Showing posts with label Masa Depan. Show all posts
Showing posts with label Masa Depan. Show all posts

Sunday, March 14, 2021

Beasiswa atau biaya sendiri? #Day14

Beberapa waktu yang lalu aku sempat terpikir untuk lanjut kuliah S3 di Malaysia sambil bekerja. Aku berusaha untuk mencari beberapa kesempatan beasiswa yang ada di sini. Tapi, setelah aku pikir-pikir, kalau aku ambil program beasiswa, aku tidak bisa sambil bekerja di perusahaanku saat ini. Aku sudah terlanjur jatuh cinta dengan perusahaanku. Akhirnya, alternatif lainnya adalah untuk kuliah part-time. Aku mencari dan mengumpulkan informasi dari beberapa universitas di sini yang menawarkan program S3 part-time di bidang pendidikan atau bahasa. Sayangnya, mereka tidak membuka program S3 part-time untuk mahasiswa internasional, hanya untuk lokal. 

Momen ini mengingatkan aku dengan beberapa tahun yang lalu ketika aku ingin sekali bisa mendapatkan beasiswa untuk kuliah ke luar negeri seperti LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan), Chevening, Fullbright, Australia Awards dana beberapa lainnya yang aku sudah lupa. Sayangnya tidak ada yang lolos. Setelah satu tahun bekerja dan sambil berjuang mendaftarkan diri ke program beasiswa di beberapa universitas dan tidak lolos, aku memutuskan untuk lanjut kuliah S2 dengan biaya sendiri di UIN Jakarta. Waktu itu aku sambil mengajar part-time di English First (EF) Pondok Indah dan di Sampoerna Academy dengan penghasilan yang lebih dari cukup untuk membayar biaya kuliahku dan sebagian aku sisihkan untuk tabungan. Akhirnya, aku berhasil lulus di tahun ketiga. Not bad!

Hal ini juga mengingatkan aku di detik-detik setelah aku lulus SMA. Beberapa guruku mengkhawatirkanku dan beberapa kali menanyakan kemana aku akan melanjutkan kuliah. Mereka sangat berharap aku bisa melanjutkan ke jenjang perguruan tinggiiversitas karena mereka sangat tahu kemampuanku dari beberapa prestasi yang aku capai di dalam dan di luar kelas selama di sekolah. Aku ingat saat itu aku coba mendaftarkan diri ke program beasiswa Universitas Bakrie dan mengikuti tesnya. Aku diterima dengan sejumlah potongan biaya pendidikan, tidak sepenuhnya dibebaskan. Saat itu juga aku merasa bahwa aku tidak akan mampu. Selain Universitas Bakrie, aku hanya mencoba ke Sampoerna School Education (SSE) yang sekarang jadi universitas almamaterku yang selalu aku banggakan. Saat itu juga ada salah seorang guru yang menawarkanku untuk ikut beasiswa Bidik Misi ke IAIN Raden Intan Lampung, tetapi aku tidak menanggapinya karena aku hanya ingin kuliah ke Jakarta. Aku tidak ingin di Lampung lagi. Oya, waktu itu aku sempat mempersiapkan pendaftaran untuk beasiswa ke Universitas Al-Azhar juga tetapi tidak aku selesaikan karena aku merasa tidak mantap sepenuhnya dengan beberapa program yang ditawarkan seperti Bahasa Arab, Tafsir dan beberapa ilmu Islam lainnya. 

Seperti itulah perjuangan untuk terus melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dengan keterbatasan biaya. Terkadang aku menjadi salah satu orang yang beruntung dan mendapatkan pengurangan ataupun pembebasan biaya pendidikan di sekolah, dan ada kalanya aku kurang beruntung dan tidak mendapatkannya di tingkat universitas. Tapi, caraku sekarang dalam melihat situasi saat ini sudah berbeda, menunda-nunda waktu untuk melanjutkan pendidikan karena terus mengejar beasiswa bukanlah satu-satunya pilihan. Pertanyaannya adalah, bukankah kita bisa kuliah dengan biaya sendiri?

Kuliah dengan biaya sendiri mendorong kita untuk semakin bekerja keras untuk bisa membayar biaya pendidikan dan pada saat yang sama belajar dengan sungguh-sungguh agar tidak menyia-nyiakan uang yang sudah dibayarkan dengan memaksimalkan kesempatan dan fasilitas di tempat perkuliahan sebaik-baiknya dan sebanyak-banyaknya. Intinya dengan kata lain tidak mau rugi. 

Kuliah dengan biaya sendiri bukan berarti kita lebih rendah atau tidak sebagus mereka yang mendapatkan beasiswa. Mereka yang berhasil mendapatkan beasiswa merupakan beberapa orang cerdas dan pintar yang beruntung diantara banyak orang cerdas dan pintar lainnya di luar sana. Bagus atau tidaknya seseorang itu bukan tergantung pada siapa atau bagaimana biaya kuliah dibayar, tapi tergantung pada keingingan dalam diri yang kuat untuk menjadi pribadi pembelajar menjadi lebih baik dari waktu ke waktu.

Kuliah dengan biaya sendiri bisa sesuka hati melakukan apapun yang diinginkan setelah lulus. Aku terpikir hal ini ketika tahu ada beberapa teman yang kuliah dengan beasiswa yang di berikan pemerintah, tetapi akhirnya memilih untuk melanjutkan karir di bidang atau di tempat yang bisa memberikan banyak keuntungan untuk dirinya sendiri. Meski demikian, pastinya ada banyak juga yang mengabdikan diri ke masyarakat dengan segala keterbatasannya. Anyway, intinya adalah dengan kuliah berbiaya sendiri kita bisa dengan leluasa mengepakkan sayap sesuai keinginan di manapun dan di bidang apapun. 

Tidak lucu kan kalau kita menunda-nunda atau bahkan sampai tidak melanjutkan pendidikan hanya karena tidak juga mendapatkan beasiswa.  Jadi, untuk kalian para pejuang beasiswa, kuliah dengan biaya sendiri masih selalu bisa menjadi alternatif pilihan. Kalau menurut kalian bagaimana?


Saturday, March 13, 2021

Kesedihan berbuah senyuman #Day12

Aku menyimpan foto ini sudah lama, kira-kira dua tahun yang lalu ketika beberapa bulan awal aku pindah ke Kuala Lumpur, Malaysia. Aku masih ingat waktu itu aku membaca e-booknya ketika aku ada di kereta, tapi entah sewaktu berangkat atau pulang kerja.  Bukunya berjudul Belajar Hidup dari Rumi: Serpihan-serpihan puisi penerang jiwa oleh Haidar Bagir. Kalian bisa coba cari di Google Play Books di Android kalian dan kalian bisa unduh gratis untuk dibaca.

Sambil membaca, aku menyimpan beberapa halaman yang mengesankan buatku. Tapi, sepertinya aku sudah menghapus beberapa lainnya dengan alasan yang bahkan aku sendiri sekarang sudah lupa. Jadi, sekarang tinggal ada satu bagian yang tersimpan. Biaasanya ketika aku menyimpan suatu hal di handphone atau di buku catatanku, itu berarti ada hal-hal tertentu yang membuatku tertarik dan merasa ada koneksi dari apa yang aku temukan dan apa yang aku alami pada saat itu. Dan, biasanya di saat itu juga aku berencana untuk menuangakannya ke dalam tulisan. Sayangnya kenyataan tidak selalu sesuai dengan keinginan. Hehe. Maksudku, aku punya keinginan untuk menulis tetapi kenyataannya jari-jariku tidak tergerak sama sekali untuk menulis. Ya, alhasil tidak ada tulisannya hingga saat ini, setelah dua tahun. Oleh karena itu, saat ini adalah waktunya aku menunaikan keinginanku itu supaya hal ini tidak mengganjal di perasaan dan pikiranku. 

Aku coba membaca lagi teks yang tertulis disini. Saat aku membacanya, aku langsung memaknai bahwa ada kalanya aku harus kehilangan sesuatu atau seseorang sehingga nantinya aku akan dipertemukan dengan sesuatu atau seseorang yang baru lainnya. Kehilangan pastilah menyedihkan, tetapi disitulah ada pintu yang terbuka untuk yang lain dan baru tumbuh atau datang mengisi kekosongan itu. Ketika hal ini terjadi, tidak ada lagi yang bisa aku lakukan selain menerima dan melepaskan sesuatu atau seseorang yang hilang itu dengan harapan bahwa ini akan membukakan pintu untuk kebaikan dan kebahagianku yang lebih di kemudian hari. Lalu, bagaimana kalau akhirnya yang lain dan baru tidak datang atau tidak tumbuh? Itu berarti aku sudah rugi serugi-ruginya? Menurutku tidak, apalah arti mempunyai harapan yang besar di masa datang kalau kita tidak bisa menikmati dan memaksimalkan kesempatan hidup kita hari ini, jam ini, menit ini, dan detik ini. Hehe, sepertinya aku sudah mulai bicara melantur. 

