Showing posts with label An Explorer. Show all posts
Showing posts with label An Explorer. Show all posts

Friday, February 4, 2022

Tantangan menjadi interpreter pemula

Hingga saat ini, aku sudah mengajar Bahasa Inggris lebih dari 10 tahun. Aku sudah mulai mengajar les privat Bahasa Inggris sejak aku masih kuliyah S1 jurusan Pendidikan Bahasa Inggris di tahun 2010. Waktu itu, aku memutuskan untuk mencoba mengajar karena selain untuk tambahan uang jajan, aku bisa mulai melatih kemampuan mengajarku. Aku masih ingat beberapa murid les privat yang aku ajar pertama kali di Jakarta. Meskipun waktu itu bayaran les nya tidak besar, tapi pengalamannya sangatlah berharga. Dari Bahasa Inggrisku yang masih belepotan, sedikit demi sedikit aku pun belajar sambil mengajar. Satu hal yang terus aku upayakan adalah untuk mengajar dengan menggunakan Bahasa Inggris sebagai alat untuk berkomunikasinya. 

Setelah berulang kali mengajar Bahasa Inggris menggunakan Bahasa Inggris juga, suatu hari aku diminta salah satu murid di Jakarta untuk mengajar Bahasa Indonesia. Dia berasal dari Jepang. Dan, ternyata tidak berhenti di situ saja, aku beberapa kali mengajarkan Bahasa Indonesia dengan menggunakan Bahasa Inggris ke beberapa ekspatriat yang tinggal di Malaysia untuk keperluan bisnis mereka. Pastinya hal ini jadi pengalaman lain yang sangat menarik karena tidak pernah terpikirkan sebelumnya untuk bisa mengajarkan bahasaku sendiri ke orang lain dengan menggunakan Bahasa Inggris. Beberapa murid berasal dari Italia, Inggris, Jerman, dan bahkan Malaysia. 

Nah, selain beragam pengalaman mengajar ini, akupun terlibat di beberapa proyek terjemahan. Aku masih ingat sekali dulu semasa aku kuliyah, aku sempat diminta seorang kawan untuk membantu dia menerjemahkan sebuah buku yang kemudian aku minta bantuan ke beberapa teman untuk membantu. Jadi, kami bagi-bagi. Itu adalah kali pertama aku melakukan terjemahan. Selain itu, beberapa terjemahan pun mulai muncul ketika aku belajar S2 karena ada beberapa dosen di bidang non-Bahasa Inggris yang ingin mempublikasikan artikel penelitian mereka ke penerbit internasional yang pastinya harus dalam Bahasa Inggris. Selain proyek terjemahan, akupun sering dimintai pendapat oleh beberapa teman untuk proofread atau memerisa kembali tulisan mereka dalam Bahsa Inggris. 

Meskipun aku sudah punya banyak sekali pengalaman berkecimpung dalam mengajar dan menerjemahkan Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia, bukan berarti tidak ada tantangan atau kesulitan ketika aku mulai menekuni bidang interpreter. Aku pun baru menyadarinya ketika aku diminta bantuan jadi interpreter untuk pertama kalinya di salah satu acara melalui Zoom. Untungnya, waktu itu ada satu interpreter lainnya dan kami berdua bertugas menerjemahkan Bahasa Inggris dari dan ke Bahasa Indonesia selama acara. Dan, untungnya lagi, porsiku tidak terlalu banyak waktu itu, jadi aku tidak terlalu kaget. Seiring berjalannya waktu, ternyata itu bukanlah yang pertama dan yang terakhir. Aku diminta lagi untuk membantu acara-acara online dan offline berikutnya, dan bahkan aku disambungkan ke beberapa organisasi internasional lain untuk jadi interpreter juga. Dari sinilah aku bertekad untuk terus melatih kemampuanku. 

Dari beberapa pengalamanku sebagai interpreter pemula, berikut ini adalah beberapa tantangan yang perlu kalian waspadai jika ingin mulai mencoba.

Tidak atau belum terbiasa dengan topik pembahasan 

Sebagai manusia biasa, tidak dipungkiri bahwa setiap orang mempunyai keterbatasan dalam banyak hal, terutama dalam pengetahuan dan informasi. Mungkin kamu punya pengetahuan dan pemahanan yang sangat dalam dan luas di satu ranah, tapi belum tentu di semua ranah. Hal ini bisa saja terjadi pada kamu ketika menjadi seorang interpreter. Kamu mungkin akan diminta untuk memberikan penerjemahan dalam topik pembahasan yang kamu tidak terlalu tahu atau bahkan mungkin tidak tahu sama sekali. Meskipun idealnya seorang interpreter itu menguasai bidang yang diterjemahkan, bukan berarti kamu tidak boleh melakukannya.

Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia jauh lebih sulit dibandingkan sebaliknya

Kita sudah pakai Bahasa Indonesia sejak kecil, bahkan mungkin sejak bayi. Dan, pastinya kita sudah berjumpa dengan banyak orang yang berbicara dalam Bahasa Indonesia dengan berbagai macam accent atau gaya bicara. Ada yang cepat ada yang lambat. Ada yang jelas dan ada yang bergumam. Jadi, telinga kita sudah terbiasa menerima keragaman itu dengan mudah untuk kemudian diterjemahkan ke Bahasa Inggris. Sayangnya, hal ini tidak berlaku sebaliknya. Menyimak pembicara berbahasa Inggris ternyata lebih sulit. Pertama, kamu harus mendengarkan dengan baik-baik apa yang diucapkan dari segi kosa kata dan susunan bahasanya karena akan mempengaruhi makna. Hal ini menjadi semakin lebih menantang ketika si pembicara mempunyai accent yang sangat kuat dan berbicara sangat cepat.

Pembicara berbicara cepat

Setiap orang mempunyai kecenderungan yang berbeda-beda dalam kecepatan berbicara. Ada yang berbicara dengan santai dengan pengucapan yang jelas. Ada juga yang terkesan terburu-buru sampai-sampai sulit untuk menangkap dan mencerna sejenak apa yang sedang diucapkan. Terlepas dari bagaimanapun situasinya, seorang interpreter, kamu harus terus menyampaikan sebaik mungkin dari apa yang sedang dibicarakan. Kalaupun tidak semua kata atau semua kalimat satu persatu, perlu disampaikan gagasan secara garis besarnya.  Salah satu faktor berbicara cepat dikarenakan keterbatasan waktu yang diberikan. 

Terlupa kata-kata tertentu secara tiba-tiba

Sebagai manusia biasa, kita tidak terlepas dari salah dan lupa. Ada kalany kamu akan terlupa satu atau dua kata, satu atau dua ungkapan dari satu bahasa ke bahasa lain yang terselip dari ingatan. Mau tidak mau, di situasi ini kamu perlu terus melanjutkan penerjemahan dan mengabaikan sejenak kelupaan itu dengan coba untuk menggantinya dengan kata atau ungkapan lain yang setidaknya mirip atau berdekatan maknanya. Biasanya, nanti kamu baru akan ingat ketika acara sudah selesai. Lucu sekali, ya. Dan, pastinya menyebalkan juga. 

Sulit untuk berkonsentrasi

Selama melakukan penerjemahan, konsentrasi tinggi dan sepenuhnya sangatlah diperlukan. Konsentrasi bisa terganggu ketika tempat atau ruangan berisik dan ada suara-suara tak terduga yang muncul. Ketika hal ini terjadi, proses untuk menerjemahkan pun bisa tersendat dan akan terus menerus sambung menyambung selama acara. Selain itu, posisi duduk dan suhu ruangan, terlalu dingin atau terlalu panas, yang tidak nyaman pun bisa mengganggu tingkat konsentrasi. 

Durasi yang cukup lama

Dalam melakukan interpretasi secara terus menerus, sebenarnya durasi maksimal adalah 1 jam. Oleh sebab itu, seringkali di beberapa acara, panitia pengelenggara mempunyai beberapa interpreter supaya mereka  tidak terlalu lelah dan bisa bergantian. Ketika sebagai interpreter, kamu sudah mulai merasa lelah, maka daya konsentrasimu akan menurun dan kualitas interpretasi pun pastinya akan ikut menurun. Mungkin 1,5 jam  masih bisa, tetapi untuk 2-3 jam tanpa jeda, kamu akan sangat kelelahan. 

Terlepas dari beberapa tantangan di atas, semua hal pasti ada permulaan dan tahap belajarnya, begitu juga bagi kita para interperter pemula. Untuk mengatasi tantangan-tantangan ini, aku akan tuliskan beberapa tips untuk kalian di tulisan berikutnya, ya. 

Di bawah ini beberapa foto kegiatan ketika aku menjadi interpreter dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia dan sebaliknya. 








Tuesday, March 16, 2021

Melihat yang kecil dan juga yang besar #Day15

Beberapa minggu yang lalu aku sempat membuat satu postingan di IG. Aku lupa isinya secara detail, tapi itu tentang bagaimana aku melihat atau memandang sesuatu. Aku masih ingat tahun lalu aku sempat tinggal di gedung apartemen lantai 1. Setiap hari aku selalu menghabiskan beberapa saat untuk duduk di balkoni dan melihat pemandangan luas. Dari sana aku bisa melihat dunia yang sangat luas ini dengan berbagai macam isi di dalamnya seperti langit yang luas, deretan gunung, berbagai macam bentuk dan desain gedung tinggi, perumahan kecil-kecil, dan juga kendaraan yang mungil-mungil. Aku masih saja selalu takjub dengan kenyataan bahwa aku tidak lebih dari secuil bagian dunia ini. Apalah artinya aku yang sekecil ini di antara ciptaan-ciptaan Tuhan lainnya. Dan, di lain kesempatan beberapa waktu yang lalu aku duduk di sekitar kolam renang apartemen tempat tinggalku saat ini. Kalau di atas, aku bisa melihat luas ke depan dan ke bawah. Saat itu, karena aku ada di bawah, maksudnya di daratan, aku hanya bisa melihat sekitarku dan memandang langit yang ada di atas. Saat itu mengingatkanku dengan pemandangan jika aku ada di lantai atas dan membandingkannya. Di saat itu juga aku mulai membandingkan apa yang bisa aku lihat ketika aku melihat dari gedung tinggi dan dari daratan. Di daratan aku bisa melihat semuanya dengan jelas seperti bermacam-macam keindahan bunga, berbagai bentuk pepohonan, desain-desain unik dedaunan dan juga rerumputan. Di sana, hal terbesar yang bisa aku lihat adalah langit yang memayungiku.

Dari kedua sudut pandang ini, aku seringkali merenungkan pelajaran yang bisa aku ambil. Dalam menghadapi sesuatu, terutama sebuah masalah, ada kalanya aku melihatnya sebagai masalah yang sangatlah besar sekali. Padahal kalau aku coba ambil jarak dan memandangnya dari sedikit kejauhan, aku akan bisa melihatnya dengan pikiran yang lebih terbuka sehingga aku merasa lebih ringan dan ternyata masalah itu tidak seserius apa yang aku pikirkan. Di sisi lain, ada kalanya juga aku dihadapkan dengan sebuah masalah yang perlu aku amati dan selidiki sampai ke bagian-bagian kecilnya supaya aku bisa menemukan celah yang menyebabkan masalah itu terjadi.

Serpertinya dari sini aku bisa melihat bahwa dalam proses belajarku sejauh ini, aku selalu berusaha melihat segala sesuatu dari gambaran secara umum atau secara luas untuk mendapatkan pemahaman secara garis besar. Tetapi, tidak dipungkiri bahwa memiliki pemahaman dengan hal-hal detail memungkinkan aku untuk mengerti koneksi antara yang satu dengan yang lain yang mungkin berupa perbedaan atau persmaan atau sebab akibat. Selain untuk diriku sebagai pembelajar, menurutku kemampuan untuk melihat dengan kedua sudut pandang ini juga membantuku dalam mengajar di kelas untuk memberikan dan membangun pemahaman murid-muridku dalam mengikuti pelajaran. 

Kalau kamu bagaimana? Apakah kamu lebih sering melihat segala hal secara garis besar? Atau secara detail?

