Monday, November 27, 2017

Thor: Ragnarok (A Reflection)

Last week I saw Thor alone at cinema. It was completely funny, starting from the first to the last part of the movie. The cinema was full of laughter; only a few people there though. I loved it. Before watching, I heard a friend of mine said that the movie was full of comedy with a few actions. Well, indeed. Anyway, during watching the movie, this movie reminded me of my father, the one who has passed away leaving me and family just like how Odin left in the movie.

A father is always an important person for his children
Remember when Thor and Loki were trying to find where their father was? They both wanted to bring him back home to Asgard. That is how a father is for their children. No matter how the children have grown up, they do still need a father in their life. Just like me. What for? of course for many things, to be a friend for discussion, to consult with, to get some advices, to hear stories, to be a mood booster, to repair anything broken, to make things, to get some strength and many others. Too many roles that a father does to mention. This is why Thor always got more energy and power to get up, seeing the figure of his father within himself, every time he was down And you see, even though Thor and Loki got their own strength and power, they still needed their father's companion; to be with them at home.

A father isn't immortal, sooner or later he is gone
I still can imagine when Odin was gone. He disappeared into dust (not sure if it was dust or ash). Thor and Loki were terribly sad. They both wanted him to stay. It was how I felt knowing my father was gone. It was even worst because I couldn't see him in his last minutes and seconds. It was just too hard to let him go. Once I was home, many people there around my father's dead body. I really wanted him to get back to life. I wanted him to stay and live forever with me. I did want him to be  alive forever with me. It is how it is, isn't it? we always want our parents to live forever and ever, and never think about every single moment without their presence,  not until the death is coming to take them away. On the day my father was gone, people told me to sincerely let him go but who cares? They didn't know how I felt. I didn't listen to them at all. I didn't care. I didn't want him to go. Well however, as time goes by I have been trying to understand that his time is over, his job is done, it is time for him to take a rest. A lot of beautiful stories about his death has made me happy for him. Also, he always visits me in my dream though. I will see you again, Bapak.

A father is leaving at the right time
In one part of the movie, Thor was feeling powerless, moreover after his dad had left, to defeat the enemy. It was like he could not do anything without his dad, Odin the protector of Nine Realms, especialy with the threat of his big sister,  Hela. He got even more powerless once his hammer was destroyed into pieces by his sister. He thought he couldn't do anything without his hammer. At this moment, Thor was upset with all of his weaknesses and powerlessness to defeat Hela whose such a super power. In this difficult situation, Odin ensured Thor that he was stronger; even though he thought that Hela was impossible to be defeated by him. Odin even had no doubt that Thor could beat her. And this is what happens to me, maybe to you too. This life is getting rough and tough, but a father cannot stand by my side to pass this through all the time. I am now feeling that I have lost a half of me since my father was gone. Too many 'what if...?' coming through my mind for many times. However, I am trying to assure myself that  I can do it without my father's presence. He has successfully prepared the best of me to face the future without him. He might be physically not here, but he is.

A father knows his children so well
My father knows me very well, just like how Odin knows Thor. I still remember when Thor was telling his father about his weaknesses without his hammer, Odin said that he was not a god of hammer but the god of thunder whose the power within his own. It was when Thor was feeling down with himself and his dad who told him that he was stronger. There are things that my father even has already known before I told him. For example, when I am feeling jealous with most of my friends who one by one has got married. He calms me down even before I told him about it. It is him who makes me strong like this. He knew my potentials and made some important decisions such as what school I should take in the past. I always listened to him, followed what he wanted from me and did my best on it. He put me into a lot of challenges and difficult situations. But here I am, Siti Fitriah, a person that you all know.

Anyway, are all fathers like all of those mentioned above? Definitely not. I would be too naïve to generalize all of those characteristics of a father above to all fathers on Earth. But yes, I have one like this.



Sunday, October 29, 2017

Si Abu-abu (The Grey)

Once more into the fray...
Into the last good fight I'll ever know.
Live and die on this day...
Live and die on this day...

Rangkaian kata diatas beberapa kali terulang selama film The Grey. The Grey ini film yang tayang 2011 lalu, tapi aku baru bisa berkesempatan nonton kira-kira dua minggu yang lalu. Setelah menikmati ketegangan-ketegangan di film ini, aku berniat untuk menuliskan sesuatu setelahnya. Sayangnya, saat itu baru judul saja yang bisa kutuliskan di blog ini dan kutipan puisi diatas yang aku catat di HP. Karena tulisan ini merupakan sebuah refleksi, jadi aku langsung menuliskan refleksi pribadiku saja tanpa mencantumkan ringkasan ceritanya. Lagipula, lebih baik nonton langsung daripada baca ringkasanku yang jauh dari cukup untuk menggambarkan ceritanya.