Hal ini mengingatkan aku dengan peristiwa waktu itu ketika seorang laki-laki yang aku kagumi, hormati, dan hargai dan aku harapkan bisa menjadi pasangan hidupku ternyata pergi begitu saja meninggalkan aku dan menikah dengan perempuan lain. Aku sangatlah sedih waktu itu. Tetapi apa dayaku? Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Peristiwa ini jadi salah satu pelajaran buatku bahwa ada hal-hal yang bisa aku kendalikan atau aku kontrol dan ada hal-hal lain dan bahkan lebih banyak lagi yang ada diluar kendali atau kontrolku. Mau tidak mau aku harus menerima dan melepaskan. Saat itu, apakah aku mengharapakan akan datangnya orang yang lebih baik nantinya? Terpikir pun tidak. Cukup berusaha untuk menerima, itu saja. Selain itu, catatan ini juga ini mengingatkan aku tentang hari meninggalnya Bapak. Aku membutuhkan waktu yang jauh lebih lama untuk menghadapi kesedihanku karena kehilangan Bapak. Seperti yang kita semua tahu, Bapak tidak akan pernah terganti. 

Sekarang, setelah beberapa tahun berlalu sejak meninggalnya Bapak dan kepergian laki-laki itu, ada banyak sekali hal yang sudah aku lalui dan aku pelajari. Banyak sekali pengalaman dan pengetahuan sampai sejauh ini yang sudah menjadikan aku sosok yang sekuat dan setegar ini dengan berbagai kemampuan diriku yang terus aku asah dan tingkatkan. Sedikit demi sedikit kesedihanku yang mendalam waktu itu tidak lagi membuatku menangis, tapi tersenyum. Mau bagaimana lagi, hidup akan terus berjalan dan bagian-bagian cerita kehidupan akan terus berlanjut dan sambung-menyambung dari yang satu ke yang lainnya. Akan sangat disayangkan sekali kalau aku menghabiskan waktuku untuk kesedihan. Aku memilih untuk tersenyum dan sesekali tertawa menjalani kehidupan ini. 

Thursday, March 11, 2021

Apa ada cita-cita terlambat? #Day11

Di sekolah sering sekali ada pertanyaan "Apa cita-citamu?" sejak Taman Kanak-kanak (TK), sampai Sekolah Dasar (SD), sampai Sekolah Menengah Pertama (SMP), sampai Sekolah Menengah Atas (SMA), dan bahkan sampai di tingkat universitas. Jujur, dari sejak kecil aku tidak pernah tahu aku ingin jadi apa. Aku selalu merasa bingung untuk menjawab pertanyaan ini. Ujung-ujungnya aku hanya meng-copy apa yang teman-temanku sebutkan di kelas. Ada yang ingin jadi dokter, pilot, guru. Alhasil, cita-citaku berubah-ubah terus. Ya, sederhana saja, karena memang aku tidak tahu ingin jadi apa nantinya. Sempat aku berpikir kenapa aku tidak punya cita-cita, mungkin karena Bapak dan Mamak memang tidak pernah menyebutkan atau mengarahkan profesi-profesi tertentu untuk jadi cita-citaku.

Sampai suatu ketika aku sempat ingin jadi motivator seperti Mario Teguh dan beberpa motivator lainnya yang bisa berbagi pelajaran-pelajaran hidup dan membangkitkan semangat para pendengar untuk menjadi pribadi lebih baik dan terus punya keinginan untuk belajar. Tapi, keinginan itu terhenti ketika ada salah satu teman, aku lupa siapa tepatnya, dia bilang kalau aku perlu punya sederetan prestasi atau kesuksesan terlebih dahulu sebelum menjadi seorang motivator untuk didengar. Kalau aku nya saja tidak berprestasi atau tidak sukses, kenapa orang lain harus mendengar dan mengikutiku? Ya, ada benarnya juga. Saat itu juga aku langsung mencoret kenginginanku untuk jadi motivator. Kenapa? Karena aku tidak ingin jadi orang yang punya ambisi besar untuk mencapai kesuksesan ataupun prestasi yang besar dan sebanyak-banyaknya hanya karena aku ingin jadi motivator yang didengar oleh banyak orang. Aku merasa hal ini kurang tepat. Tidak klik di hati. Sepertinya keinginan untuk jadi motivator ini muncul ketika aku ada di tingkat SMA.

Sampai di tingkat universitas, aku bertemu dengan beberapa dosen perempuan yang menyandang gelar Professor, yaitu Prof. Rosa dan Prof. Paulina. Menurutku, sangatlah keren dan hebat untuk kedua perempuan ini menyandang gelar tersebut. Contoh yang nyata langsung aku temukan di kehidupan ini. Aku ingin jadi seorang Professor juga seperti mereka. Contoh nyata ini membuktikan bahwa seorang perempuan pun bisa menjadi sosok kuat dan mandiri dengan intelektual tinggi. Oiya, terlebih lagi kedua Professor perempuan hebat ini mencerminkan pribadi yang sangatlah bijak dan meneduhkan ketika mengajar dan berinteraksi dengan kami semua mahasiswanya. Selain itu, aku pun pernah suatu ketika secara tidak sengaja mendengar kedua perempuan hebat ini bercakap-cakap dengan Bapak Rektor dan beberapa dosen lainnya. Dan aku langsung jatuh cinta ketika mereka memanggil kedua perempuan hebat ini dengan panggilan 'Prof'. Sangatlah keren. Bukan Mbak, Ibu, Ms., Mrs., atau Mam, tapi Prof. Aku langsung jatuh cinta, dan lagi-lagi aku ingin sebutkan kalai aku ingin jadi seorang Professor. Cita-citaku, ingin jadi professor (Ingat lagu ini?)

Saat ini aku sudah menyelesaikan pendidikan S2, dan pastinya aku perlu melanjutkan studiku ke tingkat S3 kalau aku memang benar-benar ingin meraih mimpiku untuk menjadi seorang Professor. Jujur, aku tidak tahu bagaimana caranya ataupun syarat-syarat nya apa saja. Beberapa waktu yang lalu aku sempat menerjemahkan satu artikel penelitian tentang evaluasi beberapa profesor di kampus UIN Jakarta, dan seingatku persyaratan mendasarnya adalah menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pelaksanaan pendidikan, penelitian dan pengabdian. Apakah aku serius dengan cita-citaku ini? Iya, pastinya aku serius, tapi tidak serius-serius banget. Biasa saja sambil melakukan apa yang bisa dilakukan. Tulisan ini adalah pengingatku kalau masih ada hal yang ingin aku capai supaya aku terus bergerak maju untuk belajar dan meningkatkan kemampuan diriku. Apalah arti hidup ini kalau sudah tidak ada lagi harapan dan semangat untuk terus belajar dan belajar.  


Monday, March 8, 2021

Antara memori dan imajinasi, jebakan atau jembatan? #Day8

Sebagai manusia, kita adalah sebaik-baiknya ciptaan, terutama karena adanya otak yang kita miliki untuk berpikir. Kemampuan yang dimiliki otak kita ini sangatlah luar biasa hingga bisa menembus ruang dan waktu yang pada dasarnya tubuh ini sangatlah terbatas ruang dan waktu. Menarik ya? Berbicara soal kemampuan otak kita ini, aku teringat salah satu hal yang disampaikan oleh Sadhguru di salah satu 'pengajian'nya. Aku lupa tentang apa konteks atau topik yang dibicarakan saat itu, tapi yang jelas ada satu hal yang sangat aku ingat dan aku masih terus belajar untuk memahaminya.

Memori
Hingga saat ini aku sudah berusia 28 tahun dan sebentar lagi akan memasuki usia 29 tahun. Itu berarti aku seudah menjalani kehidupanku selama itu. Hal yang menakjubkan dari otak yang aku miliki adalah bahwa hal-hal yang terjadi padaku atau aku alami sebelumnya akan tersimpan didalam otakku. Ada yang indah. Ada yang buruk. Ada yang mengecewakan. Ada yang menyedihkan. Bermacam-macam peristiwa terjadi disertia emosi yang melekat di setiap kejadian itu tersimpan di sana. Terlebih lagi, otak kita tidak hanya menyimpan hal-hal yang memang sengaja kita ingat, tapi juga hal-hal yang mungkin tidak sengaja kita dengar atau lihat atau rasa. Aku jadi teringat ada kalanya di masa lalu, aku lupa tepatnya kapan, aku memutuskan untuk menyimpan hal-hal yang memang aku ingin simpan dan mengabaikan apa-apa yang aku tidak ingin simpan. Alhasil, seeperti yang sering dikatakan pacarku dan teman-temanku, aku jadi pelupa. Hehe.

Imajinasi
Selain menyimpan masa lalu, ternyata otakku bisa membayangkan apa yang akan terjadi besok, minggu depan, bulan depan, tahun depan, ataupun beberapa tahun kedepan. Ya mungkin ini merupakan sebuah gambaran yang aku miliki dari perencanaan-perencanaan yang aku buat. Sangatlah luar biasa, ya. Pernah tidak kalian memikirkan berdasarkan apa gambaran atau imajinasi kalian muncul di masa yang akan datang? Aku sempat memikirkannya dan aku menemukan sebuah pemikiran bahwa pastinya berdasarkan pengalaman yang telah lalu dan juga informasi yang sudah kita dapatkan sebelumnya sehingga aku bisa mempertimbangkan berbagai kemungkinan-kemungkinan yang akan mempengaruhi rencanaku tersebut. Dan, itu semua tidak lepas dari memori yang sudah aku jelaskan di atas. Lagi-lagi, aku ingin mengatakan bahwa hal ini sangatlah menarik. Oya, tapi perlu kita sadari bahwa kenyataan yang terjadi ini tidak selalu seperti imajinasi yang dibayangkan. Ada lebih banyak faktor yang tidak bisa aku jangkau atau kendalikan untuk memastikan semuanya pasti. Lagipula, tidak ada yang pasti di dunia ini selain kematian. 

