Hari ini aku mendapat kabar duka dari keluarga di Lampung. Dek Nia, istri dari salah satu adik sepupuku, meninggal dunia. Aku tidak bisa berkata atau berbuat apa-apa selain menarik napas panjang, aku tahan sejenak dan aku hembuskan pelan-pelan. Seketika mataku meneteskan air mata. Tapi apa daya, tidak ada yang bisa aku lakukan selain mengirimkan do'a sebanyak-banyaknya yang aku bisa.
Sebelumnya, aku tidak terbiasa dengan kematian. Ketika satu-persatu tetangga di sekitar ku meninggal dunia, satu hal yang muncul di pikiranku adalah aku takut kalau-kalau roh nya gentayangan dan jadi hantu. Itu saja. Sampai suatu hari ada salah satu anggota keluargaku meninggal.
Pertama, di mulai dari Mbah Kakung dari Bapakku. Tetapi waktu itu aku masih kecil dan rumah Kakekku sangatlah jauh. Makanya waktu itu cuma Bapak saja yang pergi ke sana. Aku waktu itu tidak takut karena lokasinya jauh. Mana bisa hantu atau roh gentayangan dari orang meninggal menempuh jarak jauh? Kan tidak.
Berikutnya, Mbah Uti dari Mamakku meninggal dunia. Aku merasa sedih karena Mbah Uti adalah salah satu orang yang banyak memberikan pelajaran hidup kepadaku, dan aku baru menyadarinya sekarang ketika aku sudah besar. Saat itu perasaanku bercampur, apakah aku harus sedih atau harus takut. Rasa sedih sudah pasti karena aku tidak akan pernah bisa berjumpa dengan Mbah Uti lagi, ya meskipun masih bisa lewat mimpi, tapi tidak di alam nyata. Tapi, apakah aku harus merasa takut? Takut kalau-kalau roh nya gentayangan dan jadi hantu? Tapi kan, itu Mbah Utiku, aku mengenalnya, dan tidak mungkin Mbah Uti akan menakutiku atau membahayakanku.Setiap kali aku pergi ke belakang rumah atau ke kamar mandi atau ke gudang, aku selalu minta ditemani Bapak atau Mamak atau siapapun yang ada di rumah. Waktu itu kami menginap di rumah Mbah sampai kira-kira satu minggu. Dan itu menakutkan.
Setelah beberapa tahun, Mbah Kakung dari Mamakku meninggal. Waktu itu aku tidak ada di rumah. Aku sedang kuliyah di Jakarta. Setelah aku mendengar kabar, aku langsung bersiap menuju pulang ke rumah. Sayangnya Mbah Kakung sudah dimakamkan ketika aku sampai rumah di hari berikutnya. Seperti sebelumnya, ketika Mbah Uti meninggal, keluargaku tinggal di rumah Mbah sampai kira-kira tujuh hari juga karena kami ada tradisi do'a bersama setiap hari selama tujuh hari setelah seseorang meninggal dunia. Tapi, aku tidak bisa tinggal lama-lama waktu itu. Aku harus segera kembali ke Jakarta karena aku harus menyelesaikan tugas program mengajar ke sekolah untuk melengkapi salah satu penilaian kuliyahku. Waktu itu aku merasa sedih, tapi tidak terlalu sedih. Mungkin karena aku tidak terlalu dekat dengan Mbah Kakung. Tapi yang jelas pada saat itu aku sudah mulai tidak takut lagi, karena aku berusaha meyakinkan diriku bahwa Mbah Kakung tidak akan menakuti, melukai atau membahayakanku, seperti halnya Mbah Uti.
Aku baru mulai belajar untuk memahami kematian ketika Bapak meninggal dunia. Bahkan aku masih menetaskan mata sambil mengetik saat ini juga menuliskan tentang kematian Bapak. Aku tidak ada di sisi Bapak ketika Bapak meninggal, tapi aku bersyukur karena aku masih bisa melihat wajah Bapak untuk terakhir kalinya dengan sangat jelas. Oiya, sebelumnya aku tidak berani menengok wajah jenazah Mbah Uti. Aku tidak pernah berani melihat wajah jenazah siapapun sebelumnya. Aku tidak pernah terpikir bahwa akan datang saatnya Bapak akan pergi meninggalkan aku. Tidak pernah sama sekali. Terpikir pun tidak, apalagi membayangkan. Aku menolak kenyataan bahwa Bapak harus pergi meninggalkan dunia ini, tapi apa daya seberapa kuatpun aku menolak tidak akan merubah keadaan. Semoga Bapak tenang dan tersenyum di alam sana. Aku berusaha meruntuhkan egoku dan keinginanku untuk menahan Bapak. Aku harus bisa melepaskannya. Apakah itu mudah? Sama sekali tidak. Butuh waktu yang lama untuk berlatih. Tapi yang jelas, sekarang aku mulai memahami bahwa tugas Bapak sudah selesai di dunia ini dan cukup sekian. Justru kematian itu lah yang sudah membebaskan Bapak dari segala serba-serbi yang ada di dunia ini. Bapak sudah terlepas, lega dan tenang di alam lain sekarang.
Itulah, kematian pasti akan datang. Yang tidak pasti adalah kapan, di mana, dan bagaimana. Mau tidak mau aku harus selalu siap, entah itu dengan kematianku sendiri atau kematian orang-orang yang aku sayangi. Semoga Allah mengampuni kita semua, mengasihani kita semua, memberikan kesejahteraan untuk kita semua, dan memaafkan kita semua. Aammiin.
No comments:
Post a Comment
Thank you for the comment.