Bertahan atau bergerak
Ketika seseorang dihadapkan dengan sebuah situasi, terutama situasi buruk, ada dua pilihan disana. Bertahan atau bergerak. Manakah yang lebih baik? Manakah yang akan membuat situasi lebih baik? Tidak ada tahu. Tidak ada seorang pun yang tahu. Keduanya berpotensi untuk mendatangkan akibat lebih buruk atau lebih baik. Tetapi Ottway memilih untuk bergerak melakukan sesuatu dengan mengamati dan menganalisa keadaan sekitar. Pastinya dengan harapan bahwa keputusan yang diambil akan bisa menyelamatkan dia dan teman-temannya untuk tetap bertahan hidup dan dapat kembali ke rumah masing-masing. Keputusan demi keputusan diambil dengan mengantisipasi keadaan terburuk yang mungkin akan terjadi jika bertahan dan memanfaatkan segala peralatan dan sumber daya yang ada. Dan pada saat yang sama, mereka menumbuhkan harapan dan berusaha meyakini bahwa apa yang mereka lakukan akan berbuah keadaan yang lebih baik. Sayangnya keadaan berkata lain, satu persatu kawan-kawannya tetap saja terenggut nyawanya. Yang mengecewakan lagi adalah, Ottway bukan melangkah menjauhi sarang serigala seperti yang diharapkan tetapi malah justru menuju tepat ke lokasi sarang tersebut. Apalah daya, nyawanya pun terancam (meskipun di akhir film tidak terlihat jelas apakah dia akan selamat atau tidak menghadapi ketua kelompok serigala yang ganas).

Akupun kemudian terpikir,
Andai saja mereka tetap di lokasi awal (ketika kecelakaan pesawat terjadi)?
Andai saja mereka melangkah menuju arah sebaliknya?
Apakah semuanya akan lebih baik?
Apakah mereka semua bias selamat?
Belum tentu. Bisa jadi hasilnya pun akan sama. Disinilah yang aku lihat secara pribadi bahwa hidup ini bukan persoalan hasil akhirnya, tetapi bagaimana perjalanan menuju proses itulah yang jauh lebih bermakna dan berharga. Jikalau toh Ottway dan teman-temannya ditakdirkan untuk selamat, maka cerita menghadapi berbagai tantangan demi tantangan ataupun upaya bertahannya pasti akan  menjadi sebuah kisah yang menakjubkan bagi para pendengarnya. Tetapi lagi-lagi, tidak ada yang bisa tahu apakah perjalanan perjuangan mereka akan sampai pada tahap itu. Selain itu, sekeras apapun mereka untuk bertahan hidup atau sebesar apapun keputusasaan mereka dalam menghadapi kematian tidak akan ada yang tahu jikalau memang pada akhirnya mereka semua mati.

Ya begitulah hidup, pilihan. Selama masih hidup, selama itu juga kita memilih. Untuk bertahan atau bergerak. Untuk berjuang atau berputusasa. Meskipun hal ini tidaklah mudah bagi semua orang. Tetapi, menorehkankisah untuk diri sendiri akan jadi penghibur diri ketika entah berhasil mencapai yang diinginkan ataupun mungkin gagal. Semua proses yang telah dilalui akan menjadi serangkaian peristiwa indah untuk dikenang. Karena pada dasarnya, begitulah kehidupan, tidak ada yang pernah tahu apa yang akan terjadi dimasa mendatang. Oleh karena itu, aku belajar untuk tidak menganggap bahwa hidup terlalu serius dan merasa bahwa kehidupan saat ini, di hari ini adalah segalanya. Masih ada hari esok. Apa yang dibenci sekarang bisa jadi dicintai nantinya. Apa yang dipuja sekarang bisa jadi dicaci-maki kemudian. Jadi santae wae lah.