Saat ini, jebakan atau jembatan?
Suatu hari ada seorang temanmu yang berbohong dan ketahuan. Apakah sekarang kamu masih akan percaya dengan temanmu itu?
Suatu hari ada seorang temanmu yang memberimu sebuah hadiah. Apakah sekarang kamu masih akan berteman dengan temanmu itu?
Disinilah hal yang sempat aku renungkan, apakah saat ini, waktu penghubung antara memori dan imajinasi akan menjadi sebuah jebakan bagiku dalam bertindak dan menyikapi suatu hal karena kalau aku berperilaku dengan berdasarkan memori-memori yang sudah aku miliki dan membayangkan dalam imajinasiku tentang apa dan bagaimana suatu hal akan terjadi nantinya, itu berarti aku sudah terjebak di dalam memori dan imajinasiku sendiri. Secara tidak langsung, keadaan ini seperti halnya aku sudah memiliki sebuah teori dalam diriku sendiri, jika A maka B. Aku tidak ingin seperti itu. Aku ingin menjadikan waktu saat ini sekedar sebagai jembatan jembatan saja dan terbuka dengan segala kemungkinan yang terjadi. Ketika ada seseorang yang mungkin sudah menyakiti atau mengecewakanku di masa lalu, bukan berarti aku harus menjauhinya dan benci terhadap orang tersebut. Iya, aku sedih dan kecewa, tapi bukan berarti aku akan mengkhawatirkan hal-hal tersebut akan terjadi di masa datang dan akhirnya aku menjadi seseorang yang tidak baik. Aku ingin belajar untuk melepaskan dan melupakan hal-hal dalam memori dan imajinasi, dan hidup seutuhnya di masa saat ini. Oya, aku jadi ingat sebuah pesan guru-guruku sebelumnya untuk selalu mengingat kebaikan-kebaikan yang orang berikan kepada kita dan melupakan kebaikan apapun yang kita lakukan atau berikan kepada orang lain. Lalu bagaimana dengan keburukan? Pastinya hal ini tidak dibahas karena tidaklah penting. Aku sangat suka nasehat ini. 

Dan, seperti yang Sadhguru peringatkan, aku belum mengambil kesimpulan apa-apa sampai saat ini karena aku masih terus belajar dan belajar. 


Sunday, March 7, 2021

Let's thrive! Not only me, but also you! #Day7

Lagi-lagi, masih soal perayaan Hari Perempuan Internasional di kantor beberapa hari yang lalu. Di akhir acara Pak Azwan sempat menyebutkan soal 'thriving'. Seperti yang kita ketahui bahwa sudah satu tahun lebih kita melewati masa pandemi ini dengan berbagai perbedaan dan perubahan yang besar dari sebelumnya dalam hal pekerjaan, kehidupan sehari-hari di rumah, dan kehidupan bersosial. Terlebih lagi dalam  hal ekonomi, banyak sekali orang-orang di luar sana yang mengalami kerugian atau kemunduruan dalam bisnis yang dijalankan. Banyak juga di luar sana orang yang kehilangan pekerjaan. Ini adalah masa yang berat dan sulit untuk kita semua. Meskipun begitu, segala puji bagi Allah atas segala nikmat yang masih diberikan ke aku hingga saat ini. Aku sangat bersyukur. 

Pak Azwan sempat menyebutkan bahwa meskipun kita melalui masa-masa sulit ini, bukan berarti kita harus terpuruk dalam kesedihan dan menyerah pada keadaan. Sebaliknya kita harus bangkit dan mengupayakan hal terbaik yang bisa dilakukan untuk terus berkembang dan maju. Satu hal lagi, beliau juga menyebutkan bahwa jangan lupa untuk bergandeng tangan dengan orang lain untuk maju bersama-sama. Di saat itulah aku teringat lagu yang dulu seringkali aku dan teman-teman nyanyikan saat belajar di Sampoerna School of Education (SSE) yang berjudul Spread Our Wings.

Baru saja aku mencari lagu ini di Youtube untuk aku putar dan ikut bernyanyi bersama. Dan, aku juga mencari halaman dimana aku bisa menyalin lirik lagunya. 

Spread Our Wings

I can dream the impossible
I fear not the obstacle
For if I believe in me
I can make it possible
I’ll shine my light for all the see
For a gem can’t be polished without frictions
Nor man perfected without trials
 
We all take different paths in life
But no matter where I go
I will feel safe knowing that
We’re all together in this journey
 
For we are one big family
There’ll always be time for sharing
And caring for each other,
Even when we are far apart
 
Like an eagle, we spread our wing
Soaring high in the sky of dream
Always strive to be the very best
And help others to soar as high
 
We remember the start
We will go through the journey
We will reach the goals
Let’s lend our hands to our brother and sisters
Let’s make a brighter tomorrow for others
Make their impossible dreams possible
For when we believe, when we are together
We can make the difference

Saat menyanyikan lagu ini, aku teringat masa ketika aku kuliyah untuk mengejar mimpiku. Mimpi apa dan yang mana? Nanti akan aku bahas di bagian tuliasan yang lain. Banyak sekali keterbatasan-keterbatasan yang aku miliki dan alami saat itu. Nyatanya, aku bisa melalui semua itu dan menjadi diriku saat ini yang mempunyai banyak sekali potensi. 

Yang pastinya, saat ini aku menyadari bahwa setiap baris di lagu ini sudah terserap ke dalam diriku sampai-sampai banyak sekali hal yang sudah aku lakukan dan ternyata itu adalah bagian dari lirik lagu ini. Bagiku, lagu ini mempunyai pesan yang sangat kuat. Hiingga saat ini, ini merupakan salah satu lagu penyemangat, pengingat buatku untuk terus mengepakkan sayap, bukan hanya sayapku tapi juga sayap kalian. 

Saturday, March 6, 2021

Kamu cerminan panutanmu #Day6

Dua hari yang lalu aku mengikuti acara virtual langsung perayaan Hari Perempuan Internasional 2021 di Accenture Malaysia. Di akhir sesi, ada kalimat penutup yang disampaikan oleh pimpinan Accenture Malaysia, Azwan Baharuddin. Aku sangat suka bagaimana beliau menyampaikan pesan-pesannya yang penuh rasa, semangat, ketulusan dan kejujuran sehingga apa yang disampaikan tidak hanya sekedar kata-kata tetapi juga menyalurkan energi ke aku sebagai salah satu pendengarnya. Dan, jika suatu saat nanti aku menjadi seorang pemimpin entah di sebuah perusahaan, komunitas, daerah, ataupun yang lainnnya, aku akan melakukan hal yang serupa. 

Kamu adalah cerminan dari panutanmu (your role model). Inilah hal yang muncul pada saat itu juga. Hal ini membuatku merenungkan kembali siapa saja yang sudah menjadi panutanku selama ini dan apa saja hal yang sudah aku cerminkan dalam kehidupanku.

Pengaruh yang sangat besar dalam caraku menjadi seorang guru adalah Miss Yannik, salah seorang dosen ketika aku belajar S1 di Sampoerna School of Education (SSE). Aku sangat suka bagaimana cara beliau membangun hubungan dengan setiap mahasiswa yang sangatlah personal sehingga setiap mahasiswa, termasuk aku, merasa dekat dengan beliau. Dan, karena kedekatan inilah aku merasa aman dan nyaman mengikuti kelas beliau. Tapi, bukan berarti kami bisa berbuat seenaknya. Peraturan kelas, ketentuan tugas dan penilaian harus tetap ditaati dengan semestinya. Salah satu keinginanku adalah menjadi seorang guru seperti beliau dan sampai saat ini aku masih terus menerapkannya. Terima kasih, Miss Yannik. 

Aku mencoba mengingat lagi siapa saja yang sudah menjadi sosok panutan di beberapa aspek kehidupanku. Mungkin karena terlalu banyak, jadi aku tidak bisa menentukan yang manapun. Bagaimana bisa banyak? karena dari setiap orang, entah siapapun itu, aku selalu yakin dia mempunyai hal positif yang bisa aku pelajari dan bisa aku ambil untuk aku simpan dan amalkan. 

Aku jadi ingat Mba Ieie. Dia adalah teman kerjaku ketika aku kerja paruh waktu sambil kuliyah di Jakarta. Saat itu aku sedang berpacaran dengan seseorang dan hampir setiap hari pasti SMSan atau teleponan. Aku masih ingat  waktu itu kami sedang makan malam di pinggir jalan dan dia nyeletuk "Teleponan SMSan terus sama pacar, udah telepon Bapak Ibu belum?" Sejak saat itu juga aku berusaha untuk terus berkomunikasi dengan Bapak dan Ibu setiap hari lewat telepon, tepatnya setiap pagi. Aku selalu mengobrol dengan Bapak paling tidak satu jam biasanya. Makadari itu ketika Bapak meninggal dunia, aku sama sekali tidak merasa menyesal atau bersalah karena tidak bisa menghabiskan banyak waktu dengan Bapak karena aku ada di Jakarta dan Bapak di Lampung. Kami sudah menjalin komunikasi dan hubungan yang sangat baik di hari-hari kami dengan jarak jauh. 