Sunday, March 14, 2021

Beasiswa atau biaya sendiri? #Day14

Beberapa waktu yang lalu aku sempat terpikir untuk lanjut kuliah S3 di Malaysia sambil bekerja. Aku berusaha untuk mencari beberapa kesempatan beasiswa yang ada di sini. Tapi, setelah aku pikir-pikir, kalau aku ambil program beasiswa, aku tidak bisa sambil bekerja di perusahaanku saat ini. Aku sudah terlanjur jatuh cinta dengan perusahaanku. Akhirnya, alternatif lainnya adalah untuk kuliah part-time. Aku mencari dan mengumpulkan informasi dari beberapa universitas di sini yang menawarkan program S3 part-time di bidang pendidikan atau bahasa. Sayangnya, mereka tidak membuka program S3 part-time untuk mahasiswa internasional, hanya untuk lokal. 

Momen ini mengingatkan aku dengan beberapa tahun yang lalu ketika aku ingin sekali bisa mendapatkan beasiswa untuk kuliah ke luar negeri seperti LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan), Chevening, Fullbright, Australia Awards dana beberapa lainnya yang aku sudah lupa. Sayangnya tidak ada yang lolos. Setelah satu tahun bekerja dan sambil berjuang mendaftarkan diri ke program beasiswa di beberapa universitas dan tidak lolos, aku memutuskan untuk lanjut kuliah S2 dengan biaya sendiri di UIN Jakarta. Waktu itu aku sambil mengajar part-time di English First (EF) Pondok Indah dan di Sampoerna Academy dengan penghasilan yang lebih dari cukup untuk membayar biaya kuliahku dan sebagian aku sisihkan untuk tabungan. Akhirnya, aku berhasil lulus di tahun ketiga. Not bad!

Hal ini juga mengingatkan aku di detik-detik setelah aku lulus SMA. Beberapa guruku mengkhawatirkanku dan beberapa kali menanyakan kemana aku akan melanjutkan kuliah. Mereka sangat berharap aku bisa melanjutkan ke jenjang perguruan tinggiiversitas karena mereka sangat tahu kemampuanku dari beberapa prestasi yang aku capai di dalam dan di luar kelas selama di sekolah. Aku ingat saat itu aku coba mendaftarkan diri ke program beasiswa Universitas Bakrie dan mengikuti tesnya. Aku diterima dengan sejumlah potongan biaya pendidikan, tidak sepenuhnya dibebaskan. Saat itu juga aku merasa bahwa aku tidak akan mampu. Selain Universitas Bakrie, aku hanya mencoba ke Sampoerna School Education (SSE) yang sekarang jadi universitas almamaterku yang selalu aku banggakan. Saat itu juga ada salah seorang guru yang menawarkanku untuk ikut beasiswa Bidik Misi ke IAIN Raden Intan Lampung, tetapi aku tidak menanggapinya karena aku hanya ingin kuliah ke Jakarta. Aku tidak ingin di Lampung lagi. Oya, waktu itu aku sempat mempersiapkan pendaftaran untuk beasiswa ke Universitas Al-Azhar juga tetapi tidak aku selesaikan karena aku merasa tidak mantap sepenuhnya dengan beberapa program yang ditawarkan seperti Bahasa Arab, Tafsir dan beberapa ilmu Islam lainnya. 

Seperti itulah perjuangan untuk terus melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dengan keterbatasan biaya. Terkadang aku menjadi salah satu orang yang beruntung dan mendapatkan pengurangan ataupun pembebasan biaya pendidikan di sekolah, dan ada kalanya aku kurang beruntung dan tidak mendapatkannya di tingkat universitas. Tapi, caraku sekarang dalam melihat situasi saat ini sudah berbeda, menunda-nunda waktu untuk melanjutkan pendidikan karena terus mengejar beasiswa bukanlah satu-satunya pilihan. Pertanyaannya adalah, bukankah kita bisa kuliah dengan biaya sendiri?

Kuliah dengan biaya sendiri mendorong kita untuk semakin bekerja keras untuk bisa membayar biaya pendidikan dan pada saat yang sama belajar dengan sungguh-sungguh agar tidak menyia-nyiakan uang yang sudah dibayarkan dengan memaksimalkan kesempatan dan fasilitas di tempat perkuliahan sebaik-baiknya dan sebanyak-banyaknya. Intinya dengan kata lain tidak mau rugi. 

Kuliah dengan biaya sendiri bukan berarti kita lebih rendah atau tidak sebagus mereka yang mendapatkan beasiswa. Mereka yang berhasil mendapatkan beasiswa merupakan beberapa orang cerdas dan pintar yang beruntung diantara banyak orang cerdas dan pintar lainnya di luar sana. Bagus atau tidaknya seseorang itu bukan tergantung pada siapa atau bagaimana biaya kuliah dibayar, tapi tergantung pada keingingan dalam diri yang kuat untuk menjadi pribadi pembelajar menjadi lebih baik dari waktu ke waktu.

Kuliah dengan biaya sendiri bisa sesuka hati melakukan apapun yang diinginkan setelah lulus. Aku terpikir hal ini ketika tahu ada beberapa teman yang kuliah dengan beasiswa yang di berikan pemerintah, tetapi akhirnya memilih untuk melanjutkan karir di bidang atau di tempat yang bisa memberikan banyak keuntungan untuk dirinya sendiri. Meski demikian, pastinya ada banyak juga yang mengabdikan diri ke masyarakat dengan segala keterbatasannya. Anyway, intinya adalah dengan kuliah berbiaya sendiri kita bisa dengan leluasa mengepakkan sayap sesuai keinginan di manapun dan di bidang apapun. 

Tidak lucu kan kalau kita menunda-nunda atau bahkan sampai tidak melanjutkan pendidikan hanya karena tidak juga mendapatkan beasiswa.  Jadi, untuk kalian para pejuang beasiswa, kuliah dengan biaya sendiri masih selalu bisa menjadi alternatif pilihan. Kalau menurut kalian bagaimana?


Saturday, March 13, 2021

Menembus ruang dan waktu, siapkah kamu? #Day13

Aku masih teringat suatu hari ketika aku berkunjung ke Pesantren Ekologi At-Thariq di Garut yang dipimpin oleh Ibu Nisa dan Abah, suaminya. Suatu hari Abah mengatakan bahwa kita, manusia, itu terbatas oleh ruang dan waktu. Kita mempunya versi kenyataan masing-masing yang mencakup satu waktu saja dimana kita ada didalamnya. Dan, apa yang kita lihat hanyalah sekedar apa yang bisa kita jangkau oleh lima panca indera kita, dan yang paling jauh bisa dijangkau oleh pandangan mata kita. 

Akan tetapi sepertinya sekarang tidaklah seperti itu lagi. Teknologi sudah memungkinkan kita semua untuk menembus ruang dan waktu. Contoh, aku yang ada di Malaysia saat ini bisa berkomunikasi melalui video call dengan Mamak dan Adikku yang ada di Indonesia pada saat ini juga. Ruang dan waktuku bisa ditembus dengan begitu mudahnya. Suatu saat hal ini mulai membuatku heran. 

Aku beberapa kali mengamati media sosial, terutama Instagram dengan fitur live video yang ada di sana. Ketika aku perhatikan, kebanyakan apa yang mereka tunjukkan atau lakukan adalah kegiatan sehari-hari saja, seperti memotong sayuran untuk di masak, membajak sawah, karaokean, menyetrika, atau sekedar bercakap-cakap dengan kawan-kawan saja entah melalui telepon atau sekedar berkumpul bersama. Pertanyaannya adalah, untuk apa? Dan, kenapa? Selain itu, hal lain yang aku perhatikan adalah, adakalanya live video yang disiarkan itu hanya ditonton oleh satu atau dua orang saja, atau malah tidak ada yang menonton sama sekali. Dari mana aku tahu? Pastinya dari angka viewers di samping simbol mata yang ada di layar live video, coba deh perhatikan. Lagi-lagi aku bertanya, kenapa orang harus menyiarkannya melalui? Pertanyaan ini selalu muncul dan aku masih belum juga menemukan jawabannya. Tapi, yang jelas adalah hal ini mengingatkan ku dengan apa yang Abah katakan di atas dan sekarang tidak sama lagi. 

Baru saja aku bertanya dengan salah satu teman di rumah tentang pertanyaan ini. Mengapa? Menurut dia, ini bisa jadi karena adanya kebutuhan, yang pertama untuk berkomunikasi dengan keluarga atau teman yang ada di sosial media, atau yang kedua sebagai media untuk show off. Iya, bisa jadi hanya ingin berbagi informasi dengan teman-teman yang ada di sosial medianya saja. Tapi menurutku, kalau memang begitu, kenapa tidak menelepon atau video call pribadi saja, jadi bisa berkualitas komunikasinya karena kalau di live video akan disaksikan banyak orang dan mungkin akan tidak nyaman jika ingin membahas hal-hal tertentu. Kemungkinan yang kedua adalah untuk show off atau menunjukkan jati diri ke publik. Menurutku, secara langung atau dengan kata lain hal ini seperti upaya untuk pencarian validasi dari orang lain. Misalkan, seperti yang temanku katakan, ada seseorang yang memang bagus dalam mengambil foto. Dia akan memposting hasil foto-fotonya di sosial media dan bisa jadi salah satu tujuannya adalah untuk mendapatkan validasi atau pengakuan dari para penonton bahwa hasil karyanya memang bagus. Meskipun tidak dipungkiri juga ada beberapa orang yang menggunakannya untuk peluang bisnis oya mencari pelanggan yang akan  menggunakan jasanya. 

Kembali lagi soal siaran langsung tidak penting yang ada di sosial media, suatu hari aku juga pernah bertanya ke dua teman di kantor. Sangat sederhana, mereka mengatakan bahwa orang yang melakukan hal yang serupa mungkin merasa kesepian, makanya mereka mencari perhatian di sosial media untuk di perhatikan. Well, it does make sense. Hal ini mengingatkanku dengan apa yang Deddy pernah katakan di siaran podcastnya di Youtube kalau zaman sekarang orang-orang itu butuh ditemani, makanya ada banyak siaran langsung mabar (main bareng) game yang ditonton banyak orang di sosial media. Tapi, kalaupun toh memang iya ini adalah penyebabnya, kesepian, aku jadi semakin penasaran lagi apa yang nantinya mungkin terjadi kalau keinginan atau kebutuhan seseorang untuk mendapatkan perhatiannya itu tidak terpenuhi. Bisa jadi orang tersebut merasa sedih, kecewa dan bahkan depresi. Yang paling menyeramkan adalah sampai ada beberapa orang yang melukai diri sendiri dan bahkan bunuh diri di siaran online. Menyeramkan. Sebegitu kesepiannya kah?

Tiba-tiba, aku jadi teringat dengan Bapakku. Di rumah hampir setiap hari pasti ada teman-teman Bapak yang bertamu ke rumah dan mengobrol sampai tengah malam. Seringkali aku sudah tidur sebelum para tamu pulang. Atau, ada kalanya juga Bapak berkunjung ke rumah temannya dan pulang di malam hari. Sepertinya mereka menikmati obrolan-obrolan ringannya saat berkumpul. Terkadang juga Bapak mengikuti perkumpulan Yasinan rutin dari satu rumah ke rumah lain di desaku. Selain itu, aku pun jadi ingat ketika aku di masa-masa sekolah. Aku bermain dengan teman-temanku ke sawah mencari keong dan ikan-ikan kecil, kemudian mandi di kali. Inilah caranya saat itu mengisi rasa kesepian dalam keterbatasan ruang dan waktu. Kami menikmati waktu kebersamaan yang nyata dengan penuh nikmat. Beda dengan sekarang ini. 

