Tuesday, August 30, 2016

Mental Orang Indonesia di Mata Para Polisi

Before
Beberapa waktu yang lalu, terjadi lagi aku kena tilang di daerah sekitar Monas, Jakarta. Aku membonceng satu teman dan ada satu temanku lagi berinisial B membonceng satu temanku yang lain lagi. Jadi, kami berempat dengan dua sepeda motor bermaksud mengajak dua teman yang aku dan B bonceng berkunjung ke beberapa tempat di Jakarta, satu diantaranya adalah Monas.
Pada saat itu kami bingung mencari tempat parkir motor di sekitar Monas. Karena kami dalam situasi cukup bingung dan tak tentu arah, secara tidak sadar kami menuju ke lokasi parkir melalu jalan khusus roda empat. Aku tidak memperhatikan simbol lalu lintas yang ada di pintu masuk menuju jalur itu. Lagipula, aku melihat ada beberapa sepeda motor yang melaju di jalan itu, jadi aku pikir aman. Akhirnya polisi menghentikan laju kami di tengah perjalanan. Polisi mengajak kami menuju pos polisi. Aku sempat bertanya kenapa ada motor-motor lain yang melewati jalur itu. Jawabannya "Udah, sini dulu". Pak Polisi tidak menghiraukan pertanyaanku dan hal ini cukup menyebalkan.
In
Kurang lebih sama dengan cerita tilang di ceritaku sebelumnya. Si Pak Polisi memeriksa SIM dan STNK, mengeluarkan surat tilang, menunjukkan angka denda yang akan dikenakan di pengadilan (Rp. 250.000), memberikan informasi mengenai pengadilan (dimana dan kapan) dan menawarkan untuk menebusnya pada saat itu juga dengan menawarkan nilai 'denda' yang lebih kecil (Rp. 100.000) dan katanya nanti akan dibantu disetorkan ke pusat. Oiya, dalam menawarkan nilai denda, lagi-lagi polisi tidak melafalkannya, tapi hanya menunjukkan nilai yang ada di atas kertas surat tilang.
Proses ini cukup menarik karena beberapa hal aku pelajari. Ketika memberikan informasi tentang waktu pelaksanaan pengadilan, si polisi menanyakan apakah kami bisa datang pada saat ini dan membuat kami berpikir tentang 'kebisaan' kami untuk hadir. Temanku langsung berpikir dan memutuskan tidak bisa hadir karena harus berada di tempat kerja pada waktu tersebut. Dia memilih untuk menebusnya pada saat itu juga dengan membayar 'denda' (alias tebusan) senilai Rp. 100.000. Temanku dan seorang Polisi menyingkir dariku dan kedua temanku lainnya. Datanglah Polisinya yang lain mengambil alih urusan tilangku.
Ketika temanku sudah mengambil keputusan tersebut, aku masih berpikir. Disaat aku berpikir lebih lama dengan menampakkan wajah penuh bersalah, takut dan sedih (hehe), Pak Polisi bertanya "Jadi gimana ni? Mau ke pengadilan atau diambil sekarang biar cepet?. Aku pun memutuskan untuk menghubungi orang tuaku dan meminta pendapat mereka. Di telepon, Bapak mengatakan "Ya kalau memang kamu mau cepet, ya ditebus disitu. Tapi kalau kamu mau belajar gimana proses di pengadilan, ya ke pengadilan aja. Lagipula denda di pengadilan gak sebesar itu". Akupun menutup telepon dan menyampaikan ke si Polisi bahwa menurut Bapakku aku lebih baik hadir di pengadilan.