Siapa lagi, ya? Ada banyak. Akhir-akhir ini aku sedang banyak menyimak pelajaran-pelajarn dari Sadhguru untuk bisa aku terapkan di kehidupan sehari-hari. 

Yang pastinya, panutanku dan pahlawanku adalah Bapak. Banyak sekali hal yang sudah aku pelajari dari Bapak dan sampai saat ini sudah aku terapkan. Bahkan bisa jadi aku karakter dan sifatku sudah menyatu dengan hal-hal yang diajarkan Bapak tanpa aku sadari. Bapak selalu mengajarkan untuk tenang (stay calm). Bapak mengajarkan untuk tidak usah muluk-muluk dalam mengejar suatu ambisi atau keinginan. Bapak mengajarkan untuk menjadi pribadi yang tegas dalam mengambil keputusan dan selalu siap menanggung segala akibat yang mungkin terjadi. Bapak mengajarkan untuk santai saja (chill out) ketika menghadapi suatu kegagalan dan terus maju ke depan dengan memanfaatkan kesempatan yang ada untuk perbaikan. Bapak mengajarkan untuk tidak pernah takut dan dihantui oleh masa depan karena yang terpenting adalah melakukan yang terbaik sekarang. Bapak mengajarkan banyak hal yang seringkali dikaitkan dengan kejadian atau peristiwa yang terjadi di masa para Nabi atau sahabat. Dan,  Bapaklah yang mengenalkan aku tentang Allah swt. dan Rasulullah saw. yang penuh cinta dan kasih sayang.

Dengan kata lain, ketika kamu ingin mengenali seseorang, salah satu caranya ialah dengan mencari tahu atau mengenali siapa panutannya. 

Dan, coba deh berhenti sejenak, siapa saja sih panutan kamu sehingga kamu menjadi dirimu saat ini?

Wednesday, March 3, 2021

Makna dalam Passion dan Kesuksesan #Day3

Siapa sih yang tidak ingin sukses?

Aku, kamu, kita semua ingin sukses. Menariknya adalah kita memiliki gambaran kesuksesan yang berbeda dan juga cara berbeda untuk mencapainya. Titik temuanya adalah kita sama-sama ingin sukses, dalam berbagai bentuk dan rupa saat dibayangkan, karena kesuksesan itu secara tidak sadar kita menyamakannya dengan kebahagiaan. Aku sukses sama dengan aku bahagia. Lagi-lagi, ujung-ujungnya adalah untuk jadi bahagia. Itulah yang dicari-cari semua orang. Makanya ada film yang judulnya The Pursuit of Happiness. Aku tidak bisa paparkan ringkasan filmnya di sini karena sudah sangat lupa. Aku menonton film itu lebih dari tujuh tahun yang lalu. 

Baiklah, berbicara soal kesuksesan, aku sempat menyimpar 2 bagian video yang aku tonton di Youtube tepatnya tanggal 29 September 2019. Aku lupa dari mana aku menemukan video ini saat itu, tapi aku memang suka menonton video dari TED. Kenapa kedua bagian ini aku simpan? Karena mencakup inti penjelasan yang disampaikan pembicara dan aku setuju dengan gagasannya. Saat itu juga aku berencana untuk membuat tulisan tentang idenya ini untuk aku hubungkan dengan bagaimana aku memahaminya. Alhasil, baru sekarang aku bisa menuliskannya. Akupun perlu cari lagi di Google dulu nih supaya bisa mengingatkan kembali isinya secara utuh. Kamu bisa tonton di sini.

Gambar pertama mencakup 8 ciri yang dimiliki orang-orang yang sudah mencapai kesuksesan di karir mereka. Ini merupakan hasil penelitian dan interview yang Richard St John lakukan. Kedelapan ciri itu adalah: mencintai apa yang kamu lakukan (love what you do), bekerja dengan sangat keras (work really hard), fokus pada satu hal, bukan semua hal (focus on one thing, not everything), terus dorong diri sendiri (keep pushing yourself), muncul dengan ide-ide bagus (come up with good ideas), terus tingkatkan diri dalam hal yang dilakukan (keep improving yourself on what you do), layani orang lain dengan hal yang bermakna karena kesuksesan bukan hanya soal diri kita sendiri (serve others something that values, success isn't just about me me me), pantang mundur karena tidak ada kesuksesan dalam semalam (persist, no overnight success). Selebihnya, para orang sukses mengembangkan kemampuan mereka dalam bidang-bidang tertentu seperti technical skills, analytical skills, people skills, creative skills, management skills, dan computer skills


Pertanyaannya adalah bagaimana kita bisa tahu kalau suatu hal itu adalah passion kita. Nah, di bagian ini aku teringat dengan buku yang sebelumnya pernah aku baca, Man's Search for Meaning oleh Viktor E Frankl. Seperti yang kita kenal dan ketahui bahwa sebuah passion adalah hal yang kita cintai dan kita sukai untuk dilakukan. Di bagian ini aku mencoba mengaitkan bahwa, kita bisa mencintai suatu hal tertentu karena ada sebuah makna tersendiri di dalamnya untuk diri kita. Maka dari itu, mungkin ada beberapa orang yang melakukan sebuah pekerjaan yang sama dengan passion yang sama tapi memaknainya dengan cara yang berbeda. Makna ini sangatlah personal karena terkait erat dengan perasaan yang melekat. Ketika kita sudah menemukan sebuah makna dalam suatu hal, kita akan mencintai dan mencurahkan segala daya dan upaya didalamnya, dan akan terus merasa bahagia meskipun ada banyak rintangan dan kesulitan yang menghadang. 

Pertanyannya, bagaimana sih kalian memaknai apa yang kalian lakukan saat ini? Share di kolom komentar, ya. 

Saturday, February 27, 2021

Pursuing an international career: Why not?

How did I start?

About the end of 2018, I started thinking about working abroad, especially in Malaysia. There was no specific reason or motivation why. It was simply because I was in a relationship with someone who was at the time working there and I thought it would be a good idea if I were also there so that we could be together. He was the one who told me that he found many Indonesians working in Malaysia, so it would be possible as well for me to work there. Since then I started to look for a job in Malaysia for Indonesian speakers. Why 'Indonesian speakers' became a keyword? It was because I am a native speaker of the Indonesian language and this skill is what others from other countries don't have despite my educational background and working experience that I had. As far as I remember, I applied to many job vacancies available on Google starting from those on the public job portals such as Jobstreets and Linkedin to those on the outsourcing company portals such as Manpower (he was hired by this company anyway) and Kelly and many others.
 
The offer to work in Malaysia came a few times, maybe around three times, but the other two did not go well maybe because my educational background and/or working experience was irrelevant. As far as I remember, they needed someone who has an educational background in business. Finally, the third time I got an offer and an interview by phone was arranged. Guess what? I had the interview on a bus from the airport to my rent room in Jakarta. I was on my way back to Jakarta from my hometown in Lampung. Unexpectedly, my flight delayed for about one or two hours. Well anyway, it went well. I got the offer the next day by email and I said yes right away. Was I excited? yes, but I was not too excited because my boyfriend vanished in January with no reason until at that time. Nevertheless, I was sure I would be okay in Malaysia without him. I changed my purpose and motivation for going, not because of him, but because I wanted to get more experience in life and if possible to continue my Ph.D. there. For your information, after a week of my arrival, I was thinking about inviting my ex for a cup of coffee. Unfortunately, it turned out he got married already. With who? With an Indonesian girl from Wakatobi. The worse part was that they got married on April 21st, my birthday when I was flying to Malaysia. Anyway, the ticket I had was supposed to be a two-way ticket for a short vacation in Malaysia to be with him celebrating my birthday, but no one knew what would happen next, right? I came here to Malaysia for work and just let the other ticket go because it was not refundable. It was a cheap flight ticket for a vacation promo that kind of thing. 

What's my background?

At that time, I had graduated from my Master's program a few months earlier, exactly in August 2018, and I started teaching in a university (where I studied for a bachelor's degree) as an English instructor starting in October. At the same time, I was still teaching part-time at English First Pondok Indah, Jakarta. So, it was a big decision for me to make at that time leaving the English teaching career that I had had in Jakarta in the last 8 and almost 9 years (since 2010, the second year of my bachelor's as an English private teacher). Especially at that time, I was an English instructor in a university a.k.a lecturer. I really love my students. We were like friends sharing stories and learning together. I also loved my colleagues who always had stories about many things such as other colleagues, teaching materials, and even about our students. Haha. We had a name for students, like good-looking ones, annoying ones, naughty ones, cool ones. Sadly, I was just there for one semester. I still remember that one day my supervisor, Ms. Widdy, asked me if I was sure about my decision and what I would actually do here in Malaysia. Honestly, I had no clear idea at that time and I just said whatever written there in my job descriptions. How it would look like? No idea at all. But, life must go on. I was ready to take another challenge leaving my comfort zone in Jakarta and to have another fight in Malaysia. Just like what I did before, leaving Lampung and fighting in Jakarta. Just like when I left my village to the capital city Bandar Lampung to fight for my high school. One fight after another I take. What for? I am not even sure what it is for? but what I am sure of is that a lot to learn in every single step I take.