Sekarang, canggihnya teknologi memungkinkan kita semua untuk menjangkau dunia di luar batas ruang dan waktu kita secara fisik yang membuat pikiran dalam otak dan perasaan dalam hati kewalahan sehingga mengabaikan apa yang bisa dijangkau dan berusaha meraih apa yang sesungguhnya sangatlah jauh dari jangkauan. Tapi, terkadang aku pun berpikir, bukankah canggihnya teknologi itu bagus? Lagi-lagi, ini bukan persoalan kecanggihan teknologi itu sendiri tapi bagaimana kita bisa mengontol diri kita dalam penggunaanya. Itu menurutku. Oleh karena itu, aku memilih untuk mengambil satu langkah ke belakang dalam menggunakan sosial media, terutama Instagram dan Facebook karena setelah aku renungkan, dengan waktuku yang hanya 24 jam dalam sehari ini, aku tidak ingin energiku habis dengan melihat atau bahkan memikirkan hal-hal di luar sana. Aku memilih untuk hidup di sini saja dan saat ini saja dan menjangkau apa yang bisa aku jangkau saja. 


Kesedihan berbuah senyuman #Day12

Aku menyimpan foto ini sudah lama, kira-kira dua tahun yang lalu ketika beberapa bulan awal aku pindah ke Kuala Lumpur, Malaysia. Aku masih ingat waktu itu aku membaca e-booknya ketika aku ada di kereta, tapi entah sewaktu berangkat atau pulang kerja.  Bukunya berjudul Belajar Hidup dari Rumi: Serpihan-serpihan puisi penerang jiwa oleh Haidar Bagir. Kalian bisa coba cari di Google Play Books di Android kalian dan kalian bisa unduh gratis untuk dibaca.

Sambil membaca, aku menyimpan beberapa halaman yang mengesankan buatku. Tapi, sepertinya aku sudah menghapus beberapa lainnya dengan alasan yang bahkan aku sendiri sekarang sudah lupa. Jadi, sekarang tinggal ada satu bagian yang tersimpan. Biaasanya ketika aku menyimpan suatu hal di handphone atau di buku catatanku, itu berarti ada hal-hal tertentu yang membuatku tertarik dan merasa ada koneksi dari apa yang aku temukan dan apa yang aku alami pada saat itu. Dan, biasanya di saat itu juga aku berencana untuk menuangakannya ke dalam tulisan. Sayangnya kenyataan tidak selalu sesuai dengan keinginan. Hehe. Maksudku, aku punya keinginan untuk menulis tetapi kenyataannya jari-jariku tidak tergerak sama sekali untuk menulis. Ya, alhasil tidak ada tulisannya hingga saat ini, setelah dua tahun. Oleh karena itu, saat ini adalah waktunya aku menunaikan keinginanku itu supaya hal ini tidak mengganjal di perasaan dan pikiranku. 

Aku coba membaca lagi teks yang tertulis disini. Saat aku membacanya, aku langsung memaknai bahwa ada kalanya aku harus kehilangan sesuatu atau seseorang sehingga nantinya aku akan dipertemukan dengan sesuatu atau seseorang yang baru lainnya. Kehilangan pastilah menyedihkan, tetapi disitulah ada pintu yang terbuka untuk yang lain dan baru tumbuh atau datang mengisi kekosongan itu. Ketika hal ini terjadi, tidak ada lagi yang bisa aku lakukan selain menerima dan melepaskan sesuatu atau seseorang yang hilang itu dengan harapan bahwa ini akan membukakan pintu untuk kebaikan dan kebahagianku yang lebih di kemudian hari. Lalu, bagaimana kalau akhirnya yang lain dan baru tidak datang atau tidak tumbuh? Itu berarti aku sudah rugi serugi-ruginya? Menurutku tidak, apalah arti mempunyai harapan yang besar di masa datang kalau kita tidak bisa menikmati dan memaksimalkan kesempatan hidup kita hari ini, jam ini, menit ini, dan detik ini. Hehe, sepertinya aku sudah mulai bicara melantur. 

Hal ini mengingatkan aku dengan peristiwa waktu itu ketika seorang laki-laki yang aku kagumi, hormati, dan hargai dan aku harapkan bisa menjadi pasangan hidupku ternyata pergi begitu saja meninggalkan aku dan menikah dengan perempuan lain. Aku sangatlah sedih waktu itu. Tetapi apa dayaku? Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Peristiwa ini jadi salah satu pelajaran buatku bahwa ada hal-hal yang bisa aku kendalikan atau aku kontrol dan ada hal-hal lain dan bahkan lebih banyak lagi yang ada diluar kendali atau kontrolku. Mau tidak mau aku harus menerima dan melepaskan. Saat itu, apakah aku mengharapakan akan datangnya orang yang lebih baik nantinya? Terpikir pun tidak. Cukup berusaha untuk menerima, itu saja. Selain itu, catatan ini juga ini mengingatkan aku tentang hari meninggalnya Bapak. Aku membutuhkan waktu yang jauh lebih lama untuk menghadapi kesedihanku karena kehilangan Bapak. Seperti yang kita semua tahu, Bapak tidak akan pernah terganti. 

Sekarang, setelah beberapa tahun berlalu sejak meninggalnya Bapak dan kepergian laki-laki itu, ada banyak sekali hal yang sudah aku lalui dan aku pelajari. Banyak sekali pengalaman dan pengetahuan sampai sejauh ini yang sudah menjadikan aku sosok yang sekuat dan setegar ini dengan berbagai kemampuan diriku yang terus aku asah dan tingkatkan. Sedikit demi sedikit kesedihanku yang mendalam waktu itu tidak lagi membuatku menangis, tapi tersenyum. Mau bagaimana lagi, hidup akan terus berjalan dan bagian-bagian cerita kehidupan akan terus berlanjut dan sambung-menyambung dari yang satu ke yang lainnya. Akan sangat disayangkan sekali kalau aku menghabiskan waktuku untuk kesedihan. Aku memilih untuk tersenyum dan sesekali tertawa menjalani kehidupan ini. 

Thursday, March 11, 2021

Apa ada cita-cita terlambat? #Day11

Di sekolah sering sekali ada pertanyaan "Apa cita-citamu?" sejak Taman Kanak-kanak (TK), sampai Sekolah Dasar (SD), sampai Sekolah Menengah Pertama (SMP), sampai Sekolah Menengah Atas (SMA), dan bahkan sampai di tingkat universitas. Jujur, dari sejak kecil aku tidak pernah tahu aku ingin jadi apa. Aku selalu merasa bingung untuk menjawab pertanyaan ini. Ujung-ujungnya aku hanya meng-copy apa yang teman-temanku sebutkan di kelas. Ada yang ingin jadi dokter, pilot, guru. Alhasil, cita-citaku berubah-ubah terus. Ya, sederhana saja, karena memang aku tidak tahu ingin jadi apa nantinya. Sempat aku berpikir kenapa aku tidak punya cita-cita, mungkin karena Bapak dan Mamak memang tidak pernah menyebutkan atau mengarahkan profesi-profesi tertentu untuk jadi cita-citaku.

Sampai suatu ketika aku sempat ingin jadi motivator seperti Mario Teguh dan beberpa motivator lainnya yang bisa berbagi pelajaran-pelajaran hidup dan membangkitkan semangat para pendengar untuk menjadi pribadi lebih baik dan terus punya keinginan untuk belajar. Tapi, keinginan itu terhenti ketika ada salah satu teman, aku lupa siapa tepatnya, dia bilang kalau aku perlu punya sederetan prestasi atau kesuksesan terlebih dahulu sebelum menjadi seorang motivator untuk didengar. Kalau aku nya saja tidak berprestasi atau tidak sukses, kenapa orang lain harus mendengar dan mengikutiku? Ya, ada benarnya juga. Saat itu juga aku langsung mencoret kenginginanku untuk jadi motivator. Kenapa? Karena aku tidak ingin jadi orang yang punya ambisi besar untuk mencapai kesuksesan ataupun prestasi yang besar dan sebanyak-banyaknya hanya karena aku ingin jadi motivator yang didengar oleh banyak orang. Aku merasa hal ini kurang tepat. Tidak klik di hati. Sepertinya keinginan untuk jadi motivator ini muncul ketika aku ada di tingkat SMA.

Sampai di tingkat universitas, aku bertemu dengan beberapa dosen perempuan yang menyandang gelar Professor, yaitu Prof. Rosa dan Prof. Paulina. Menurutku, sangatlah keren dan hebat untuk kedua perempuan ini menyandang gelar tersebut. Contoh yang nyata langsung aku temukan di kehidupan ini. Aku ingin jadi seorang Professor juga seperti mereka. Contoh nyata ini membuktikan bahwa seorang perempuan pun bisa menjadi sosok kuat dan mandiri dengan intelektual tinggi. Oiya, terlebih lagi kedua Professor perempuan hebat ini mencerminkan pribadi yang sangatlah bijak dan meneduhkan ketika mengajar dan berinteraksi dengan kami semua mahasiswanya. Selain itu, aku pun pernah suatu ketika secara tidak sengaja mendengar kedua perempuan hebat ini bercakap-cakap dengan Bapak Rektor dan beberapa dosen lainnya. Dan aku langsung jatuh cinta ketika mereka memanggil kedua perempuan hebat ini dengan panggilan 'Prof'. Sangatlah keren. Bukan Mbak, Ibu, Ms., Mrs., atau Mam, tapi Prof. Aku langsung jatuh cinta, dan lagi-lagi aku ingin sebutkan kalai aku ingin jadi seorang Professor. Cita-citaku, ingin jadi professor (Ingat lagu ini?)

Saat ini aku sudah menyelesaikan pendidikan S2, dan pastinya aku perlu melanjutkan studiku ke tingkat S3 kalau aku memang benar-benar ingin meraih mimpiku untuk menjadi seorang Professor. Jujur, aku tidak tahu bagaimana caranya ataupun syarat-syarat nya apa saja. Beberapa waktu yang lalu aku sempat menerjemahkan satu artikel penelitian tentang evaluasi beberapa profesor di kampus UIN Jakarta, dan seingatku persyaratan mendasarnya adalah menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pelaksanaan pendidikan, penelitian dan pengabdian. Apakah aku serius dengan cita-citaku ini? Iya, pastinya aku serius, tapi tidak serius-serius banget. Biasa saja sambil melakukan apa yang bisa dilakukan. Tulisan ini adalah pengingatku kalau masih ada hal yang ingin aku capai supaya aku terus bergerak maju untuk belajar dan meningkatkan kemampuan diriku. Apalah arti hidup ini kalau sudah tidak ada lagi harapan dan semangat untuk terus belajar dan belajar.  


Wednesday, March 10, 2021

Tangan Tuhan ada di mana saja #Day10

Dua hari yang lalu aku membeli sebuah lemari sudah pakai yang masih sangat bagus dari seseorang. Aku pun ke sana untuk mengambil lemari itu karena si pemilik hanya menerima pembeli yang mengambil sendiri barangnya, tidak memakai jasa kurir. Jadi, aku memutuskan untuk pergi kesana menggunakan Grabcar. Setelah aku sampai dan melihat kondisi raknya, ternyata sudah dalam keadaan terpasang. Aku perlu membongkarnya jika aku ingin membawanya lebih mudah, tapi sepertinya tidak memungkinkan karena ada beberapa bagian yang terpaku dan akan cukup susah untuk dibongkar. Jadi, berdasarkan saran si pemilik, aku tidak membongkarnya. 

Jika aku akan membawanya dalam keadaan utuh, itu berarti aku harus memesan mobil yang cukup besar dan akan sedikit merepotkan si sopir. Dan, seperti yang kita tahu, tidak semua sopir itu berkenan untuk direpotkan dengan hal semacam ini, apalagi harus angkat-angkat. Belum lagi harus cari akal dan jalan keluar supaya lemari bisa muat ke dalam mobil. Beruntungnya, Pak Sopir Grabcar waktu itu sangatlah baik. Dia membantu si mantan pemilik lemari memasukkan ke dalam mobil dan berusaha supaya bisa muat. Aku beberapa kali meminta maaf karena sudah merepotkan dan berterima kasih banyak karena sudah membantu. Selama di perjalanan kami sempat banyak mengobrol tentang beberapa hal seperti kehidupan bekerja di Malaysia dan masa muda untuk menjelajah mendapatkan banyak pengalaman. Ada beberapa hal-hal lain tapi aku tidak terlalu ingat. Yang jelas, kami menikmati perjalanan kami dengan bertukar bahan pembicaraan. Bahkan, sesampainya di rumah Pak Sopir mengeluarkan rak bukuku itu dan mengantarkannya ke lantai dua tempat aku tinggal. Sangat baik, ya? Tidak ada hal lain yang bisa aku lakukan selain berterima kasih, memberikan sedikit tips, dan mendoakannya. Semoga si Pak Sopir dan keluarga selalu sehat dan dilimpahkan rezekinya oleh Tuhan, Tuhanku dan Tuhannya. 