Selalu ada dia (cinta)
Selama perjalanan, Ottway selalu teringat dan terbayang-bayang istrinya. Dari film itu aku kurang paham apakah istrinya masih hidup dan menantinya di rumah, atau sudah mati sebelumnya. Hal yang selalu tercucap dari istrinya adalah "Don't be afraid". setiap kali Ottway berusaha mencari jalan keluar dari berbagai kesuiltan yang ada, bayangan yang muncul  adalah istrinya. Buatku, bagian film ini cukup menarik ketika para laki-laki yang terjebak bergantian bercerita tentang keluarganya dan orang-orang yang dicintainya. Masing-masing punya sebuah cinta penggugah semangat dan kekuatan untuk bertahan hidup. Menjadi alasan buat mereka untuk tetap hidup. Menyedihkan ketika salah satu penumpang menghadapi sakaratul maut dengan penuh kesakitan dan pendarahan. Semua orang disana meminta Ottway untuk melakukan sesuatu, tetapi Ottway tahu bahwa dia sudah tidak bisa tertolong lagi. Ottway pun berusaha untuk menenangkan temannya dan memberitahunya bahwa waktunya sudah dekat. Dia pun mengatakan kepada temannya untuk menyapa kematiannya dengan menganggapnya sebagai orang yang paling dicintainya yang datang memberikan pelukan. Maka sambutlah pelukan hangat itu. Rasa cinta ini biasanya merujuk kepada kekasih. Tetapi bisa juga yang lainnya seperti orang-tua, anak, ataupun saudara. bagi siapapun yang tidak punya siapapun untuk dicintai, jangan lupa, masih ada Allah, meskipun aku sendiri pun masih sangat sulit untuk yang satu ini. Aku setuju sekali dengan bagaimana Ottway mengibaratkan kematian. Aku merefleksikan bagian ini dengan bagaimana seorang Muslim seharusnya menghadapi sebuah kematian. Kematian pun akan lebih mudah dan menenangkan ketika Allah lah yang menjadi satu-satunya cinta dan kerinduan. Jadilah kematian itu sebuah sambutan yang akan mengantarkan seseorang kepada cinta yang sebenarnya, Allah.

Kedua pelajaran diatas tidak hanya ada di The Grey, tetapi juga di berbagai film lainnya. Apalah arti menonton film kalau tidak ada pelajaran yang bisa diambil. Dan inilah The Grey, si abu-abu.



Tuesday, September 12, 2017

If I'm a parent, I will.....

Last Sunday I had a session with my two private students, they are a big bother (Grade 5) and a little sister (Grade 2). It was the second session and I found some interesting things here.
  • The girl had Rp 100.000 on her hand (one piece of money) rolled into a small roll. She told me that she got that money from her friend at school. Once I asked her why her friend gave the money to her, she said she didn't know. Her friend just gave it. Quietly she told me that none of her mom, dad or nanny knew about it. Only her big brother knew it. She kept holding the money while sometimes she put it in the pocket of a doll. I asked her "What are you gonna do with it?" "Just to have it" she said.
  • While we were studying, the big brother was standing on his knees while putting his arms on a folding table. Suddenly the table fell down and one of the tables' leg was broken. He looked panicking right after that happened then he said "Okay, let's pretend that there is nothing happens." He tried to fold the table and put that away from us. He was trying to keep it as a secret.
  • It was quite surprising for me when the kids, especially the big brother, talked about sexual stuff. I didn't really pay attention to what both were talking about but I got the part when the brother was telling about "Milk comes out of the body" and the sister tried to explain to me that her big brother was talking about the milk coming out of breast. Shockingly the boy tried making clear about what he had said before that it was not the one coming out of the breast but he referred his hands to his private part. I grab his attention to the lesson as soon as he was saying that.
From what happened above, I started thinking about myself what kind of parent I would be. I'm sure that those kids were behaving that way as how their parents had been educating and building the relationship with them. So, these are what I'm going to do if I'm a parent one day:
  • Asking my kids about how their school life including friends, teachers,  subjects and anything since I am not there and I can't always keep my eyes on them every time. Not just asking then ends, but following with expressive responds and digging more particular things that I might find interesting or important. Well, I am sure there would be many things to be discussed and to let my kids learn from their experience to be a better person. 
  • Not showing anger as the first respond once my kid is making a mistake or doing something not the way it is. Being angry as the first respond would likely cause my kids to be afraid of telling me anytime they are making mistakes. They don't want me to get angry, so better they keep it for themselves. And I don't want that happens. Also, it is possible for my kids to hide anything that they might consider to be something wrong and also they would be reluctant to try something new because they are afraid of failure afterwards.
  • Paying more attention to the use of internet by my kids. While playing with any gadget supported by an internet connection, the kids might access anything inappropriate for their age there with or without intention. Of course it's not going to be easy but I'll try y best to always have a talk with my kids about what to see and not to see and why. Blocking some websites and contents may also be helpful in this case.
Well, being a parent is a long-life learning journey. If I can start by now, why not?