Many things have happened since I graduated from Sampoerna School of Education, now well known by Sampoerna University with more faculties, not only education. I started teaching at Rumah Bahasa only for a few months then decided to leave due to its unprofessional HR management. Then found an opportunity on the internet, again not sure where it was from, I applied to English First and got hired. I still remember that the HR person Ms. Pram thought I was a model because of my previous school names, MIN Model (Madrasah Ibtidaiyah Negeri) and MAN Model (Madrasah Aliyah Negeri). In fact, this word 'Model' was to represent that the school was a role model for other schools in the region. It's funny, isn't it? after one year of teaching there I started getting bored and no challenge in my routine so I decided to continue my Master's degree part-time at UIN Jakarta (Universitas Islam Negeri). Well, the distance was not far from my rent room, to EF and to UIN, with my motorbike. During my master's, I tried to take this opportunity as much as I could, especially to do things that I couldn't do during my bachelor's. One of them is to present some papers of the assignments at some international conferences and to request the university to financially support me. Well, not bad, I went to Malang, Singapore, and Thailand supported by UIN. Other than that, I actively contributed to the student council conducting some projects such as TOEFL and TOAFL preparation classes for master students there considering they needed to pass the minimum score to graduate. Also, recognizing me in attending some international conferences, some lecturers in my faculty sought my assistance to be a part of the committee in international conferences conducted by UIN. It was great that I could get the experience not only as a participant or a presenter but also as a committee member. Because of my close interaction and relation with the lecturers there, I was awarded as the best master's student in 2016 in the faculty. Oh, last, I got involved in some research projects with Ms. Ratna and Ms. Desi. A lot of things I did, right? 

Any challenges I got through?

Well, the very first challenge was to find a place to stay. Luckily, I knew a friend from an English community that I joined a long time ago www.speaking24.com. He was studying for his Ph.D. in Malaysia. Surprisingly, there was a vacant room at his unit. The old tenant just moved out a month before, so I took the room. The problem was that I was not familiar yet with the surrounding, especially the distance from this place to my office and any transportation available. It turned out, its location was quite far. It got even worse because my work schedule is uncommon. I work in shifts, morning, middle, and night, and the schedule changes every three months. I am sure it would be much easier at that time for me if I knew someone from Indonesia (especially female) staying in Malaysia who could help me. Yes, at that time I had a friend but I didn't want to trouble him too much. What I thought in the first place was that so as long as I found a place to stay, then that's fine. After three months of staying there, my transportation expense was quite much so I decided to leave the place. You know what? I didn't know and I wasn't familiar with the tenant agreement at that time which some say the minimum period of stay is 6 months. The thing was that he didn't tell me clearly about the terms and conditions. Finally, I gave him one month's notice, left the place, and moved to a room at an apartment near to my office. See? It's complicated.

Another challenge was the currency. I needed a calculator most of the time when I wanted to buy something to at least compare and contrast the buy value between here and Indonesia so I could decide if it was cheap or expensive to buy something. Seriously, it was not easy. Each currency has its own value attached to the general values applied in its country or region at least. A higher price here in Malaysia does not always mean it is more expensive than it is in Jakarta. It may have a higher price but the value is just the same in the general value applied to the people and community here. Anyway, I am not good at talking about money and I may confuse you here. But, the thing is it is difficult to decide if something cheap or expensive. Even until now. That's why I don't think too much anymore about it now. I get tired of it. I will get what I need. That's all. haha. I don't care if there might be some friends who have been here long before me making some jokes on how stupid I am to buy certain stuff at a certain price which they may consider to be too expensive. I don't care. It's fucking difficult. Oh, by the way, now the currency from RM 1 is Rp 3,500, or in other words, 1 x 3. But, in my mind what's written is not like that, simply I put 3 zeroes at the back. Let's say I buy a snack costs RM 2, what I have in mind is like Rp 2000, which is totally possible to make me broke because in fact it actually costs Rp 7.000. Can you see what I mean?

Here comes to me dealing with the people here Malaysians or those who look like Malay. Most people think that Bahasa Indonesia and Bahasa Melayu are the same. I'd personally rather say that they are similar, not the same. If they are the same, they are totally and exactly and absolutely and definitely the same. Well yes, some are the same, but some others are different. This difference sometimes makes me confused whether I better speak Bahasa Indonesia or Malay or even in some situations English. A few times I tried speaking in Malay, but the person I talked to could easily notice it and right away think that I am Indonesian from my accent. There was nothing wrong with it of course. But, by then they would refer to me as a low-educated person who works as a housemaid and does not know English. How do I know? From the questions that they asked me. It's terrible, isn't it? At the other time, I spoke in English, especially with Chinese because even some of them sometimes do not know Malay. The thing is that there was a time when I spoke English and the person I talked to started asking where I was from. As soon as he knew that I was from Indonesia,  he started preaching about language saying that it was disrespectful to speak in English, not in Malay or Bahasa Indonesia in Malay land. So, what should I do then? Tell me.
 
The next challenge is when I had to deal with the diversity around me, especially at the workplace. LGBTQ is something common among colleagues and superordinates. It was my first time dealing with people who openly declare themselves to have a certain gender identity or sexual orientation. I am okay with that. We are all humans living together in this world, so let's be human. The thing is that there might be at some point where I am confused about what stand should take in how much support I would give them. Sometimes there is some kind of contradiction between what I believe to be a human and what I believe to be a Muslim. But anyway, despite all diversities at the workplace, we get along and work together really well for the best performance. Let the personal preferences be personal, and together be professional. 

How do I survive?

This job is a job that I have never done before, but I believe that I can always rely on my educational background and working experience. In the first few months, I tried very hard to get to know how things work exactly at the workplace. Any mistakes I made? A lot. Many times. But, each mistake I made let me learn things one by one. I observed and learned until I got the main idea of what it wants from me at doing the job, especially in terms of quality and quantity. What kind of quality I should have and how much quantity I should do. Trials and errors I have been through. Did I ever feel like giving up? Of course. Many times. It would be much easier for me to get back to school teaching lovely and fun students, right? But here I am not a teacher. I am a totally new student in a new work environment. If I can be a good student here, I will definitely be a good teacher here as well.

Other than my work, there are surely things out of my control coming from the management side. Some decisions are made changing from time to time, sometimes with a notice in advance and some other times in short notice. Well, what more to expect? No matter I go, in which institution or company I work for, the change would always be there. It was one of many things I remember from what Sir Anddy said (my supervisor in LRC SU). Any changes are the dynamics and what I always believe is that change happens for a reason, or maybe some reasons. Sometimes I know it, sometimes I don't, even though there must be some kind of feeling within me wondering why certain things happen. Well, we can't force ourselves to know everything, right? So, what I can do is to always see the big picture of something and its bright side in dealing with any dynamics. Some say that it may be me who may lose, but who cares? I don't care. Well, I may care, but that's none of my control and none of my business. The story would be different if I still have a chance or a way to fight for it. Anyway, as long as I live, I am happy and grateful for what I have and keep doing a good job. 

To work abroad does not mean to earn only money but also a lot more than that. After three months working here, I started thinking about teaching. I missed teaching so much. It took me to Myprivatetutor Malaysia on the internet where I could register myself as a teacher of English and Bahasa Indonesia, and connect me to students. Until now I have got students from Italy, Korea, German, and even Malaysia. It's interesting, isn't it? Other than teaching I still got involved in a research conducted by Ms. Ratna and Ms. Desi on Indonesian migrant workers in Malaysia and Singapore. I tried to find some Indonesian migrant workers organizations in both countries. Here, I started to be in touch with Edukasi Unntuk bangsa (EUB) and International Domestic Workers Federation (IDWF). Before the pandemic came, I voluntarily taught English conversation with Ibu Sri to Indonesian migrant workers. Sadly, no more classes until now because of the pandemic, and the school SIKL (Sekolah Indonesia Kuala Lumpur) is closed. In IDWF, I have been actively involved in some events as an interpreter for Bahasa Indonesia and/or English. These opportunities have made me in close contact with Indonesian migrant workers family here. It is great. Some of them are elder than me who treat me just like their daughter and little sister, and some of them are younger than me whom I consider like my little brothers and sisters. Additionally, I joined some voluntary teaching programs conducted by my company Accenture in collaboration with  Teach for Malaysia and SOLS 24/7, which allows me to broaden my network here as well as share knowledge and impact. These all are self-rewarding. 

So, for those of you thinking about going to work abroad, why not?

-----------

Last January I was invited by my old university, Sampoerna University, to share my experience of working abroad with the students there. I was with my other two friends, Agnes and Sahlan, who are also working in another country, Agnes is in Malaysia and Sahlan is in Thailand. It was an honor and a pleasure for me. May they and you all find this information useful. Here are the PPt slides. 


Saturday, May 4, 2019

Bekerja di Negeri Jiran, Malaysia

Di kantor tempat aku bekerja, sebuah tempat bimbingan belajar Bahasa Inggris di Jakarta, ada beberapa guru yang berasal dari negara lain seperti Australia, Inggris, Amerika, Kanada dan lain-lain. Beberapa dari mereka datang ke Indonesia untuk bekerja pertama kalinya di negara lain. Ternyata sebagian lainnya sudah pernah bekerja di beberapa negara lainnya sebelum datang ke Jakarta. Sempat aku terpikir, wah mereka datang jauh-jauh dari negara nya ke Indonesia, ke tempat aku bekerja, dengan meninggalkan segala apa yang sudah di miliki di sana. Sepertinya akan seru juga kalau aku bisa pergi ke negara lain untuk melakukan hal yang sama. Anggap saja seperti uji nyali, seberapa kuat aku akan menghadapinya. Alhasil, sekarang aku sudah dua minggu tinggal di Kuala Lumpur, Malaysia. Pastinya, ada proses yang harus aku lalui sampai pada saat ini, dari masa mencari pekerjaan, penantian, proses seleksi, dan mengurus segala dokumen untuk mendapatkan visa.