Dengan kata lain, mungkin aku bisa bilang kalau aku beruntung. Iya, mungkin. Tapi aku lebih memilih untuk menyatakan bahwa tangan Tuhan itu ada di mana saja dan melalui diulurkan melalui siapa saja. Kita tidak pernah tahu itu. Makadari itu, sampai kapan kita akan terus-terusan hanya mendapatkan uluran tangan Tuhan melalui orang-orang di sekitar kita? Mulai sekarang, jadilah juga salah satu duta atau utusan Tuhan untuk menjadi menebarkan kebaikan dan cinta kasih dengan saling membantu ke sesama. Tapi tunggu dulu, tangan Tuhan mana sih yang sedang aku bicarakan? Hmmm. Anyway, Tuhan yang mana saja deh. Toh, masa iya para Tuhan akan saling adu untuk mendapatkan gelar yang paling baik. 

Tuesday, March 9, 2021

Cuma satu yang pasti, kematian #Day9

Hari ini aku mendapat kabar duka dari keluarga di Lampung. Dek Nia, istri dari salah satu adik sepupuku, meninggal dunia. Aku tidak bisa berkata atau berbuat apa-apa selain menarik napas panjang, aku tahan sejenak dan aku hembuskan pelan-pelan. Seketika mataku meneteskan air mata. Tapi apa daya, tidak ada yang bisa aku lakukan selain mengirimkan do'a sebanyak-banyaknya yang aku bisa. 

Sebelumnya, aku tidak terbiasa dengan kematian. Ketika satu-persatu tetangga di sekitar ku meninggal dunia, satu hal yang muncul di pikiranku adalah aku takut kalau-kalau roh nya gentayangan dan jadi hantu. Itu saja. Sampai suatu hari ada salah satu anggota keluargaku meninggal.

Pertama, di mulai dari Mbah Kakung dari Bapakku. Tetapi waktu itu aku masih kecil dan rumah Kakekku sangatlah jauh. Makanya waktu itu cuma Bapak saja yang pergi ke sana. Aku waktu itu tidak takut karena lokasinya jauh. Mana bisa hantu atau roh gentayangan dari orang meninggal menempuh jarak jauh? Kan tidak.

Berikutnya, Mbah Uti dari Mamakku meninggal dunia. Aku merasa sedih karena Mbah Uti adalah salah satu orang yang banyak memberikan pelajaran hidup kepadaku, dan aku baru menyadarinya sekarang ketika aku sudah besar. Saat itu perasaanku bercampur, apakah aku harus sedih atau harus takut. Rasa sedih sudah pasti karena aku tidak akan pernah bisa berjumpa dengan Mbah Uti lagi, ya meskipun masih bisa lewat mimpi, tapi tidak di alam nyata. Tapi, apakah aku harus merasa takut? Takut kalau-kalau roh nya gentayangan dan jadi hantu? Tapi kan, itu Mbah Utiku, aku mengenalnya, dan tidak mungkin Mbah Uti akan menakutiku atau membahayakanku.Setiap kali aku pergi ke belakang rumah atau ke kamar mandi atau ke gudang, aku selalu minta ditemani Bapak atau Mamak atau siapapun yang ada di rumah. Waktu itu kami menginap di rumah Mbah sampai kira-kira satu minggu. Dan itu menakutkan. 

Setelah beberapa tahun, Mbah Kakung dari Mamakku meninggal. Waktu itu aku tidak ada di rumah. Aku sedang kuliyah di Jakarta. Setelah aku mendengar kabar, aku langsung bersiap menuju pulang ke rumah. Sayangnya Mbah Kakung sudah dimakamkan ketika aku sampai rumah di hari berikutnya. Seperti sebelumnya, ketika Mbah Uti meninggal, keluargaku tinggal di rumah Mbah sampai kira-kira tujuh hari juga karena kami ada tradisi do'a bersama setiap hari selama tujuh hari setelah seseorang meninggal dunia. Tapi, aku tidak bisa tinggal lama-lama waktu itu. Aku harus segera kembali ke Jakarta karena aku harus menyelesaikan tugas program mengajar ke sekolah untuk melengkapi salah satu penilaian kuliyahku. Waktu itu aku merasa sedih, tapi tidak terlalu sedih. Mungkin karena aku tidak terlalu dekat dengan Mbah Kakung. Tapi yang jelas pada saat itu aku sudah mulai tidak takut lagi, karena aku berusaha meyakinkan diriku bahwa Mbah Kakung tidak akan menakuti, melukai atau membahayakanku, seperti halnya Mbah Uti. 

Aku baru mulai belajar untuk memahami kematian ketika Bapak meninggal dunia. Bahkan aku masih menetaskan mata sambil mengetik saat ini juga menuliskan tentang kematian Bapak. Aku tidak ada di sisi Bapak ketika Bapak meninggal, tapi aku bersyukur karena aku masih bisa melihat wajah Bapak untuk terakhir kalinya dengan sangat jelas. Oiya, sebelumnya aku tidak berani menengok wajah jenazah Mbah Uti. Aku tidak pernah berani melihat wajah jenazah siapapun sebelumnya. Aku tidak pernah terpikir bahwa akan datang saatnya Bapak akan pergi meninggalkan aku. Tidak pernah sama sekali. Terpikir pun tidak, apalagi membayangkan. Aku menolak kenyataan bahwa Bapak harus pergi meninggalkan dunia ini, tapi apa daya seberapa kuatpun aku menolak tidak akan merubah keadaan. Semoga Bapak tenang dan tersenyum di alam sana. Aku berusaha meruntuhkan egoku dan keinginanku untuk menahan Bapak. Aku harus bisa melepaskannya. Apakah itu mudah? Sama sekali tidak. Butuh waktu yang lama untuk berlatih. Tapi yang jelas, sekarang aku mulai memahami bahwa tugas Bapak sudah selesai di dunia ini dan cukup sekian. Justru kematian itu lah yang sudah membebaskan Bapak dari segala serba-serbi yang ada di dunia ini. Bapak sudah terlepas, lega dan tenang di alam lain sekarang.

Itulah, kematian pasti akan datang. Yang tidak pasti adalah kapan, di mana, dan bagaimana. Mau tidak mau aku harus selalu siap, entah itu dengan kematianku sendiri atau kematian orang-orang yang aku sayangi. Semoga Allah mengampuni kita semua, mengasihani kita semua, memberikan kesejahteraan untuk kita semua, dan memaafkan kita semua. Aammiin. 

Monday, March 8, 2021

Antara memori dan imajinasi, jebakan atau jembatan? #Day8

Sebagai manusia, kita adalah sebaik-baiknya ciptaan, terutama karena adanya otak yang kita miliki untuk berpikir. Kemampuan yang dimiliki otak kita ini sangatlah luar biasa hingga bisa menembus ruang dan waktu yang pada dasarnya tubuh ini sangatlah terbatas ruang dan waktu. Menarik ya? Berbicara soal kemampuan otak kita ini, aku teringat salah satu hal yang disampaikan oleh Sadhguru di salah satu 'pengajian'nya. Aku lupa tentang apa konteks atau topik yang dibicarakan saat itu, tapi yang jelas ada satu hal yang sangat aku ingat dan aku masih terus belajar untuk memahaminya.

Memori
Hingga saat ini aku sudah berusia 28 tahun dan sebentar lagi akan memasuki usia 29 tahun. Itu berarti aku seudah menjalani kehidupanku selama itu. Hal yang menakjubkan dari otak yang aku miliki adalah bahwa hal-hal yang terjadi padaku atau aku alami sebelumnya akan tersimpan didalam otakku. Ada yang indah. Ada yang buruk. Ada yang mengecewakan. Ada yang menyedihkan. Bermacam-macam peristiwa terjadi disertia emosi yang melekat di setiap kejadian itu tersimpan di sana. Terlebih lagi, otak kita tidak hanya menyimpan hal-hal yang memang sengaja kita ingat, tapi juga hal-hal yang mungkin tidak sengaja kita dengar atau lihat atau rasa. Aku jadi teringat ada kalanya di masa lalu, aku lupa tepatnya kapan, aku memutuskan untuk menyimpan hal-hal yang memang aku ingin simpan dan mengabaikan apa-apa yang aku tidak ingin simpan. Alhasil, seeperti yang sering dikatakan pacarku dan teman-temanku, aku jadi pelupa. Hehe.

Imajinasi
Selain menyimpan masa lalu, ternyata otakku bisa membayangkan apa yang akan terjadi besok, minggu depan, bulan depan, tahun depan, ataupun beberapa tahun kedepan. Ya mungkin ini merupakan sebuah gambaran yang aku miliki dari perencanaan-perencanaan yang aku buat. Sangatlah luar biasa, ya. Pernah tidak kalian memikirkan berdasarkan apa gambaran atau imajinasi kalian muncul di masa yang akan datang? Aku sempat memikirkannya dan aku menemukan sebuah pemikiran bahwa pastinya berdasarkan pengalaman yang telah lalu dan juga informasi yang sudah kita dapatkan sebelumnya sehingga aku bisa mempertimbangkan berbagai kemungkinan-kemungkinan yang akan mempengaruhi rencanaku tersebut. Dan, itu semua tidak lepas dari memori yang sudah aku jelaskan di atas. Lagi-lagi, aku ingin mengatakan bahwa hal ini sangatlah menarik. Oya, tapi perlu kita sadari bahwa kenyataan yang terjadi ini tidak selalu seperti imajinasi yang dibayangkan. Ada lebih banyak faktor yang tidak bisa aku jangkau atau kendalikan untuk memastikan semuanya pasti. Lagipula, tidak ada yang pasti di dunia ini selain kematian. 

Saat ini, jebakan atau jembatan?
Suatu hari ada seorang temanmu yang berbohong dan ketahuan. Apakah sekarang kamu masih akan percaya dengan temanmu itu?
Suatu hari ada seorang temanmu yang memberimu sebuah hadiah. Apakah sekarang kamu masih akan berteman dengan temanmu itu?
Disinilah hal yang sempat aku renungkan, apakah saat ini, waktu penghubung antara memori dan imajinasi akan menjadi sebuah jebakan bagiku dalam bertindak dan menyikapi suatu hal karena kalau aku berperilaku dengan berdasarkan memori-memori yang sudah aku miliki dan membayangkan dalam imajinasiku tentang apa dan bagaimana suatu hal akan terjadi nantinya, itu berarti aku sudah terjebak di dalam memori dan imajinasiku sendiri. Secara tidak langsung, keadaan ini seperti halnya aku sudah memiliki sebuah teori dalam diriku sendiri, jika A maka B. Aku tidak ingin seperti itu. Aku ingin menjadikan waktu saat ini sekedar sebagai jembatan jembatan saja dan terbuka dengan segala kemungkinan yang terjadi. Ketika ada seseorang yang mungkin sudah menyakiti atau mengecewakanku di masa lalu, bukan berarti aku harus menjauhinya dan benci terhadap orang tersebut. Iya, aku sedih dan kecewa, tapi bukan berarti aku akan mengkhawatirkan hal-hal tersebut akan terjadi di masa datang dan akhirnya aku menjadi seseorang yang tidak baik. Aku ingin belajar untuk melepaskan dan melupakan hal-hal dalam memori dan imajinasi, dan hidup seutuhnya di masa saat ini. Oya, aku jadi ingat sebuah pesan guru-guruku sebelumnya untuk selalu mengingat kebaikan-kebaikan yang orang berikan kepada kita dan melupakan kebaikan apapun yang kita lakukan atau berikan kepada orang lain. Lalu bagaimana dengan keburukan? Pastinya hal ini tidak dibahas karena tidaklah penting. Aku sangat suka nasehat ini. 