Saturday, September 9, 2017

Judging Someone is Judging You

Akhirnya, aku memutuskan untuk tidak terlibat lagi dalam program ini. Apakah ini berarti aku terlalu angkuh? Atau mungkin aku pecundang? Bisa jadi. Tapi, apapun penilaian pihak-pihak yang tahu akan hal ini, dalam hal ini aku bisa memilih dan inilah pilihanku.
-----
Hari ini adalah hari kedua aku menjadi pengajar sukarela (volunteer) di sebuah Sekolah Dasar Islam (SDI) daerah Tangerang Selatan. Aku diberikan amanah untuk mengajar dua kelas dalam sehari. Alhamdulillah, hari pertama yang lalu berjalan dengan lancar. Aku sangat berterimakasih kepada seorang temanku yang sudah berbagi informasi kesempatan untuk mengajar di sini. Menjadi bagian dari sebuah kegiatan sosial seperti ini merupakan sebuah langkah giving back to community yang selalu diajarkan dan ditanamkan kampus almamaterku.

Di kedua kalinya inilah aku bertemu dengan ketua koordinator program yang biasa disapa dengan Ms. X (nama samara) untuk pertama kali. Semuanya berjalan ala kadarnya dan sewajarnya pertemuan pertama,. Kami saling memberikan salam. Setelah Ms.. X menutup pintu mobilnya, aku menyebutkan namaku sambil mengulurkan tangan menjabat tangan Ms. X. Kami (aku, temanku dan Ms. X) pun mulai sibuk memeriksa kesiapan masing-masing kelas yang akan diajar.

Sampai ada saatnya aku terkejut dengan respon si Ms. X.

Ms. X: Fitri, Ms. Z is absent today. Could you please cover her class for today?
Me: Yes, sure. As long as I'm told what the class is and any topics I have to cover, so no problem.
Ms. X: Fitri, please don't  take it seriously. It is not something serious. So, don't be too serious. Relax. We are here as volunteers. Teaching here is not like you teach at where you are teaching. And I don't like it when you say "as long as I'm told", please don't say that to me.
Me: Oh, alright. I'm sorry. I apologize for what I have just said.

What the hell is she talking about??!! Aku kaget, bingung, dan merasa serba salah.

Peristiwa yang cukup singkat tapi tajam ini membuatku berpikir kembali, lagi dan lagi. Aku sama sekali tidak bisa mengerti apa yang dipikirkan oleh si Ms. X ini. Responnya sama sekali jauh di luar bayanganku. Bahkan sepertinya keluar konteks pembicaraan. Disinilah aku menemukan adanya jurang pemisah antara aku dan Ms. X. Kok bisa? Ya aku juga tidak tahu. Berasa aja gitu.

*Mungkin kutipan di atas tidak 100% seperti apa yang terucap, tapi kurang lebih begitulah isinya.

-----

Ketika anak-anak sudah berdatangan dan menuju kelas masing-masing, maka dimulailah sesi belajar. Pertama aku mengajar di kelas intermediate anak-anak kelas 6. Kelas berikutnya adalah pre-basic anak-anak kelas 1. Sebisa mungkin aku mengemas materi pelajaran sedemikian rupa, lebih tepatnya santai dan menyenangkan, seperti yang selalu Ms. X bilang. Di kelas intermediate aku membuat dua pos: pos 1 "I like..." dan pos 2 "I don't like...". Di papan tulis, aku tuliskan beberapa nama buah-buahan dan menanyakan satu-per-satu "Do you like....?", maka si anak harus lari ke pos jawabannya masing-masing. Di kelas kedua, anak-anak mempraktikkan perkenalan "What is your name?" dan "My name is....". Untuk mendapatkan giliran, aku memberikan arahan kepada anak-anak untuk berbaris dalam satu barisan dengan dua orang di bagian depan saling berpegangan tangan dan diangkat keatas untuk dilewati barisan itu (permainan ini biasa dikenal dengan nama Ular Naga; kata anak-anak). Sambil bernyanyi Eeny Meeny Miny Moe, barisan melewati kedua anak yang berpegangan tangan dan ketika nyanyian berhenti maka satu anak dari barisan tertangkap. Di saat itulah si kedua anak menanyakan "What is your name?" dan yang tertangkap menjawab "My name is ...".