Tahap pencarian
Setelah aku mulai mempunyai keinginan untuk bekerja di negara tetangga, aku mulai mencari berbagai peluang pekerjaan yang ada di internet. Berdasarkan saran seorang teman yang sudah bekerja disana, aku memulai dengan mengirimkan resume ku ke beberapa halaman recruitment agency seperti Manpower dan ada beberapa lagi lainnya, aku lupa. Waktu itu aku coba ketik di Google 'recruitment agency Malaysia'. Selain itu, aku juga membuat akun di beberapa website untuk para job seekers seperti Jobstreet dan banyak lainnya. Oya, di beberapa website recruitment agency, aku coba mencari pekerjaan yang sesuai dengan keahlianku dan cukup didukung dengan pengalaman kerjaku. Aku membuat akun dan memasukkan daftar riwayat hidup (CV) di website tersebut. Jadi, sewaktu-waktu ada lowongan yang kira-kira sesuai, akan ada staff yang menghubungi dan menawarkan posisi pekerjaan yang ada.

Tahap menunggu
Setelah aku memasukkan resume ke beberapa website, aku perlu menunggu sampai nanti aku akan dihubungi. Sembari menunggu ada tawaran yang datang, aku masih melakukan aktifitas seperti biasanya di pekerjaan dan kesibukan yang aku lakukan pada saat itu. Karena aku tidak pernah tahu kapan tawaran pekerjaan akan datang, jadi aku berusaha bersabar dan optimis sambil menjalani apa yang ada. Menunggu bisa jadi membosankan kalau hanya mencurahkan waktu, pikiran, dan tenaga untuk hal yang ditunggu, tapi menunggu pun bisa jadi menyenangkan dan bahkan lebih bermanfaat kalau diisi dengan bangyak hal-hal yang tidak sia-sia.

Ketika ada lowongan kerja yang sesuai dengan klasifikasi yang aku punya, perusahaan menghubungiku melalui email dan telepon untuk menanyakan apakah aku tertarik dengan posisi yang ditawarkan. Di tahap ini, aku bisa memilih untuk memberikan jawaban apakah aku tertarik atau tidak. Suatu saat, pernah aku mendapatkan tawaran untuk bekerja berkaitan dengan akuntansi. Meskipun aku tidak punya pengalaman tertentu di bidang ini, aku merasa mungkin aku bisa mencoba. Jadi, aku jawab iya. Sayangnya proses tidak berlanjut karena mungkin pihak perusahaan mengkaji kembali kemampuanku di bidang ini. Dan lagi, aku kembali di tahap ini, menunggu.

Tahap rekrutmen
Setelah tawaran yang sesuai datang dan aku juga tertarik, proses selanjutnya adalah tahap rekrutmen. Perusahaan akan menanyakan melalui telepon tentang gaji yang diharapkan dan kapan bisa mulai bekerja. Aku juga diberikan kesempatan untuk bertanya terkait keuntungan apa saja yang diberikan selama aku bekerja. Setelah cocok, aku dijadwalkan untuk wawancara telepon terkait pekerjaan yang nanti akan aku kerjakan. Pihak rekrutmen akan mereview hasil wawancara dan memberikan keputusan apakah diterima atau tidak secepat mungkin. Waktu itu, aku diberikan kabar sehari setelah wawancara. Pihak HR (Human Resource) pun kemudian mengirimkan dokumen kontrak untuk aku pertimbangkan dalam waktu kurang lebih seminggu. Dokumen tersebut perlu dicetak, ditandatangani, diskan, dan dikirimkan kembali ke pihak perusahaan. Dalam hal ini, aku tidak perlu tergesa-gesa,. Aku harus baca dengan baik kontrak yang ada dan tanyakan ke pihak perusahaan jika ada hal-hal yang perlu diperjelas. Meski demikian, semakin cepat aku mengirimkan kembali kontrak, semakin cepat proses selanjutnya.

Tahap mengurus visa sebelum keberangkatan
Tahap selanjutnya, perusahaan akan mengalihkan perihal visa ke pihak ke tiga, atau biasa disebut agen. Tapi, agen ini bukan yang receh yah, mereka sangat profesional dan kredibel dalam menangani urusan visa. Aku menerima email mengenai beberapa dokumen yang diperlukan untuk mendapatkan visa kerja (Employment Pass). Agen memberikan jangka waktu tertentu untuk kelengkapan dokumen yang diperlukan, kurang lebih 2 minggu. Akan tetapi, lagi-lagi, aku upayakan semua dokumen yang diperlukan segera dipersiapkan supaya bisa segera diproses. Setelah semua dokumen lengkap, agen akan mendaftarkan nama ku ke MDEC (Malaysia Digital Economy Corporation). Kemudian MDEC akan mengeluarkan surat yang menyatakan bahwa aku diizinkan masuk ke Malaysia untuk bekerja di perusahaan yang aku tuju. Setelah aku menerima surat itu, aku diminta untuk mendaftar Single Entry Visa (SEV) ke MDEC yang ada di jakarta. Meskipun orang Indonesia bisa masuk ke Malaysia dengan visa turis gratis selama 30 hari, aku tetap harus mendapatkan SEV sebagai syarat untuk mendaftar EP nantinya. Setelah SEV keluar, aku segera skan dan mengirimkan ke agen untuk kemudian diproses lebih lanjut.

Tahap mendapatkan visa kerja (EP)
Selanjutnya, aku memberikan konfirmasi ke pihak agen kapan akan terbang ke Malaysia dengan mengirimkan tiket pesawat. Aku diminta untuk sudah sampai di Malaysia seminggu sebelum tanggal mulai bekerja yang tertulis di kontrak. Setelah sampai, aku mengantarkan paspor ke kantor agen yang nantinya akan ditempel visa EP setelah proses selesai. Selama proses ini berlangsung, aku harus punya fotokopi atau foto paspor jika sewaktu-waktu diperlukan. Proses ini berlangsung kira-kira 3 hari. Aku mengambil paspor kembali ke kantor agen. Dan selesailah proses yang panjang ini.

Beitulah kurang lebih tahapan untuk memulai karir di Negeri Jiran Malaysia dari masa pencarian, menunggu, proses rekrutmen, persiapan visa sebelum berangkat dan visa EP setelah kedatangan, dan kemudian barulah mulai bekerja. Salam semangat dan sukses untuk kita semua.



Tuesday, September 12, 2017

If I'm a parent, I will.....

Last Sunday I had a session with my two private students, they are a big bother (Grade 5) and a little sister (Grade 2). It was the second session and I found some interesting things here.
  • The girl had Rp 100.000 on her hand (one piece of money) rolled into a small roll. She told me that she got that money from her friend at school. Once I asked her why her friend gave the money to her, she said she didn't know. Her friend just gave it. Quietly she told me that none of her mom, dad or nanny knew about it. Only her big brother knew it. She kept holding the money while sometimes she put it in the pocket of a doll. I asked her "What are you gonna do with it?" "Just to have it" she said.
  • While we were studying, the big brother was standing on his knees while putting his arms on a folding table. Suddenly the table fell down and one of the tables' leg was broken. He looked panicking right after that happened then he said "Okay, let's pretend that there is nothing happens." He tried to fold the table and put that away from us. He was trying to keep it as a secret.
  • It was quite surprising for me when the kids, especially the big brother, talked about sexual stuff. I didn't really pay attention to what both were talking about but I got the part when the brother was telling about "Milk comes out of the body" and the sister tried to explain to me that her big brother was talking about the milk coming out of breast. Shockingly the boy tried making clear about what he had said before that it was not the one coming out of the breast but he referred his hands to his private part. I grab his attention to the lesson as soon as he was saying that.
From what happened above, I started thinking about myself what kind of parent I would be. I'm sure that those kids were behaving that way as how their parents had been educating and building the relationship with them. So, these are what I'm going to do if I'm a parent one day:
  • Asking my kids about how their school life including friends, teachers,  subjects and anything since I am not there and I can't always keep my eyes on them every time. Not just asking then ends, but following with expressive responds and digging more particular things that I might find interesting or important. Well, I am sure there would be many things to be discussed and to let my kids learn from their experience to be a better person. 
  • Not showing anger as the first respond once my kid is making a mistake or doing something not the way it is. Being angry as the first respond would likely cause my kids to be afraid of telling me anytime they are making mistakes. They don't want me to get angry, so better they keep it for themselves. And I don't want that happens. Also, it is possible for my kids to hide anything that they might consider to be something wrong and also they would be reluctant to try something new because they are afraid of failure afterwards.
  • Paying more attention to the use of internet by my kids. While playing with any gadget supported by an internet connection, the kids might access anything inappropriate for their age there with or without intention. Of course it's not going to be easy but I'll try y best to always have a talk with my kids about what to see and not to see and why. Blocking some websites and contents may also be helpful in this case.
Well, being a parent is a long-life learning journey. If I can start by now, why not?

Thursday, August 10, 2017

Gara-gara Guru

Tok tok tok
“Assalamualaikum” Bapak suryo mengucap salam sambai berdiri tepat di sebelah pintu utama yang masih tertutup. Tapi, di depan rumah ada banyak anak anak yang sedang bermain sepeda dan diawasi oleh beberapa ibu-ibu. 