Dan, seperti yang Sadhguru peringatkan, aku belum mengambil kesimpulan apa-apa sampai saat ini karena aku masih terus belajar dan belajar. 


Sunday, March 7, 2021

Let's thrive! Not only me, but also you! #Day7

Lagi-lagi, masih soal perayaan Hari Perempuan Internasional di kantor beberapa hari yang lalu. Di akhir acara Pak Azwan sempat menyebutkan soal 'thriving'. Seperti yang kita ketahui bahwa sudah satu tahun lebih kita melewati masa pandemi ini dengan berbagai perbedaan dan perubahan yang besar dari sebelumnya dalam hal pekerjaan, kehidupan sehari-hari di rumah, dan kehidupan bersosial. Terlebih lagi dalam  hal ekonomi, banyak sekali orang-orang di luar sana yang mengalami kerugian atau kemunduruan dalam bisnis yang dijalankan. Banyak juga di luar sana orang yang kehilangan pekerjaan. Ini adalah masa yang berat dan sulit untuk kita semua. Meskipun begitu, segala puji bagi Allah atas segala nikmat yang masih diberikan ke aku hingga saat ini. Aku sangat bersyukur. 

Pak Azwan sempat menyebutkan bahwa meskipun kita melalui masa-masa sulit ini, bukan berarti kita harus terpuruk dalam kesedihan dan menyerah pada keadaan. Sebaliknya kita harus bangkit dan mengupayakan hal terbaik yang bisa dilakukan untuk terus berkembang dan maju. Satu hal lagi, beliau juga menyebutkan bahwa jangan lupa untuk bergandeng tangan dengan orang lain untuk maju bersama-sama. Di saat itulah aku teringat lagu yang dulu seringkali aku dan teman-teman nyanyikan saat belajar di Sampoerna School of Education (SSE) yang berjudul Spread Our Wings.

Baru saja aku mencari lagu ini di Youtube untuk aku putar dan ikut bernyanyi bersama. Dan, aku juga mencari halaman dimana aku bisa menyalin lirik lagunya. 

Spread Our Wings

I can dream the impossible
I fear not the obstacle
For if I believe in me
I can make it possible
I’ll shine my light for all the see
For a gem can’t be polished without frictions
Nor man perfected without trials
 
We all take different paths in life
But no matter where I go
I will feel safe knowing that
We’re all together in this journey
 
For we are one big family
There’ll always be time for sharing
And caring for each other,
Even when we are far apart
 
Like an eagle, we spread our wing
Soaring high in the sky of dream
Always strive to be the very best
And help others to soar as high
 
We remember the start
We will go through the journey
We will reach the goals
Let’s lend our hands to our brother and sisters
Let’s make a brighter tomorrow for others
Make their impossible dreams possible
For when we believe, when we are together
We can make the difference

Saat menyanyikan lagu ini, aku teringat masa ketika aku kuliyah untuk mengejar mimpiku. Mimpi apa dan yang mana? Nanti akan aku bahas di bagian tuliasan yang lain. Banyak sekali keterbatasan-keterbatasan yang aku miliki dan alami saat itu. Nyatanya, aku bisa melalui semua itu dan menjadi diriku saat ini yang mempunyai banyak sekali potensi. 

Yang pastinya, saat ini aku menyadari bahwa setiap baris di lagu ini sudah terserap ke dalam diriku sampai-sampai banyak sekali hal yang sudah aku lakukan dan ternyata itu adalah bagian dari lirik lagu ini. Bagiku, lagu ini mempunyai pesan yang sangat kuat. Hiingga saat ini, ini merupakan salah satu lagu penyemangat, pengingat buatku untuk terus mengepakkan sayap, bukan hanya sayapku tapi juga sayap kalian. 

Saturday, March 6, 2021

Kamu cerminan panutanmu #Day6

Dua hari yang lalu aku mengikuti acara virtual langsung perayaan Hari Perempuan Internasional 2021 di Accenture Malaysia. Di akhir sesi, ada kalimat penutup yang disampaikan oleh pimpinan Accenture Malaysia, Azwan Baharuddin. Aku sangat suka bagaimana beliau menyampaikan pesan-pesannya yang penuh rasa, semangat, ketulusan dan kejujuran sehingga apa yang disampaikan tidak hanya sekedar kata-kata tetapi juga menyalurkan energi ke aku sebagai salah satu pendengarnya. Dan, jika suatu saat nanti aku menjadi seorang pemimpin entah di sebuah perusahaan, komunitas, daerah, ataupun yang lainnnya, aku akan melakukan hal yang serupa. 

Kamu adalah cerminan dari panutanmu (your role model). Inilah hal yang muncul pada saat itu juga. Hal ini membuatku merenungkan kembali siapa saja yang sudah menjadi panutanku selama ini dan apa saja hal yang sudah aku cerminkan dalam kehidupanku.

Pengaruh yang sangat besar dalam caraku menjadi seorang guru adalah Miss Yannik, salah seorang dosen ketika aku belajar S1 di Sampoerna School of Education (SSE). Aku sangat suka bagaimana cara beliau membangun hubungan dengan setiap mahasiswa yang sangatlah personal sehingga setiap mahasiswa, termasuk aku, merasa dekat dengan beliau. Dan, karena kedekatan inilah aku merasa aman dan nyaman mengikuti kelas beliau. Tapi, bukan berarti kami bisa berbuat seenaknya. Peraturan kelas, ketentuan tugas dan penilaian harus tetap ditaati dengan semestinya. Salah satu keinginanku adalah menjadi seorang guru seperti beliau dan sampai saat ini aku masih terus menerapkannya. Terima kasih, Miss Yannik. 

Aku mencoba mengingat lagi siapa saja yang sudah menjadi sosok panutan di beberapa aspek kehidupanku. Mungkin karena terlalu banyak, jadi aku tidak bisa menentukan yang manapun. Bagaimana bisa banyak? karena dari setiap orang, entah siapapun itu, aku selalu yakin dia mempunyai hal positif yang bisa aku pelajari dan bisa aku ambil untuk aku simpan dan amalkan. 

Aku jadi ingat Mba Ieie. Dia adalah teman kerjaku ketika aku kerja paruh waktu sambil kuliyah di Jakarta. Saat itu aku sedang berpacaran dengan seseorang dan hampir setiap hari pasti SMSan atau teleponan. Aku masih ingat  waktu itu kami sedang makan malam di pinggir jalan dan dia nyeletuk "Teleponan SMSan terus sama pacar, udah telepon Bapak Ibu belum?" Sejak saat itu juga aku berusaha untuk terus berkomunikasi dengan Bapak dan Ibu setiap hari lewat telepon, tepatnya setiap pagi. Aku selalu mengobrol dengan Bapak paling tidak satu jam biasanya. Makadari itu ketika Bapak meninggal dunia, aku sama sekali tidak merasa menyesal atau bersalah karena tidak bisa menghabiskan banyak waktu dengan Bapak karena aku ada di Jakarta dan Bapak di Lampung. Kami sudah menjalin komunikasi dan hubungan yang sangat baik di hari-hari kami dengan jarak jauh. 

Siapa lagi, ya? Ada banyak. Akhir-akhir ini aku sedang banyak menyimak pelajaran-pelajarn dari Sadhguru untuk bisa aku terapkan di kehidupan sehari-hari. 

Yang pastinya, panutanku dan pahlawanku adalah Bapak. Banyak sekali hal yang sudah aku pelajari dari Bapak dan sampai saat ini sudah aku terapkan. Bahkan bisa jadi aku karakter dan sifatku sudah menyatu dengan hal-hal yang diajarkan Bapak tanpa aku sadari. Bapak selalu mengajarkan untuk tenang (stay calm). Bapak mengajarkan untuk tidak usah muluk-muluk dalam mengejar suatu ambisi atau keinginan. Bapak mengajarkan untuk menjadi pribadi yang tegas dalam mengambil keputusan dan selalu siap menanggung segala akibat yang mungkin terjadi. Bapak mengajarkan untuk santai saja (chill out) ketika menghadapi suatu kegagalan dan terus maju ke depan dengan memanfaatkan kesempatan yang ada untuk perbaikan. Bapak mengajarkan untuk tidak pernah takut dan dihantui oleh masa depan karena yang terpenting adalah melakukan yang terbaik sekarang. Bapak mengajarkan banyak hal yang seringkali dikaitkan dengan kejadian atau peristiwa yang terjadi di masa para Nabi atau sahabat. Dan,  Bapaklah yang mengenalkan aku tentang Allah swt. dan Rasulullah saw. yang penuh cinta dan kasih sayang.

Dengan kata lain, ketika kamu ingin mengenali seseorang, salah satu caranya ialah dengan mencari tahu atau mengenali siapa panutannya. 

Dan, coba deh berhenti sejenak, siapa saja sih panutan kamu sehingga kamu menjadi dirimu saat ini?

Friday, March 5, 2021

I am proud to be a woman! #Day5

Selamat Hari Perempuan Internasional untuk kamu para perempuan hebat! 💓

Hari ini ada sebuah acara virtual yang disiarkan secara langsung di kantor untuk merayakan International Women's Day 2021 (IWD '21). Acara ini menampilkan tiga pembicara perempuan dan satu pembicara laki-laki yang memaparkan bagaimana peran mereka sebagai perempuan yang berperan sebagai ibu rumah tangga (IRT) dan pada saat yang bersamaan terus mengembangkan karir pekerjaan mereka masing-masing. Untuk si pembicara laki-laki, dia memaparkan perannya sebagai seorang suami yang masih terus menjalankan karir pekerjaannya dan pada saat yang bersamaan mendukung istrinya untuk terus berkarir ketika ada anggota baru dikeluarganya, seorang bayi. Memerankan beberapa peran pada saat bersamaan pasti tidaklah mudah, apalagi sejak pandemi ini muncul. Kita semua harus tinggal di rumah untuk bekerja dan hidup sehari-hari. Work and life balance merupakan tantangan tersendiri di masa ini. 

Ada banyak hal yang dipaparkan oleh para pembicara, tapi yang menarik perhatianku adalah betapa luar biasanya perempuan ketika mereka bisa terus memaksimalkan kemampuannya. Apalah arti perbedaan jenis kelamin laki-laki ataupun perempuan kalau memang keduanya bisa sama-sama terus belajar untuk mengembangkan diri dan terus menebarkan manfaat, baik untuk dirinya sendiri maupun ke orang-orang sekitar.

Untuk itu, di hari perempuan kali ini aku akan menuliskan surat cinta untuk diriku sendiri, salah  satu perempuan yang terlahir di dunia ini. 

Hai Fitri,

Aku yakin kamu selalu sehat, karena kamu selalu berusaha untuk menjaga kesehatanmu, dari makananmu, waktu istirahatmu dan waktu tidurmu, dan juga olah ragamu. Pasti kamu selalu sehat. 

Selamat ya, kamu sudah melalui perjalanan hidupmu sejauh ini sejak kamu dilahirkan 21 April 1992. Waktu yang lama ya. Hampir 30 tahun.

Aku tahu tahu pastinya ada tahun-tahun dimana bahkan kamu tidak tahu ataupun sadar dengan apa yang kamu lakukan. Tapi, kamu beruntung karena kamu ada di keluarga dan lingkungan yang selalu mengarahkanmu ke hal-hal yang baik sampai kamu dewasa. Dan, setelah kamu dewasa hingga saat ini kamu sudah bisa memutuskan hal-hal yang baik dan yang terbaik untuk dirimu sendiri dan juga untuk orang lain. 

