnya bagaimana Rama dapat menjalani kehidupan di dalam hutan selama empat belas tahun. Mereka merasakan duka yang sangat dalam ketika harus menyaksikan putranya semakin jauh meninggalkan Kerajaan Ayodya.

*Baru saja menemukan ini di draft dan sepertinya apa yang ada dipikiranku pada saat itu sudah tidak ada lagi sekarang, jadi saying sekali tidak bias aku teruskan

Sunday, July 17, 2016

Tebus (sogok) atau ke Pengadilan?


Tadi siang aku ambil belok kiri sewaktu di perjalanan menuju Jakarta dari Karawang. Eh ternyata itu jalur khusus untuk mobil menuju ke jalan tol. Langsung deh ambil langkah mundur dorong motor dan lanjutkan perjalanan. Ternyata di depan dihadang Pak Polisi. Diminta tuh STNK dan SIM dan diajak ke pos polisi. Di pos, Pak Polisi bilang untuk hadir di pengadilan dan nunjukin lembaran merah dan tercantum beberapa nominal denda pelanggaran. Katanya nanti aku akan kena denda 100.000 di pengadilan. Aku tanya deh kapan dan di pengadilan mana. Pengadilannya di pengadilan Bekasi tanggal 29 Juli.  Langsung aja aku berpikir kalau aku gak tahu lokasinya dan aku punya jadwal ngajar di hari itu. Tapi pengen  coba juga sih buat ikutan ke pengadilan biar punya pengalaman. Lagian aku pernah baca bukunya Panji (Nasionalisme, kalau gak salah itu judulnya), bahwa lebih baik kita ikutin aja aturan untuk hadir di pengadilan kalau melakukan pelanggaran lalu lintas, ya daripada ngasih uang secara langsung ke polisi yang sebenarnya serupa dengan sogok-menyogok.
Ternyata si Pak Polisi langsung aja nawarin "Mau dikasihin atau ke pengadilan? Gak tau juga kan pengadilannya dimana". Aku berasa deg-degan dan agak gemeter takut sampe suaranya kedengeran kaya mau nangis, "Saya gak tau. Kalo dikasihin?". Langsung aja deh tuh si Pak Polisi bilang "Ya kalo dikasihin ini ditebus (sambil nunjukin STNK dan SIM ku). Sekarang ada gak uang segini? (sambil nunjuk nominal 100.000 di lembaran merah tadi itu)". "Gak ada Pak. Saya gak bawa uang" Suaraku agak gemeter gitu sih, tapi ini bukan akting, beneran dan natural. "Yaudah sekarang adanya berapa?" Katanya lagi. "Ya tapi saya gak bawa uang, Pak". Sebenernya ada sih uang selembar 50.000 di dompet, tapi kan buat beli bensin, jadi aku gak bohong kan kalau aku bilang gak punya duit. Akhirnya, Pak Polisi ngasihin STNK dan SIM ke aku sambil bilang "Yaudah ini buat peringatan."

*Ditulis seminggu yang lalu, 17 Juli 2016


Training seharian (Thu, Day 254)

Aku semalem tidur agak awal kayanya. Sebelum jam 12. Udah ngantuk banget. Bangunnya pun sebelum jam 8 udah kebangun. Terus sholat dan mandi....