Sebelumnya aku tidak terbayang bagaimana respon si Polisi selanjutnya. Ternyata setelah aku menyampaikan keputusanku, si Polisi bertanya "Emang apa sih kerjaan bapaknya?". Aku jawab "Petani di kampun, Pak", sempat terpikir untuk bilang bahwa Bapakku seorang Polisi sih, tapi takut bohong (hehe). Polisi "Ya kan gak semuanya harus menurut orangtua kalau memang mau cepet". Aku jawab dengan nada dan ekspresi wajah polos "Ya tapi kata Bapak saya begitu, Pak". Mengejutkannya si Polisi terus berusaha membuatku untuk merubah keputusanku itu. Polisi "Yaudah, sekarang kamu bisa kasih berapa biar kita bantu? Itu kan temennya segitu, kamu bisanya berapa?", Aku "Pengadilan aja, Pak". Dua teman di sebelahku sepertinya merasa bersalah dan berbisik untuk membayarnya dengan memberikan Rp. 50.000. Tapi aku tetap kekeh dengan ketupusanku, karena memang aku ingin belajar dari pengalaman di pengadilan nanti. Ya, akupun tahu kalau si Polisi itu pun pasti akan menerima ketika aku kasih Rp. 25.000 sekalipun.
*Di jalan setelah tilang si B bilang "Tadi itu si Polisi sempet ngomong Fit waktu kamu telpon Bapakmu, Itu temennya ngapain lagi pake ribet telpon orang tua segala."
After
Datanglah hari persidangan dan aku hadir. Karena waktu pelaksanaan persidangan pukul 9 pagi- 5 sore, aku hadir setelah jam makan siang. Proses persidangan ternyata sudah selesai, dan sekarang proses pembayaran denda. Aku menuju antrian penyetoran surat tilang, mengambil nomor antrian, mnunggu sampai nomor antrian dipanggil, membayar denda dan selesai. Tidak serumit dan sesulit yang dikatakan Polisi. Dan tidak semahal yang dikatakan Polisi. Aku dikenakan denda Rp. 100.000. Ya meskipun apakah benar nilai dendanya sebesar itu, karena surat bukti pembayarannya tidak ditunjukkan oleh petugas. Allahu A'lam.
Kesimpulan
Dari peristiwa di atas, menunjukkan bahwa Polisi memperlakukan para pelanggar lalu lintas (khususnya orang Indonesia) dengan mendudukkan mereka pada beberapa sifat berikut ini:
1. Mental cepat dan mudah. Orang Indonesia lebih memilih untuk melakukan pekerjaan ataupun hal lain daripada dating di persidangan dan mengikuti prosedur hukum yang berlaku. Polisi selalu menonjolkan jauhnya lokasi persidangan dan waktu di hari kerja (aku aja kemarin minta izin dari kantor dan Alhamdulillah diberikan izin)
2. Mental penakut. Orang Indonesia kurang memiliki keberanian untuk melakukan hal yang belum pernah dilakukan, apalagi untuk menghadiri pengadilan yang terdengar menyeramkan dan dengan nilai denda yang ditunjukkan Polisi.
Sepertinya cukup sekian, mungkin ada beberapa hal yang tertinggal, tapi semoga ada beberapa hal yang bisa kita semua pelajari dari pengalaman tersebut.
*Oiya, kata Bapakku setelah Bapak mendengar cerita proses tilangku, "Sebenarnya Polisis itu udah ketakutan Nduk waktu kamu bilang lebih memilih buat ke pengadilan. Makanya Polisi terus nyecer kamu buat bayar berapapun sebisa mu (meskipun dengan jumlah kecil".