Kamu sudah bkerja keras sejauh ini. Aku ingin mengucapkan selamat atas semua prestasi dan pencapaian yang sudah kamu raih. Oya, kamu boleh sekali-kali melirik kesuksesan, prestasi, ataupun pencapaian teman-temanmu, tapi ingat, ini adalah hidupmu. Jangan sibukkan hidupmu dengan mengurusi kehidupan orang lain. jangan sibukkan hidupmu dengan membandingkan hidupmu dengan orang lain. Sibuklah untuk terus melangkah mempelajari hal-hal baru yang kamu belum tahu. mungkin sesekali kamu akan menemukan kegagalan yang buat kamu kecewa dan sedih. tidak apa-apa. berhenti dulu sejenak. tenangkan diri kamu. setelah itu, ambil hal-hal yang bisa kamu pelajari dan kemudian lupakan hal-hal kecil yang lain. simpan pelajaran yang kamu dapat, bangkit dan melangkah lagi. kita mulai dengan hari yang baru. 

Fitri, kamu adalah perempuan hebat. 

Sebagai anak perempuan, kamu sudah menunjukkan rasa cinta, kasih, dan sayangmu sebaik dan sebanyak mungkin ke Bapak dan Mamak. Meskipun Bapak sudah tidak ada, kamu pun masih terus mengirimkan do'a untuk dia. Bahkan, sebelum dia meninggal pun kamu sudah mengekspresikan semua rasa itu ke Bapak. Dan, yang seperti yang selalu kamu tahu, Bapak sangat mencintaimu. Begitupun dengan Mamak. Kata-kata manis yang selalu kamu ucapkan ke Mamak membuat dia merasa dicintai dan disayangi oleh anaknya meskipun kamu jauh. Teruslah begitu. Aku yakin Mamak pun sangat sayang kepadamu.

Sebagai adik perempuan, kamu sudah berusaha untuk menjalin hubungan yang baik dengan semua kakak-kakakmu beserta keluarganya. Kamu terus berkomunikasi dengan mereka dari waktu ke waktu, meskipun tidak sesering kamu menghubungi Mamakmu. Apa yang kamu lakukan membuat mereka merasa bahwa mereka masih seorang kakak yang mempunyai kamu sebagai adiknya. Rasa pedulimu kepada keponakan-keponakanmu pun sangatlah besar, meskipun aku tahu cukup sulit bagimu untuk bisa memberikan kepeduliaan dan perhatian yang sama kepada semuanya. Setidaknya kamu sudah mencoba dengan daya dan upaya terbaikmu.

Sebagai seorang kakak perempuan, kamu sudah melakukan yang terbaik untuk menjadi contoh yang baik untuk adik-adikmu. Meskipun satu adik perempuanmu sudah terlebih dahulu menikah dan memulai kehidupan rumah tangga, kamu sudah berbesar hati menerimanya. Ya meskipun pada awalnya tidak mudah bagimu, kamu sudah berusaha keras dan berhasil melawan egomu sendiri untuk suatu hal yang lebih besar dan lebih baik untuk adikmu. Good job, Fitri. Kamu pun sudah menjadi contoh panutan untuk adikmu yang paling kecil. Sekarang dia pun sudah mulai mengajar di sekolah. Kamu masih ingat kan suatu ketika dia bertanya padamu tentang bagaimana cara mengajar yang baik dan menarik di pertemuan pertama. Aku tidak menyangka dia sudah tumbuh sebesar ini. Banyak kejuaraan yang dia raih dan banyak kontribusi yang dia berikan ke sekolah dan kampusnya. Kamu sudah memberikan contoh dan menjadi role model yang nyata bagi dia bahwa perempuan bisa menjadi sosok yang hebat dan kuat. Kamu pun sudah sangat banyak membantu mendukung adikmu dengan memenuhi beberapa kebutuhan yang dia perlukan. Dia sangat berterimakasih padamu dan menyayangimu, Fitri. Meskipun dia tidak mengutarakan rasa cinta, kasih dan sayangnya lewat kata-kata, tapi kamu pasti bisa merasakannya, kan? 

Ini saja sudah cukup, aku tidak perlu memaparkan semua peran yang sudah kamu lakukan. Ini saja sudah cukup. Kamu sudah menebarkan cinta dan manfaat ke orang-orang di sekitarmu, terutama di keluargamu. Kamu perempuan cerdas, tangguh, dan penuh cinta kasih. Selamat merayakan harimu.

Dari dirimu sendiri,

Fitri


Thursday, March 4, 2021

Ucapan Positif, "Kamu cantik!" #Day4

Melanjutkan tantangan #30harimenulis, aku mulai memperhatikan hari-hariku lebih detil supaya aku bisa memilih bagian mana yang bisa aku kembangkan kedalam tulisan dan aku bagikan untuk kalian semua. Kalau kata Dian, "Aku lagi nyari ide buat nulis nih." Padahal, menurutku sebenarnya ada banyak hal yang ada di sekeliling dia, atau bahkan di pikiran dia yang bisa dituangkan ke tulisan. Tinggal pilih aja salah satu. Setidaknya untuk menggugurkan tantangan kewajiban menulis setiap hari sampai bulan Maret ini berakhir. Hehe. Eh, tapi kan bulan Maret ini ada 31 hari, bukan 30. Jadi, gimana nih, Dian? Apakah kita perlu merevisi tagline #30harimenulis kita ini? Haha

Hal menarik yang bisa aku ceritakan hari ini adalah materi sesi Group Counseling di kantor hari ini bersama Lee sebagai konselor dan tujuh teman kerjaku sebagai peserta. Jadi, total ada delapan peserta termasuk aku. Aku sangat suka sesi-sesi konseling di kantor karena aku jadi belajar banyak hal terutama bagaimana aku bisa semakin mengenali diri sendiri, mencintai diri sendiri, dan menghadapi beberapa kesulitan atau tantangan yang muncul di kehidupan ataupun di tempat kerja.   

Sebelum sesi dimulai, ada storytelling berupa audio yang dibarengi dalam bentuk tulisan dan ada juga sound effect nya. Jadi, kami bisa semakin menghayati jalan cerita dan masuk ke dalam situasi yang di deskripsikan. Menariknya setiap bagian cerita punya dua pilihan berupa langkah apa yang kami ambil atau reaksi apa yang kami rasakan atau pikirkan apa yang muncul pada saat itu. Kemudian bagian cerita selanjutnya akan mengikuti pilihan yang kami pilih. Menarik ya?

Berawal dari storytelling ini, topik yang dibahas adalah soal positive talk, atau bisa aku artikan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai 'ucapan atau perkataan positif'. Aku sudah sedikit lupa urutan materi yang disampaikan selama sesi ini, tapi sejauh yang aku ingat, Lee memaparkan tentang apa yang dimaksud dengan positive talk, kenapa positive talk itu penting untuk kita lakukan atau miliki, kenapa kita cenderung ke hal-hal yang negatif, dan bagaimana melatih positive talk. Baru saja aku coba googling video yang ditayangkan dengan mencoba beberapa kata kunci. Dan, ini dia link video tentang kecenderungan kita terhadap hal negatif dan tentang penghargaan terahadap diri sendiri atau self esteem. Can you believe it? aku sempat nangis sewaktu menonton video ini. Jahat sekali ya kita sama diri kita sendiri.

Hal ini mengingatkan aku ke Nia, teman kerjaku di EF Pondok Indah Jakarta. Aku masih ingat sekali suatu hari aku datang ke kantor dan Nia memujiku. Aku lupa kalimat yang dia ucapkan, entah "You look pretty!," atau "You look nice!" Saat itu juga aku merasa senang sekali. Sejak saat itu, aku mulai memperhatikan kalau Nia senang sekali memberikan pujian ke siapapun dan aku pun belajar bagaimana dia merespon ketika menerima pujian. Receiving compliments makes us feel good as well as giving compliments does. Enak lho rasanya! Berasa senang. Inilah salah satu positive talk. Dan, kalau ke orang lain aja kita berkata yang positif-positif dan yang baik-baik, kenapa tidak ke diri kita sendiri?

Kembali lagi ke sesi konseling tadi, yang menarik adalah, sebelum sesi berakhir, Lee meminta kami semua untuk menuliskan beberapa ucapan positif untuk diri kita sendiri berdasarkan warna ke dalam satu slide powerpoint. Aku memilih warna biru dan inilah hasilnya. (Ah, sayang sekali akses ke dokumen power pointnya sudah di blocked, jadi aku tidak bisa tunjukkan fotonya di sini). Berikut adalah beberapa hal yang aku tuliskan.

You are enough.

You have done your best.

Your smile is sweet.

Keep spreading love.

You are smart.

You are inspiring.

You look beautiful.

You have done very well.

you are positive.

Aku lupa apa lagi. Atau mungkin memang ini aja, karena space nya terbatas dan ditulis dalam waktu terbatas juga.

Di hasil akhirnya, tulisan warna biruku yang paling banyak. Aku percaya diri banget dengan apa yang aku tuliskan karena aku sudah mulai mencoba berlatih untuk berkata positif sejak dari lama. Sepertinya sejak peristiwa dengan Nia yang aku ceritakan di atas. Di tambah lagi, sudah ada banyak sekali materi  dan pengingat yang diberikan para konselor di kantor pada setiap sesi mengenai hal ini, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Salah satu hal yang setiap hari aku lakukan untuk menyebarkan positive talk ini adalah memberikan banyak pujian ke Coki dan Moki (kucing peliharaan di rumah) dengan kata so smart, so strong, I love you, dear, darling. I love doing this!

Nah, tidak dipungkiri bahwa pastinya ada banyak alasan kenapa teman-temanku yang lain hanya menuliskan satu atau dua positive talk saja. Bisa jadi karena memang mereka merasa tidak nyaman untuk menuliskannya di forum ini. Atau, mungkin juga karena mereka merasa sangat berat ataupun sulit untuk mengakatan hal-hal yang positif ke diri mereka sendiri, seperti yang Lee sebutkan. Positive talk memang perlu latihan. 

We think

We speak

We feel

Ketiga hal tersebut saling terkait satu sama lain dan membentuk sebuah siklus. Kalau kita berpikiran positif, kita akan mengucapkan hal-hal positif. Alhasil, kita akan merasa positif. Dan, kembali lagi perasaan positif ini akan menciptakan pikiran positif lainnya lagi. Coba deh!




Wednesday, March 3, 2021

Makna dalam Passion dan Kesuksesan #Day3

Siapa sih yang tidak ingin sukses?

Aku, kamu, kita semua ingin sukses. Menariknya adalah kita memiliki gambaran kesuksesan yang berbeda dan juga cara berbeda untuk mencapainya. Titik temuanya adalah kita sama-sama ingin sukses, dalam berbagai bentuk dan rupa saat dibayangkan, karena kesuksesan itu secara tidak sadar kita menyamakannya dengan kebahagiaan. Aku sukses sama dengan aku bahagia. Lagi-lagi, ujung-ujungnya adalah untuk jadi bahagia. Itulah yang dicari-cari semua orang. Makanya ada film yang judulnya The Pursuit of Happiness. Aku tidak bisa paparkan ringkasan filmnya di sini karena sudah sangat lupa. Aku menonton film itu lebih dari tujuh tahun yang lalu. 

Baiklah, berbicara soal kesuksesan, aku sempat menyimpar 2 bagian video yang aku tonton di Youtube tepatnya tanggal 29 September 2019. Aku lupa dari mana aku menemukan video ini saat itu, tapi aku memang suka menonton video dari TED. Kenapa kedua bagian ini aku simpan? Karena mencakup inti penjelasan yang disampaikan pembicara dan aku setuju dengan gagasannya. Saat itu juga aku berencana untuk membuat tulisan tentang idenya ini untuk aku hubungkan dengan bagaimana aku memahaminya. Alhasil, baru sekarang aku bisa menuliskannya. Akupun perlu cari lagi di Google dulu nih supaya bisa mengingatkan kembali isinya secara utuh. Kamu bisa tonton di sini.