“Waalaikumsalam” Terdengar balasan salam dari dalam rumah. Suara seorang perempuan dibarengi langkah mendekati pintu.

“Oalah, Pak Suryo, mari silahkan masuk Pak, Bu”, Ibu Karni membuka pintu sambil mempersilahkan masuk dengan menggunakan jempol tangan kanannya menunjuk ke tempat duduk plastik sederhana di ruang tamu. Kursi plastik empat buah melingkari meja segiempat berwarna ungu itu biasa menerima tamu-tamu. Meja plastiknya pun diperindah dengan telapak meja berwarna merah muda berihiaskan sebuah bunga besar di bagian tengahnya, hasil sulaman Ibu Karni sendiri di sela-sela waktu luangnya.

Pak Suryo tidak datang sendiri. Dia datang dengan Ibu Ida. Mereka berdua  menuju tempat duduk. Ibu Karni pun kemudian menyusul duduk. Karena terlebih dulu masuk, Pak Suryo duduk di bagian kiri meja dengan mmbelakangi jendela kaca yang tertutup gorden. Karena tidak ingin terkesan menyusahkan, Bu Ida memilih untuk duduk tepat di kursi membelakangi jendela kaca depan, dekat dengan pintu.

"Mungkin Ibu sudah mengetahui maksud kedatangan kami. Kami sangat menyayangkan karena Fandi belum juga kembali ke sekolah. Apakah Ibu sudah berbicara dengan Fandi?"

"Sudah, Pak. Saya sudah ngomong sama fandi buat berangkat sekolah lagi. Saya bilang aja, gak enak sampe guru kelasnya datang kerumah. Dia sih cuma diem aja pak. Kemaren itu si Fandi sempet berangkat. Tapi saya juga gak tau kenapa kok gak mau masuk lagi."

Pak Suryo dan Bu Ida menyimak cerita Bu Katni. Ketiganya pun diam sejenak. Pak Suryo menoleh ke arah Bu Ida dan saling pandang sejenak. Seketika Bu Ida berujar.

"Kalau boleh tahu Ibu, apa Fandi tidak cerita alasan kenapa dia tidak mau kembali lagi ke sekolah? Karena kami sangat berharap Fandi bisa kembali lagi ke sekolah".

"Saya juga pengennya begitu, Bu. Fandi gak cerita apa-apa, Bu. Cuma diem aja. Saya juga bingung."

Pak Suryo menunduk berusaha menguraikan rangkain peristiwa yang terjadi dan informasi yang sudah didapat. Dia bingung bagaimana harus menyelesaikan permasalahan ini. Napas yang dalam pun diambil dan dihembuskan perlahan.

"Baiklah, Bu. Mungkin memang ini sudah menjadi pilihan Fandi. Kami sudah berupaya sesuai kemampuan kami. Tapi bagaimanapun juga, kami masih mengharapkan Fandi kembali ke sekolah. Insya Allah, pintu sekolah selalu terbuka."
Pak Suryo dan Bu Ida mohon undur diri dan meninggalkan rumah yang setengah jadi  itu dengan lantainya yang masih kasar dan bertembokkan batu bata merah.
------------
Waktu sudah menunjukkan jam 10 malamm dan Fandi belum juga pulang. Masih ada beberapa lembar triplek yang perlu di pasang di langit-langit bangunan. Hari ini Fandi akan kerja lembur. Pekerjaanya memang tidak terlalu berat jika dibandingkan pekerja proyek lainnya dengan gaji yang tidak jauh berbeda.

Fandi menghabiskan kurang lebih satu jam mengendari sepeda motor tuanya itu yang sudah dianggap seperti kekasihnya karena selalu menemani kemanapun dia pergi. Sambil beristirahat di atas kasur, Fandi ngobrol dengan seorang wanita yang baru saja dikenalnya lewat aplikasi chatting online. Obrolannya sangatlah ringan seperti tinggal dimana, berkegiatan apa, tinggal dengan siapa. Pertanyaan-pertanyaan umum untuk anak muda yang sedang pdkt (pendekatan) mencari mangsa calon pacar. Meskipun baru saja saling mengenal, mereka berdua asik bercerita, saling tanya dan jawab. Terkadang diam, bercanda, tertawa, meledek. Obrolan berlanjut sampai malam semakin larut dan keduanya pun mulai mengantuk akut. Suara si gadis  sewaktu-waktu hilang  di telepon karena tertidur.
------------
"Nis, nanti aku minta izin buat pulang duluan yah. Soalnya aku gak enak badan nih. Badanku berasa meriang". Fandi melapor ke teman sebangkunya untuk pulang lebih awal. Sayangnya ibu guru tidak mengizinkan.

"Kenapa Fandi? Sakit? Makanya jangan keseringan mancing di empang." HAHAHHAHAHA. Gelagak tawa sontak dating dari semua anak di kelas.

"Noh dengerin. Makanya jangan keseringan main di empang." Celetuk salah satu anak.

"Lagian, sering-sering mancing, pernah dapet aja kagak." Sahut anak lainnya.

HAHAHHAHAHA. Sorak tawa pun berulang lagi.

"Gak papa, Nis. Aku masih kuat kok nahan sampe nanti pulang sekolah". Fandi berbisik ke teman sebangkunya yang dimintai tolong untuk meminta izin ke Ibu Guru.
--------------
Semakin Fandi mengenal si gadis, semakin dia merasa minder karena gadis yang saat ini sedang dekat dengannya itu jauh lebih berpendidikan tinggi dibandingkan dirinya yang bahkan tingkat SMP (Sekolah Menengah Pertama) pun tidak tuntas. Fandi menyesalkan apa yang terjadi padanya. Tetapi apalah daya, manusia terlalu lemah bahkan tak berdaya dengan apa yang sudah  berlalu. Inilah yang Fandi saat ini.
-------------
"Iya. Waktu itu Ibu Retno bikin aku malu udah di kelas. Makanya aku gak mau sekolah". Fandi mengiyakan apa yang Ibu nya katakana dan memberikan jawaban singkat setelah sebelumnya ada seorang tamu datang ke rumah.

Ibu Retno yang tinggal tidak jauh dari rumah Fandi tiba-tiba datang berkunjung. Setelah dipersilahkan masuk dan duduk di salah satu kursi ruang tamu, belum sama sekali ada kata terucap tetapi hanya kepala yang menunduk dan tangan yang beradu saling meremas satu sama lain. Pemandangan ini membuat Ibu Katni tak tahu bagaimana harus memulai pembicaraan karena khawatir tidak sopan mendahului.

Seketika suara tangis pecah dari Ibu Retno sambil berkata "Saya mohon maaf Bu".
"Lha mohon maaf buat apa tho, Bu?"
"Semua ini gara-gara saya."
"Apanya yang gara-gara Ibu?"
"Fandi tidak mau sekolah itu karena saya."
"Duh, saya kok jadi bingung. Saya gak ngerti maksud Bu Retno ini."

Ketika Fandi sakit dan meminta izin untuk pulang, Ibu Retno bukannya memberikan perhatian dan mengizinkan Fandi pulang tetapi malah meledeknya. Ibu Retno meledek hobi memancing di empang jadi penyebab Fandi sakit. Beberapa hari sebelumnya tidak sengaja Ibu Retnoo melewati empang di dekat perumahanya dan melihat Fandi ada disana. Ledekan Ibu Retno pun langsung jadi bahan tertawaan semua anak-anak di kelas.

Fandi merasa malu. Fandi merasa marah. "Kenapa hobiku dibawa-bawa ke sekolah?" Fandi tidak suka dengan sikap Ibu Retno. Sudah lama Fandi menyembunyikan hobinya memancing dari teman-temannya di sekolah kerena tidak mau jadi bahan tertawaan. Fandi membenci Bu Retno, dan tidak ingin melihatnya lagi dengan meninggalkan sekolah. Tetapi, bergulirnya waktu telah menggerus dan meleburkan rasa kesal dan benci kepada Ibu Retno yang hampir setiap hari dia lihat di sekitar rumah.


-----------
Si gadis pun mulai sedikit demi sedikit menjauhi Fandi dengan mengurangi komunikasi lewat pesan ataupun telepon, setelah dia tahu bahwa Fandi memiliki kekurangan perbekalan pendidikan untuk menghadapi masa depan. Inilah pilihan si gadis.

Lalu bagaimana dengan Fandi? Saat ini, Fandi masih harus terus melanjutkan perjalanan kehidupannya dengan pendidikan setinggi tangga bangku SMP. Hidupnya kini adalah hasil keputusannya yang lalu, termasuk menjauhnya si gadis yang didambakan. Semoga Fandi masih menyimpan harapan di masa depan dengan keputusan-keputusannya di kehidupan saat ini.



Monday, July 31, 2017

Universitas Menyediakan, Kita Manfaatkan

Di usiaku saat ini, aku mulai menyadari betapa bedanya ketika menyandang status sebagai mahasiswa dan sebagai seorang karyawan atau pekerja. Aku merasakan sebuah kebanggan tersendiri ketika masih bisa memperkenalkan diri sebagai seorang mahasiswa di sebuah universitas. Di sisi lain, status sebagai mahasiswa juga memberikan sedikit dampak "memudakan" usiaku, hehe. Seringkali, aku menempatkan statusku sebagai pekerja di nomor dua. Padahal kenyataannya, kuliyahku lah yang seringkali ada di nomor dua kan. Tapi bagaimanapun juga, biarlah semua lika-liku perjuangan menjadi mahasiswi sekaligus pekerja ini nantinya akan menjadi sebuah cerita untuk anak cucu ku di masa mendatang sebagai salah satu penyemangat mereka.