Cuplikan Kisah Kitab Epos Ramayana

Kemarin aku coba berkunjung ke Perpustakaan Daerah Jakarta Selatan, tepatnya di belakang gedung Sekolah Labschool. Semula aku ingin membaca beberapa buku pendidikan. Setelah membaca satu buku tentang Behavior Recovery, aku tertarik membaca kisah Ramayana. Secara acak aku buka lembaran buku ini dan terhentilah aku di bagian ketika Rama akan meninggalkan Ayodya untuk memenuhi Sumpah ayahnya, Raja Dasarata. Aku sama sekali tidak paham dengan latar belakang kisah ini sebelumnya. Akan tetapi kisah tersebut bisa membuatku meneteskan air mata di tengah-tengah ruang perpustakaan. Mungkin karena aku terlalu larut dalam cerita tersebut.
Dalam tulisan ini aku ingin merefleksikan gejolak perasaan yang aku alami ketika menjajaki kata per kata dan kalimat demi kalimat kisah tersebut.
Rama
Betapa berbesar hatinya Rama yang harus pergi ke hutan dan menghabiskan usianya selama 14 tahun disana. Padahal dia sama sekali tidak memiliki campur tangan apapun dengan apa yang dilakukan ayahnya, Raja Dasarata. Dia sama sekali tidak peduli apa yang nanti akan dihadapinya selama hidup di hutan. Padahal dia adalah calon Raja selanjutnya. Rama sangat patuh kepada kedua orangtuanya. Rama benar-benar menjunjung tinggi kedua orangtuanya. Tutur katanya yang penuh cinta kasih dan kelembutan menhiasi kepergiannya meskipun itu malah menambah kesedihan kedua orang tuanya. Kepatuhan Rama kepada kedua orangtunya menyentuh hatiku. Aku sama sekali tidak memiliki bukti apapun yang menunjukkan akan baktiku kepada Bapak dan Ibu. Rama mengingatkanku untuk menempatkan orangtua di singgasana yang sangat tinggi.
Selain sebagai seorang anak, Rama ialah suami Sinta. Dia mengalami dilema perasaan yang sangat. Pada satu sisi dia ingin memenuhi sumpah yang telah dilontarkan oleh ayahnya, akan tetapi berat rasanya untuk meninggalkan istrinya tercinta. Hatinya gelisah dan bergejolak.Sampai akhirnya dia mengungkapkan niat kepergiannya kepada Sinta. Sinta pun memutuskan untuk ikut bersama Rama ke hutan.
Raja Dasarata dan Ratu Kaylela (Ayah dan Ibu Rama)
Keduanya sangat mencintai Rama. Bahkan Raja Dasarata menyesali karena telah melibatkan Rama kedalam sumpahnya. Sama sekali tak terbayangkan olehnya bagaimana Rama dapat menjalani kehidupan di dalam hutan selama empat belas tahun. Mereka merasakan duka yang sangat dalam ketika harus menyaksikan putranya semakin jauh meninggalkan Kerajaan Ayodya.

*Baru saja menemukan ini di draft dan sepertinya apa yang ada dipikiranku pada saat itu sudah tidak ada lagi sekarang, jadi saying sekali tidak bias aku teruskan

Catatan Pertama di Kelas

Tulisan berikut ini berdasarkan catatan ringkasku di kelas. Seperti biasanya, sesi pertama tahun ajaran baru pasti diawali dengan sesi perkenalan kan. Mungkin catatan ini tidak terasa begitu special sekarang, tapi aku yakin suatu saat nanti catatan ini akan membantuku untuk mengingat lagi memori pada saat pertemuan pertama di kelas ini. Oiya, ini adalah tentang anak-anakku di kelas 10 SMA.

Amar suka sekali dengan warna biru dan dia menjelaskan sebisa mungkin dan dengan penjelasan yang cukup lebar bahwa dia memiliki attention deficit. Semoga aku selalu ingat hal ini dan membantu dia untuk tetap mengikuti pelajaran dengan baik.

Iraf suka music dan dia sempat mengatakan bahwa dia tidak memiliki ketertarikan pada agama. Terlebih lagi, dia tidak mempercayai konsep agama. Hmmm, untuk saat ini dia memang pada keadaan ini, tapi aku yakin akan datang saatnya Irfa memahami dengan baik sebagai seorang Muslim dan memiliki keyakinan yang kuat.

Ruben senang dengan olahraga dan yang menarik adalah dia sama sekali tidak pernah merasakan mi instan. Jarang sekali orang seperti ini.

*Alhasil, kertas catatannya hilang entah terselip dimana, jadi tulisan ini cukup sekian. Kalau nanti kertasnya sudah ketemu, maka bias dilanjutkan lagi


ATLAS.ti keren! (Day 129)

Aku ke kampus agak siangan buat ikutan sesi training cara pakai ATLAS.ti buat analisa data, terutama analisa qualitative. Keren banget sih t...