Gambar pertama mencakup 8 ciri yang dimiliki orang-orang yang sudah mencapai kesuksesan di karir mereka. Ini merupakan hasil penelitian dan interview yang Richard St John lakukan. Kedelapan ciri itu adalah: mencintai apa yang kamu lakukan (love what you do), bekerja dengan sangat keras (work really hard), fokus pada satu hal, bukan semua hal (focus on one thing, not everything), terus dorong diri sendiri (keep pushing yourself), muncul dengan ide-ide bagus (come up with good ideas), terus tingkatkan diri dalam hal yang dilakukan (keep improving yourself on what you do), layani orang lain dengan hal yang bermakna karena kesuksesan bukan hanya soal diri kita sendiri (serve others something that values, success isn't just about me me me), pantang mundur karena tidak ada kesuksesan dalam semalam (persist, no overnight success). Selebihnya, para orang sukses mengembangkan kemampuan mereka dalam bidang-bidang tertentu seperti technical skills, analytical skills, people skills, creative skills, management skills, dan computer skills


Pertanyaannya adalah bagaimana kita bisa tahu kalau suatu hal itu adalah passion kita. Nah, di bagian ini aku teringat dengan buku yang sebelumnya pernah aku baca, Man's Search for Meaning oleh Viktor E Frankl. Seperti yang kita kenal dan ketahui bahwa sebuah passion adalah hal yang kita cintai dan kita sukai untuk dilakukan. Di bagian ini aku mencoba mengaitkan bahwa, kita bisa mencintai suatu hal tertentu karena ada sebuah makna tersendiri di dalamnya untuk diri kita. Maka dari itu, mungkin ada beberapa orang yang melakukan sebuah pekerjaan yang sama dengan passion yang sama tapi memaknainya dengan cara yang berbeda. Makna ini sangatlah personal karena terkait erat dengan perasaan yang melekat. Ketika kita sudah menemukan sebuah makna dalam suatu hal, kita akan mencintai dan mencurahkan segala daya dan upaya didalamnya, dan akan terus merasa bahagia meskipun ada banyak rintangan dan kesulitan yang menghadang. 

Pertanyannya, bagaimana sih kalian memaknai apa yang kalian lakukan saat ini? Share di kolom komentar, ya. 

Sunday, February 28, 2021

I love Monday! - Oops #Day1

Today is Monday. It may suck for some people to hear 'Monday'. That's why I hear many people around me, particularly my colleagues, say "I hate Monday" and "I love Friday." It makes me wonder why should some people hate Monday and love Friday? They are just days, aren't they? 

I am sitting on my own and reflecting on this. Well, Monday is the beginning of the week for work or school or any other routines that people have in general. That is why it is common to call Monday - Friday as working days and Saturday and Sunday as weekends. The next question is why some people hate to begin the week, which means to begin their work, to begin their school. Oh, wait! Hang on a second! There might be something wrong in their work because it seems like to begin the week equals to start their sufferings. That's why they hate it. Do they really suffer during work? or maybe during school? I cannot imagine if it really is the matter because if let's say they do suffer, how much longer they would bear with this suffering? Days to days, weeks to weeks, months to months, years to years, and finally the death comes. Seriously? Isn't it such a shame to live like this? And yes, it is definitely not about the name of the day 'Monday'. It turned out even some of my colleagues still hate any day which starts their work of the week. Anyway, our work schedule keeps changing every three months with random days off. Then, here we can see why they say "Thank God, it's Friday." That is because they are ending their suffering of the week. Oh, but don't forget! Another suffering is coming as soon as the weekend is over and they are back to work. 

Anyway, if this kind of  'to hate' some days and 'to love' the other days happen to you, you may have to start reflecting on what is actually wrong with those days and figure out what you can do about it. Just like what I said, if it is because of your work, then maybe you can try to find another job that you like and suits you. Or, maybe at school, there is a subject that you are not good at on that day then seek some help to support your learning. Telling yourselves particularly to 'hate' a certain day, even before knowing it, would not make things any better, it may even do the opposite in some situations. The thing is, if you love what you are doing, you will always be happy and excited about whatever you are doing on any day. Working days would be as fun as weekends. 

----------

This morning I realized that today is March 1st and my friend reminded me of our pact to write for 30 days this month. We want to challenge writing skills as well as boost our spirit again in writing. So, I made a calender and printed it out for me to keep on track. By the way, no specific topic we have for this writing challenge. It's theme-free. It can be anything. Let's see what's happening in the next 29 days. Oh, I got the idea of I love Monday from my friend's chat by the way. Inspiration can come from anywhere, right?


Saturday, February 27, 2021

Pursuing an international career: Why not?

How did I start?

About the end of 2018, I started thinking about working abroad, especially in Malaysia. There was no specific reason or motivation why. It was simply because I was in a relationship with someone who was at the time working there and I thought it would be a good idea if I were also there so that we could be together. He was the one who told me that he found many Indonesians working in Malaysia, so it would be possible as well for me to work there. Since then I started to look for a job in Malaysia for Indonesian speakers. Why 'Indonesian speakers' became a keyword? It was because I am a native speaker of the Indonesian language and this skill is what others from other countries don't have despite my educational background and working experience that I had. As far as I remember, I applied to many job vacancies available on Google starting from those on the public job portals such as Jobstreets and Linkedin to those on the outsourcing company portals such as Manpower (he was hired by this company anyway) and Kelly and many others.
 
The offer to work in Malaysia came a few times, maybe around three times, but the other two did not go well maybe because my educational background and/or working experience was irrelevant. As far as I remember, they needed someone who has an educational background in business. Finally, the third time I got an offer and an interview by phone was arranged. Guess what? I had the interview on a bus from the airport to my rent room in Jakarta. I was on my way back to Jakarta from my hometown in Lampung. Unexpectedly, my flight delayed for about one or two hours. Well anyway, it went well. I got the offer the next day by email and I said yes right away. Was I excited? yes, but I was not too excited because my boyfriend vanished in January with no reason until at that time. Nevertheless, I was sure I would be okay in Malaysia without him. I changed my purpose and motivation for going, not because of him, but because I wanted to get more experience in life and if possible to continue my Ph.D. there. For your information, after a week of my arrival, I was thinking about inviting my ex for a cup of coffee. Unfortunately, it turned out he got married already. With who? With an Indonesian girl from Wakatobi. The worse part was that they got married on April 21st, my birthday when I was flying to Malaysia. Anyway, the ticket I had was supposed to be a two-way ticket for a short vacation in Malaysia to be with him celebrating my birthday, but no one knew what would happen next, right? I came here to Malaysia for work and just let the other ticket go because it was not refundable. It was a cheap flight ticket for a vacation promo that kind of thing. 

What's my background?

At that time, I had graduated from my Master's program a few months earlier, exactly in August 2018, and I started teaching in a university (where I studied for a bachelor's degree) as an English instructor starting in October. At the same time, I was still teaching part-time at English First Pondok Indah, Jakarta. So, it was a big decision for me to make at that time leaving the English teaching career that I had had in Jakarta in the last 8 and almost 9 years (since 2010, the second year of my bachelor's as an English private teacher). Especially at that time, I was an English instructor in a university a.k.a lecturer. I really love my students. We were like friends sharing stories and learning together. I also loved my colleagues who always had stories about many things such as other colleagues, teaching materials, and even about our students. Haha. We had a name for students, like good-looking ones, annoying ones, naughty ones, cool ones. Sadly, I was just there for one semester. I still remember that one day my supervisor, Ms. Widdy, asked me if I was sure about my decision and what I would actually do here in Malaysia. Honestly, I had no clear idea at that time and I just said whatever written there in my job descriptions. How it would look like? No idea at all. But, life must go on. I was ready to take another challenge leaving my comfort zone in Jakarta and to have another fight in Malaysia. Just like what I did before, leaving Lampung and fighting in Jakarta. Just like when I left my village to the capital city Bandar Lampung to fight for my high school. One fight after another I take. What for? I am not even sure what it is for? but what I am sure of is that a lot to learn in every single step I take.

Many things have happened since I graduated from Sampoerna School of Education, now well known by Sampoerna University with more faculties, not only education. I started teaching at Rumah Bahasa only for a few months then decided to leave due to its unprofessional HR management. Then found an opportunity on the internet, again not sure where it was from, I applied to English First and got hired. I still remember that the HR person Ms. Pram thought I was a model because of my previous school names, MIN Model (Madrasah Ibtidaiyah Negeri) and MAN Model (Madrasah Aliyah Negeri). In fact, this word 'Model' was to represent that the school was a role model for other schools in the region. It's funny, isn't it? after one year of teaching there I started getting bored and no challenge in my routine so I decided to continue my Master's degree part-time at UIN Jakarta (Universitas Islam Negeri). Well, the distance was not far from my rent room, to EF and to UIN, with my motorbike. During my master's, I tried to take this opportunity as much as I could, especially to do things that I couldn't do during my bachelor's. One of them is to present some papers of the assignments at some international conferences and to request the university to financially support me. Well, not bad, I went to Malang, Singapore, and Thailand supported by UIN. Other than that, I actively contributed to the student council conducting some projects such as TOEFL and TOAFL preparation classes for master students there considering they needed to pass the minimum score to graduate. Also, recognizing me in attending some international conferences, some lecturers in my faculty sought my assistance to be a part of the committee in international conferences conducted by UIN. It was great that I could get the experience not only as a participant or a presenter but also as a committee member. Because of my close interaction and relation with the lecturers there, I was awarded as the best master's student in 2016 in the faculty. Oh, last, I got involved in some research projects with Ms. Ratna and Ms. Desi. A lot of things I did, right? 

Any challenges I got through?

Well, the very first challenge was to find a place to stay. Luckily, I knew a friend from an English community that I joined a long time ago www.speaking24.com. He was studying for his Ph.D. in Malaysia. Surprisingly, there was a vacant room at his unit. The old tenant just moved out a month before, so I took the room. The problem was that I was not familiar yet with the surrounding, especially the distance from this place to my office and any transportation available. It turned out, its location was quite far. It got even worse because my work schedule is uncommon. I work in shifts, morning, middle, and night, and the schedule changes every three months. I am sure it would be much easier at that time for me if I knew someone from Indonesia (especially female) staying in Malaysia who could help me. Yes, at that time I had a friend but I didn't want to trouble him too much. What I thought in the first place was that so as long as I found a place to stay, then that's fine. After three months of staying there, my transportation expense was quite much so I decided to leave the place. You know what? I didn't know and I wasn't familiar with the tenant agreement at that time which some say the minimum period of stay is 6 months. The thing was that he didn't tell me clearly about the terms and conditions. Finally, I gave him one month's notice, left the place, and moved to a room at an apartment near to my office. See? It's complicated.

Another challenge was the currency. I needed a calculator most of the time when I wanted to buy something to at least compare and contrast the buy value between here and Indonesia so I could decide if it was cheap or expensive to buy something. Seriously, it was not easy. Each currency has its own value attached to the general values applied in its country or region at least. A higher price here in Malaysia does not always mean it is more expensive than it is in Jakarta. It may have a higher price but the value is just the same in the general value applied to the people and community here. Anyway, I am not good at talking about money and I may confuse you here. But, the thing is it is difficult to decide if something cheap or expensive. Even until now. That's why I don't think too much anymore about it now. I get tired of it. I will get what I need. That's all. haha. I don't care if there might be some friends who have been here long before me making some jokes on how stupid I am to buy certain stuff at a certain price which they may consider to be too expensive. I don't care. It's fucking difficult. Oh, by the way, now the currency from RM 1 is Rp 3,500, or in other words, 1 x 3. But, in my mind what's written is not like that, simply I put 3 zeroes at the back. Let's say I buy a snack costs RM 2, what I have in mind is like Rp 2000, which is totally possible to make me broke because in fact it actually costs Rp 7.000. Can you see what I mean?

Here comes to me dealing with the people here Malaysians or those who look like Malay. Most people think that Bahasa Indonesia and Bahasa Melayu are the same. I'd personally rather say that they are similar, not the same. If they are the same, they are totally and exactly and absolutely and definitely the same. Well yes, some are the same, but some others are different. This difference sometimes makes me confused whether I better speak Bahasa Indonesia or Malay or even in some situations English. A few times I tried speaking in Malay, but the person I talked to could easily notice it and right away think that I am Indonesian from my accent. There was nothing wrong with it of course. But, by then they would refer to me as a low-educated person who works as a housemaid and does not know English. How do I know? From the questions that they asked me. It's terrible, isn't it? At the other time, I spoke in English, especially with Chinese because even some of them sometimes do not know Malay. The thing is that there was a time when I spoke English and the person I talked to started asking where I was from. As soon as he knew that I was from Indonesia,  he started preaching about language saying that it was disrespectful to speak in English, not in Malay or Bahasa Indonesia in Malay land. So, what should I do then? Tell me.
 
