Di sekolah sering sekali ada pertanyaan "Apa cita-citamu?" sejak Taman Kanak-kanak (TK), sampai Sekolah Dasar (SD), sampai Sekolah Menengah Pertama (SMP), sampai Sekolah Menengah Atas (SMA), dan bahkan sampai di tingkat universitas. Jujur, dari sejak kecil aku tidak pernah tahu aku ingin jadi apa. Aku selalu merasa bingung untuk menjawab pertanyaan ini. Ujung-ujungnya aku hanya meng-copy apa yang teman-temanku sebutkan di kelas. Ada yang ingin jadi dokter, pilot, guru. Alhasil, cita-citaku berubah-ubah terus. Ya, sederhana saja, karena memang aku tidak tahu ingin jadi apa nantinya. Sempat aku berpikir kenapa aku tidak punya cita-cita, mungkin karena Bapak dan Mamak memang tidak pernah menyebutkan atau mengarahkan profesi-profesi tertentu untuk jadi cita-citaku.
Sampai suatu ketika aku sempat ingin jadi motivator seperti Mario Teguh dan beberpa motivator lainnya yang bisa berbagi pelajaran-pelajaran hidup dan membangkitkan semangat para pendengar untuk menjadi pribadi lebih baik dan terus punya keinginan untuk belajar. Tapi, keinginan itu terhenti ketika ada salah satu teman, aku lupa siapa tepatnya, dia bilang kalau aku perlu punya sederetan prestasi atau kesuksesan terlebih dahulu sebelum menjadi seorang motivator untuk didengar. Kalau aku nya saja tidak berprestasi atau tidak sukses, kenapa orang lain harus mendengar dan mengikutiku? Ya, ada benarnya juga. Saat itu juga aku langsung mencoret kenginginanku untuk jadi motivator. Kenapa? Karena aku tidak ingin jadi orang yang punya ambisi besar untuk mencapai kesuksesan ataupun prestasi yang besar dan sebanyak-banyaknya hanya karena aku ingin jadi motivator yang didengar oleh banyak orang. Aku merasa hal ini kurang tepat. Tidak klik di hati. Sepertinya keinginan untuk jadi motivator ini muncul ketika aku ada di tingkat SMA.
Sampai di tingkat universitas, aku bertemu dengan beberapa dosen perempuan yang menyandang gelar Professor, yaitu Prof. Rosa dan Prof. Paulina. Menurutku, sangatlah keren dan hebat untuk kedua perempuan ini menyandang gelar tersebut. Contoh yang nyata langsung aku temukan di kehidupan ini. Aku ingin jadi seorang Professor juga seperti mereka. Contoh nyata ini membuktikan bahwa seorang perempuan pun bisa menjadi sosok kuat dan mandiri dengan intelektual tinggi. Oiya, terlebih lagi kedua Professor perempuan hebat ini mencerminkan pribadi yang sangatlah bijak dan meneduhkan ketika mengajar dan berinteraksi dengan kami semua mahasiswanya. Selain itu, aku pun pernah suatu ketika secara tidak sengaja mendengar kedua perempuan hebat ini bercakap-cakap dengan Bapak Rektor dan beberapa dosen lainnya. Dan aku langsung jatuh cinta ketika mereka memanggil kedua perempuan hebat ini dengan panggilan 'Prof'. Sangatlah keren. Bukan Mbak, Ibu, Ms., Mrs., atau Mam, tapi Prof. Aku langsung jatuh cinta, dan lagi-lagi aku ingin sebutkan kalai aku ingin jadi seorang Professor. Cita-citaku, ingin jadi professor (Ingat lagu ini?)
Saat ini aku sudah menyelesaikan pendidikan S2, dan pastinya aku perlu melanjutkan studiku ke tingkat S3 kalau aku memang benar-benar ingin meraih mimpiku untuk menjadi seorang Professor. Jujur, aku tidak tahu bagaimana caranya ataupun syarat-syarat nya apa saja. Beberapa waktu yang lalu aku sempat menerjemahkan satu artikel penelitian tentang evaluasi beberapa profesor di kampus UIN Jakarta, dan seingatku persyaratan mendasarnya adalah menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pelaksanaan pendidikan, penelitian dan pengabdian. Apakah aku serius dengan cita-citaku ini? Iya, pastinya aku serius, tapi tidak serius-serius banget. Biasa saja sambil melakukan apa yang bisa dilakukan. Tulisan ini adalah pengingatku kalau masih ada hal yang ingin aku capai supaya aku terus bergerak maju untuk belajar dan meningkatkan kemampuan diriku. Apalah arti hidup ini kalau sudah tidak ada lagi harapan dan semangat untuk terus belajar dan belajar.
No comments:
Post a Comment
Thank you for the comment.