Selama di dalam kelas, aku mendapati Ms. X beberapa kali memasuki kelasku dan menyaksikan bagaimana proses belajarnya. Terutama di kelas kedua, Ms. X bahkan sempat berinteraksi juga dengan anak-anak di kelasku itu.

-----

Ms. X: Fitri, can I talk to you for a minute before you leave?
Me: Yes, sure.

Disinilah inti dari tulisan ini, yaitu sederetan nasihat yang diberikan oleh Ms. X. Aku akan coba untuk mengelompokkannya dan mengurutkannya.
  • Saya kaget pertama kali melihat kamu memasukkan tangan di saku blazer kamu. Mungkin kamu tidak bermaksud, tetapi itu menunjukkan bahwa kamu ingin memberi tahu semua orang bahwa kamu lebih daripada yang lain. It shows that you are arrogant. Hey people, I am better than you so stay away from.Body language yang seperti ini menciptakan jarak. Selain itu juga ketika kamu tadi berbicara dengan saya didepan pintu dengan posisi berdiri seperti ini dan kaki seperti ini (Ms. X mempraktikkannya dengan berdiri sedikit bersandar ke tembok dan menekuk santai salah satu kaki, entah yang kanan atau kiri, aku lupa; dan ya memang aku begitu), itu pun menunjukkan bahwa kamu itu lebih hebat dari yang lain. First impression itu kan penting yah. Dan itulah kesan pertama saya ketika bertemu kamu. Mungkin kamu tidak bermaksud tapi begitulah orang lain menilai.
  • I'm teaching ethical business, jadi saya tahu bagaimana cara bersikap dan berperilaku dengan etika yang baik, bagaimana menarik simpati dan perhatian orang lain kepada kita. Karena sebelum membuat orang lain tertarik kepada produk kita, kita harus membuat orang tertarik dulu dengan diri kita dengan nyaman berbicara sehingga orang itu pun penasaran dan ingin tahu tentang produk yang ditawarkan.
  • Saya tahu kamu dari A (nama temanku), jadi saya mebayangkan kamu itu punya sikap dan perilaku seperti dia yang begitu lembut dan baiknya. Kan kita kalau mau menilai seseorang bias dengan melihat temannya, lingkungannya. Makanya saya terkejut ketika bertemu kamu pertama kalinya dengan perilaku yang jauh berbeda dengan yang saya bayangkan.
During her speech, what I said was sorry and thank you. That's all. But of course I showed also appreciation for how much attention she has paid to me during that day.

Anyway, selain hal diatas itu, Ms. X juga panjang lebar menceritakan siapakah dirinya,  perjalanan karirnya, dan juga perjuangannya melaksanakan program ini. Dan, Ms. X juga mengungkapkan bagaimana orang-orang di sekitarnya (her workplace) menunjukkan respect and honour to her behaviour and attitude. Well, I'm not a kind of person who'd value myself as much how people value me. Oya, selama percakapan ini juga Ms. X berulang kali meminta maaf jika apa yang dia katakana kurang berkenan di hatiku.