The next challenge is when I had to deal with the diversity around me, especially at the workplace. LGBTQ is something common among colleagues and superordinates. It was my first time dealing with people who openly declare themselves to have a certain gender identity or sexual orientation. I am okay with that. We are all humans living together in this world, so let's be human. The thing is that there might be at some point where I am confused about what stand should take in how much support I would give them. Sometimes there is some kind of contradiction between what I believe to be a human and what I believe to be a Muslim. But anyway, despite all diversities at the workplace, we get along and work together really well for the best performance. Let the personal preferences be personal, and together be professional. 

How do I survive?

This job is a job that I have never done before, but I believe that I can always rely on my educational background and working experience. In the first few months, I tried very hard to get to know how things work exactly at the workplace. Any mistakes I made? A lot. Many times. But, each mistake I made let me learn things one by one. I observed and learned until I got the main idea of what it wants from me at doing the job, especially in terms of quality and quantity. What kind of quality I should have and how much quantity I should do. Trials and errors I have been through. Did I ever feel like giving up? Of course. Many times. It would be much easier for me to get back to school teaching lovely and fun students, right? But here I am not a teacher. I am a totally new student in a new work environment. If I can be a good student here, I will definitely be a good teacher here as well.

Other than my work, there are surely things out of my control coming from the management side. Some decisions are made changing from time to time, sometimes with a notice in advance and some other times in short notice. Well, what more to expect? No matter I go, in which institution or company I work for, the change would always be there. It was one of many things I remember from what Sir Anddy said (my supervisor in LRC SU). Any changes are the dynamics and what I always believe is that change happens for a reason, or maybe some reasons. Sometimes I know it, sometimes I don't, even though there must be some kind of feeling within me wondering why certain things happen. Well, we can't force ourselves to know everything, right? So, what I can do is to always see the big picture of something and its bright side in dealing with any dynamics. Some say that it may be me who may lose, but who cares? I don't care. Well, I may care, but that's none of my control and none of my business. The story would be different if I still have a chance or a way to fight for it. Anyway, as long as I live, I am happy and grateful for what I have and keep doing a good job. 

To work abroad does not mean to earn only money but also a lot more than that. After three months working here, I started thinking about teaching. I missed teaching so much. It took me to Myprivatetutor Malaysia on the internet where I could register myself as a teacher of English and Bahasa Indonesia, and connect me to students. Until now I have got students from Italy, Korea, German, and even Malaysia. It's interesting, isn't it? Other than teaching I still got involved in a research conducted by Ms. Ratna and Ms. Desi on Indonesian migrant workers in Malaysia and Singapore. I tried to find some Indonesian migrant workers organizations in both countries. Here, I started to be in touch with Edukasi Unntuk bangsa (EUB) and International Domestic Workers Federation (IDWF). Before the pandemic came, I voluntarily taught English conversation with Ibu Sri to Indonesian migrant workers. Sadly, no more classes until now because of the pandemic, and the school SIKL (Sekolah Indonesia Kuala Lumpur) is closed. In IDWF, I have been actively involved in some events as an interpreter for Bahasa Indonesia and/or English. These opportunities have made me in close contact with Indonesian migrant workers family here. It is great. Some of them are elder than me who treat me just like their daughter and little sister, and some of them are younger than me whom I consider like my little brothers and sisters. Additionally, I joined some voluntary teaching programs conducted by my company Accenture in collaboration with  Teach for Malaysia and SOLS 24/7, which allows me to broaden my network here as well as share knowledge and impact. These all are self-rewarding. 

So, for those of you thinking about going to work abroad, why not?

-----------

Last January I was invited by my old university, Sampoerna University, to share my experience of working abroad with the students there. I was with my other two friends, Agnes and Sahlan, who are also working in another country, Agnes is in Malaysia and Sahlan is in Thailand. It was an honor and a pleasure for me. May they and you all find this information useful. Here are the PPt slides. 


Monday, February 8, 2021

Ngaji (Keadilan Gender Islam)

Di bulan Ramadhan kemarin aku ikut Ngaji KGI (Kajian Gender Islam) yang disampaikan oleh Ibu Nur Rofiah. Aku tertarik untuk belajar tentang gender ini di awal Ramadhan dan minta rekomendasi Zakia, teman masa SMA yang aku perhatikan bergerak aktif di bidang hak perempuan. Pas sekali Ngaji KGI membuka pendaftaran untuk ngaji terbatas lewat Skype selama 4 hari berturut-turut. Ini Seri 1 katanya, ternyata ada seri 2 dan 3. Di sini aku ingin cerita sedikit rangkuman dan refleksi ku di masing masing sesi. Karena waktu itu masa ramadhan dan aku juga hadir ngaji sambil kerja, jadi catatan ku mungkin tidak terlalu lengkap dan mungkin ada beberapa hal yang terlewat. Ditambah lagi kebetulan koneksi internet di rumah terkadang ngadat.

Ngaji KGI Seri 1
Di awal sesi ini Ibu Nur memaparkan secara detil dan satu per satu hal mendasar dalam memahami konsep keadilan gender yang nanti akan dibahas lebih lanjut. Memang secara fisik atau biologis perempuan dan laki laki berbeda sejak dari sononya dibuat sama Tuhan dan memang harus diakui dan diterima begitu adanya. Ternyata perbedaan ini yang akhirnya menjadi penyebab dalam kehidupan sosial dalam bagaimana memperlakukan keduanya. Sayangnya, perlakuan yang banyak terjadi adalah ketidakadilan yang diberikan ke perempuan. Padahal tidak ada sangkut pautnya antara peran dalam hubungan sosial itu dengan perbedaan fisik pada perempuan. Beberapa isu ketidakadilan dalam sejarah pun disampaikan oleh beliau sejak zaman kerajaan romawi, beberapa yang terjadi di Eropa, Inggris, India dan bahkan hingga saat ini pun masih terjadi banyak perdagangan perempuan tanpa kita ketahui atau sadari. 

Pada salah satu bagian, disebutkan bahwa ketidakadilan ini terjadi karena adanya sitem patriarki yang dianut oleh masyarakat dimana perempuan diposisikan sebagai objek bagi garis keras atau perempuan sebagai subjek sekunder bagi garis lunak. Dan dalam hal ini, kesetaraan yang dimaksud adalah dengan menempatkan keduanya (laki-laki dan perempuan) sebagai sesama subjek kehidupan.

Dalam sistem patriarki, berbagai ketidakadilan terhadap perempuan yang muncul diantaranya berupa pandangan bahwa perempuan sebagai sumber fitnah (stigmatisasi), adanya nikah paksa (marjinalisasi), perempuan sebagai objek seksual (subordinasi), kekerasan baik di dalam maupun luar rumah, dan berbeban ganda dengan bertanggung jawab atas urusan domestik sekaligus publik. Di sini, ada kecenderungan menjadikan pihak yang lebih kuat dalam sebuah relasi sebagai standar bagi pihak yang lemah. Misal mayoritas ke minoritas, dewasa ke anak-anak, orang muda ke orang sepuh, non difabel ke difabel.

Sejauh ini sudah ada beberapa tindakan yang berpihak ke perempuan seperti ada gerbong kereta khusus perempuan, cuti hamil dan/atau menstruasi. Terlepas dari upaya tersebut, perempuan dan masyarakat perlu sama-sama siap untuk mewujudkan keadilan yang hakiki dalam pengalaman kehidupan sosial. 

Ngaji KGI Seri - Relasi Gender dalam Bahasa Arab
Sangat menarik. Ibu Nur memulai pembahasan ini dengan menunjukkan Surah Al-Ikhlas dalam versi Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia dan Bahasa Arab. Dalam Bahasa Inggris hanya terlihat penggunaan He untuk merepresentasikan Allah didalam surat ini. Kata ganti He dalam Bahasa Inggris digunakan untuk menunjukkan laki-laki, meskipun tidak bisa pula kita katakan bahwa Allah itu laki-laki. Kemudian dalam Bahasa Indonesia, terjemahan yang ada tidak ada indikasi yang menunjukkan ke perbedaan gender laki-laki ataupun perempuan, yaitu Dia. Menariknya, dalam bahasa arab sendiri, terdapat 12 kata didalamnya yang bisa diidentifikasi untuk menunjukkan gender perempuan ataupun laki-laki. 

(Penjabaran di atas adalah rangkuman dari Sesi 1 dan sedikit dari Seri 2 saja. Sepertinya aku tidak membuat catatan di seri-seri berikutnya. Sayang sekali)

Bahasa Indonesia ramah gender
Setelah mengikuti serangkain seri Ngaji KGI ini, aku merasa beruntung karena udah terlahir di negara Indonesia terutama karena dari segi bahasanya pun gak membedakan antara laki-laki dan perempuan secara ekstrim. Karena iya juga sih, ketika bahasa yang digunakan aja udah mengandung pembedaan-pembedaan terhadap kelompok tertentu, ketidakadilan pasti akan rentan banget terjadi. Contoh, Bahasa Jawa Kromo Inggil itu versi Bahasa Jawa yang dipakai untuk berkomunikasi dengan orang yang lebih tua atau orang yang punya status lebih tinggi dari segi jabatan. Nah, ini nih salah satu hal yang masih melekat kuat di aku dan orang-orang Indonesia, yaitu memberikan penghormatan yang setinggi-tingginya kepada kelompok tua ini dan mungkin banget penyalahgunaan kekuatan dan kekuasaan oleh mereka terjadi. Alhasil, kelompok yang lebih muda dan/atau yang punya posisi jabatan lebih rendah kemungkinan mendapatkan ketidakadilan. 

Keluargaku adil
Selain itu, aku juga merasa beruntung karena sudah terlahir di keluargaku. Bapak dan Mamak selalu memberikan dukungan penuh ke enam anaknya (dua laki-laki dan empat perempuan) untuk terus melanjutkan pendidikan setinggi-tingginya, terutama dukungan buatku. Ada penilaian masyarakat terhadap perempuan yang tidak serta merta ditelan begitu saja oleh Bapak dan Mamak. Contoh yang pertama, masyarakat pada umumnya memandang bahwa perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi karena pada akhirnya mereka akan jadi ibu rumah tangga. Tapi, Bapak dan Mamak yakin bahwa derajat seseorang akan diangkat oleh Tuhan ketika dia beriman dan berilmu, entah itu laki-laki ataupun perempuan. Jadi, Bapak dan Mamak tidak pernah sungkan untuk memberikan izin ke aku untuk kuliah S1 dan S2, bahkan nanti S3. Semua itu untuk kehidupan yang lebih baik di masa depan. Contoh yang kedua, aku sekarang sudah berusia 28 tahun dan belum menikan, bahkan adik perempuanku (26 tahun) sudah menikah dua tahun lalu. Bapak dan Mamak tidak pernah sama sekali bertanya soal kapan aku akan menikah, karena mereka paham dengan baik bahwa pernikahan bukanlah persoalan usia, tapi lebih pada kesiapan dan kemantapan diri. Tapi, hampir semua tetangga selalu menanyakan hal yang sama, "Kapan nikah?". Secara tidak langsung hal ini menunjukkan suatu persetujuan tak tertulis yang ada di masyarakat, yaitu perempuan harus sudah menikah di usia-usia tertentu. 

-----

Setiap kali aku mengikuti pertemuan Ngaji KGI, ada banyak sekali pelajaran dari refleksi diri dan observasi yang aku lakukan pada waktu itu. Sayangnya, aku tidak sempat menuliskannya secara langsung. Jadi, sekarang sudah banyak yang terlupa. Itulah mudahnya hilang ingatan, makanya perlu dituliskan secepat mungkin ketika muncul. Dasar manusia!

Training seharian (Thu, Day 254)

Aku semalem tidur agak awal kayanya. Sebelum jam 12. Udah ngantuk banget. Bangunnya pun sebelum jam 8 udah kebangun. Terus sholat dan mandi....