Salah satu hal yang bisa aku pelajari selama menjadi adalah bahwa terdapat beberapa fasilitas yang ternyata ada tetapi tidak atau belum tentu diketahui seluruh mahasiswa. Wajar saja, karena sejauh ini aku belum pernah menemukan sosialisasi khusus terkait hal ini. Fasilitas yang aku maksud disini adalah dana dalam jumlah tertentu yang dianggarkan bagi setiap mahasiswa untuk mengembangkan diri. Aku lupa nominalnya yang pasti (waktu itu bagian keuangan pernah menyebutkan), tapi bisa jadi setiap institusi punya kebijakan dengan nominal yang berbeda-beda. Ada banyak sekali cara bagi mahasiswa untuk mengembangkan diri (secara akademik ataupun non-akademik) seperti, mengikuti perlombaan, menghadiri seminar atau konferensi dan lain sebagainya, baik dalam lingkup regional, nasional, maupun internasional. Dan ini adalah tugas dinas.

Ternyata, bukan para dosen saja kan yang berkesempatan menjalankan tugas dinas? para mahasiswa juga punya kesempatan yang sama. Dan, pastinya di sela-sela perjalanan tugas dinas ini bias dimanfaatkan untuk menjelajahi daerah sekitar yang belum pernah dikunjungi.

Alhamdulillah,hingga saat ini aku berkesempatan untuk mengikuti dua kegiatan dengan dukungan yang besar dari pihak kampus. Ini semua juga tidak terlepas dari dukungan Kaprodi (Kepala Program Studi) yang bersedia memmberikan bimbingan dan arahan. Pertama, aku mengikuti konferensi internasional di salah satu universitas negeri di Malang pada tahun lalu. Kedua, segala puji bagi Allah swt., dua bulan lalu aku pun ke Singapur, perjalanan luar negeri pertamaku, untuk mengikuti kegiatan yang kurang lebih sama. Dari kedua pengalaman ini dan beberapa pengalaman yang lain, aku belajar bahwa untuk mempresentasikan paper atau makalah dalam konferensi internasional, aku tidaklah harus sempurna. Yang aku perlukan adalah keberanian untuk tampil di depan orang-orang hebat dengan menyampaikan gagasan-gagasan dan kemudian membuka hati dan pikiran selebar-lebarnya dan selus-luasnya untuk menerima kritik dan saran. Justru inilah pelajaran tersbesar yang perlu diambil dan kemudian dijadikan bekal untuk melakukan kajian, meneliti dan menulis di kemudian hari.

Seperti konferensi pada umumnya, panitia akan mengundang para akademisi, mahasiswa dan praktisi untuk mengirimkan abstrak dari makalah yang telah dibuat, baik dalam bentuk kajian pustaka maupun penelitian lapangan. (Contoh abstrak yang aku kirimkan). Setelah melalui tahap review oleh panitia, panitia akan mengirimkan email apakah makalah tersebut diterima dan dapat dipresentasikan dalam konferensi tersebut. (Contoh LoA - Letter of Acceptance). Nah, dengan berbekal makalah dan surat undangan ini lah, pengajuan dana bisa dilakukan. Beberapa dokumen yang perlu dilampirkan adalah sebagai berikut:
  1. Surat permohonan dana (ditandatangani oleh Kaprodi - Kepala Program Studi) ditujukan ke Wadek (Wakil Dekan) Bagian Akademik
  2. Rincian dana sederhana (hal yang diperlukan beserta nominal dana)
  3. Undangan (LoA)
  4. Salinan makalah
  5. Salinan rangkaian kegiatan
Semua dokumen diatas aku serahkan ke bagian umum administrasi dan nantinya akan diproses. Setelah semua upaya ini dilakukan, tugasku selanjutnya adalah banyak-banyak berdo'a semoga Allah meridhoi dan melancarkan segala hajat. Aku kembali lagi ke kanto bagian umum ini setiap hari untuk mengupdate informasi proses pengajuan dana ini. Ketika surat sudah sampai ke Wadek yang dituju, semua dokumen akan sampai di bagian keuangan dan tibalah saatnya untuk membicarakan jumlah biaya yang akan ditanggung seperti biaya transportasi, registrasi, maupun akomodasi. Dalam sebuah kegiatan, tidak semua biaya akan ditanggung, tergantung kebijakan bagian keuangan. Tapi, ini sudah lebih dari cukup untukku, alhamdulillah. Pada saat yang sama, departemen lain pun akan mulai mempersiapkan SPPD (Surat Perintah Perjalanan Dinas) yang perlu di bawa dalam kegiatan dan ditandatangani oleh panitia pelaksana kegiatan.

Sekembalinya dari kegiatan, aku diminta untuk mengumpulkan beberapa dokumen berikut:
  1. SPPD bertandatangan panitia pelaksana kegiatan
  2. Boarding pass asli keberangkatan dan kepulangan
  3. Foto kegiatan
Ketika semua dokumen itu sudah diserahkan, maka selesai lah tugas dinas yang diemban. Selesainya tugas ini bukanlah berarti akhir dari segalanya. pengalaman dan pengetahuan selama mengikuti kegiatan akan terus dibawa seumur hidup untuk terus dikaji dan disebarluaskan. Untuk itu, adik-adik dan teman-temanku, para mahasiswa, yuk kita manfaatkan kesempatan bagus ini untuk mengembangkan diri. Sekian dan semoga bermanfaat. Salam senyum dan semangat.


Monday, May 8, 2017

Catatan 01/01/2015

Ya Allah ya Tuhanku...

Sedungguhnya tak ada sesuatu apapun yang terjadi tanpa seizing-Mu. Aku berusaha menghindarinya, tapi dengan mudahnya Kau pertemukan kami. Apakah maksud-Mu dengan semua ini ya Allah...?

Ini adalah pertama kalinya Kau menempatkan aku pada keadaan yang istimewa sebagai seorang wanita. Segala puji bagi-Mu ya Allah yang telah memberiku kesempatan untuk menikmati perasaan yang campur aduk waktu itu.

Ya Allah...
Mungkin memang aku merasakan hal ini berharga, tapi mungkin juga bagi dia hal ini adalah hal yang biasa. Aku tidak boleh berbunga-bunga karena peristiwa ini.
Sesungguhnya aku takut jatuh cinta padanya.
Kenapa aku takut?
Engkau pasti lebih mengetahui dan memahamiku.

Hmmm..
Ketika aku jatuh cinta, maka aku akan mengharapkannya.
Ketika aku mengharapkannya, maka aku akan tersakiti jika tidak bersamanya.
Padahal, apapun yang terjadi hanyalah atas izin-Mu.

Untuk itu ya Allah Sang Penggenggam seluruh jiwa, aku mohon bantuan-Mu untuk senantiasa menyerahkan segalanya pada-Mu, sehingga jadilah aku penikmat seluruh ketentuan-Mu.
Apakah aku ragu dan takut kalau-kalau apa yang Kau berikan akan menyusahkanku?
Sama sekali tidak ya Allah.
Bukankah Kau sendiri yang berjanji akan memberikan yang terbaik bagi semua hamba-Mu, apalagi bagi mereka yang senantiasa terus berusaha melakukan ketaatan pada-Mu?
Dan bukankah Kau tak pernah ingkar janji ya Allah?

Oleh karena itu, aku mohon tuntunlah aku dan berikanlah aku petunjuk ya Tuhanku. Aammiin.

*Catatan ini dibuat beberapa waktu setelah melakukan perjalanan ke Kota Cirebon. Semua rangkaian latar belakang peristiwa yang tersirat pun terjadi di Cirebon. Biarlah Kota Cirebon jadi saksi.

Monday, December 1, 2014

Catatan untuk Dia

Sayang...
Sedang apa kamu disana? Aku kangen.
Gimana perjalanan kehidupanmu selama ini?
Semua baik-baik saja kan?

Sayang...
Do'akan aku supaya aku kuat untuk menjaga diriku sampai kita dipertemukan. Dan sampai pada waktunya nanti kamu baca semua coretanku.

Aku yakin Allah sayang pada kita.

It's written on Nov 19th, 2014

Surat Cinta untuk Suamiku di Masa Depan

Suamiku sayang...
Semoga kamu selalu dalam lindungan Allah. Kita harus berusaha untuk sabar sayang, sampai kita dipertemukan pada waktu yang tepat. Semoga disana, selalu terselip do'a untukku sayang. Dan aku pun selalu memohon pertolongan Allah untuk mengingatkanku bahwa ada dirimu disana. Dan aku do'akan dirimu disana dan ku do'akan kamu selalu sayang.

Sayangku...
Pasti kerinduanmu akan hadirku sudah sangatlah kuat, begitu juga aku juga disini sayang.

It was written down on phone on Oct 18th, 2014

Training seharian (Thu, Day 254)

Aku semalem tidur agak awal kayanya. Sebelum jam 12. Udah ngantuk banget. Bangunnya pun sebelum jam 8 udah kebangun. Terus sholat dan mandi....