And, setelah mencermati kembali setiap nasehat yang diberikan, aku jadi terpikir.
  • Kesan pertama bisa jadi penting, tapi kesan pertama bukanlah segalanya. Apalagi kalau kesan pertama ini disimpulkan dari bagaimana Bahasa tubuh seseorang. Bukankah ada banyak faktor yang mempengaruhi seseorang dalam berbuat sesuatu, entah itu secara internal ataupun eksternal. Jangankan pengamatan sehari, hidup bersama teman berminggu-minggu, berbulan-bulan dan bahkan bertahun-tahun pun masih bisa jadi salah dalam memahami sikap seseorang. Lagipula aku meyakini bahwa kita tidak bisa membuat semua orang senang dan bahagia dengan keberadaan dan apa adanya kita, dan aku pun tidak mau memaksakannya. Yang bisa aku lakukan adalah memahami bagaimana diriku dan bagaimana orang lain itu, sehingga dengan segala perbedaan dan persamaan, kami bisa saling mengerti dan memahami untuk mencapai tujuan bersama. Dan menurutku, dengan Ms. X bersikap seperti ini menunjukkan bahwa dia ingin semua orang mempunyai tata karma atau tindak tanduk yang sama seperti apa yang dia yakini. Padahal, beda tempat, beda waktu, beda orang, tindak tanduk itu bisa diartikan dan diterima dengan berbeda-beda.
  • Setiap orang mempunyai gaya dan selera masing-masing dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Sebagai seorang guru, akupun punya gaya dan seleraku tersendiri yang bisa jadi berbeda dengan guru lain. Yang jelas, guru tidaklah dan bukanlah pegawai sales marketing yang berusaha mendekati customer supaya tertarik dengan produk yang ditawarkan. Secara pribadi aku menilai bahwa mereka itu bersikap so sweet ya karena memang seperti itu mereka seharusnya sambil menerapkan strategi-strategi pemasarannya dalam menarik minat pembeli. Lagipula, ini kan menarik simpati dan ketertarikan sesaat. Lain lagi sebagai seorang guru, butuh waktu yang lama sekali untuk bias menjalin hubungan dengan para murid. Nah sebagai manusia biasa, memang kenapa aku harus bersikap dan berperilaku supaya semua orang yang aku temui tertarik? Terus, kalau mereka tidak tertarik, kenapa? Haruskah aku ajak mereka berbicara empat mata supaya mereka tertarik? Hidupku sudah terlalu sibuk dan aku tidak mau lebih menyibukkan diri dengan salah satu tujuan hidup "disukai semua orang". If you like it, lets' rock and if you don't like it, just leave it. Simple.
  • Ms. X membandingkan aku dengan temanku. Aku sempat meng-iya-kan pernyataan nya bahwa kita bisa menilai  seseorang dari siapakah teman-temannya atapun dimanakah lingkungannya. Dan dalam hal ini, lingkunganku bersama temanku itu hanyalah satu diantara banyak lingkungan lainnya dimana aku berada, tumbuh, belajar dan berkembang. Duh, bukannya masih ada banyak faktor lainnya juga yah yang mempengaruhi kepribadian seseorang? (lagi-lagi secara internal maupun eksternal).
-----
Apalah artinya sebuah pengalaman tanpa adanya refleksi diri untuk perbaikan di masa mendatang. Beberapa hal yang aku pelajari adalah:
  • Sebaik dan semulia apapun motivasinya, jangan pernah serta merta memberikan komentar mengenai bagaimana seseorang bersikap atau berperilaku, apalagi pada pertemuan pertama. Bisa jadi, bahkan kemungkinan besar penilaian itu kurang tepat sehingga bisa menyinggung perasaan si penerima.
  • Ketika ada seseorang atau kelompok yang tidak sejalan atau ada ketidaksesuaian dan masih ada kesempatan untuk memilih (apakah bertahan atau pergi), pergilah, karena masih ada banyak orang dan tepat di luar sana yang menerima dengan senyum lebar dan pelukan hangat.
*Setiap manusia tidaklah terlepas dari kesalahan, begitupun aku.




Monday, August 14, 2017

Literally Blind-dating

"Are you free today."
"So far yes. What's up?"
"Wanna join in? A blind-date."
"Seriously? Nice. I might gonna find my best match there."
----------
I left my room five minutes before the event started since the venue is not far from my place. I dressed up as beautifully as I could hoping I would find someone in the crowd (it reminds me of the La La Land sountrack). Then, there I was, in a café with some people sitting having nice conversations. And me, I was such a dumb had no idea what to do. I saw my friend was sitting on one of the chairs but I was thinking that it would be inappropriate to bother her conversation, so I tried finding an empty chair for seat.

On my steps to a chair, a girl with short hair (as short as man hair-cut) greeted me and followed by an old man offering his hand. The girl said "He wanna shake your hand). Since I saw him wearing a black glasses (such a sunglasses) and offering his right hand not to me directly, I was assuming that he might be blind. I grabbed his hand for shaking hand and mentioned my name. I asked his name then.

I sat on a chair filling an attendance form and my friend came to me. Even before I had much talk with my friend, another attendee coming and filling in the form. And, they both, my friend and the just coming girl, had a talk. Such a long talk about some events in Jakarta recently to visit. Then, my friend and I went upstairs to perform Dhuhur prayer. After the prayer upstairs, I heard the people downstairs are having some briefing for the Blind Date event. We both went downstairs at the same time when all people are going to a room that pretty looked like a mini theatre. Well, they are going in pairs in which one typical participant with one blind participant.

And it was how the date...

The movie playing was entitled "I am Hope". I saw my two students there, London and Jenina (Out of topic anyway). Interestingly, the typical participants are named volunteers in this occasion. Why? Because they are going to describe the movie to the blind-dated partner during the play.
Do you think it is difficult? Could be
Do you think it is just easy? Maybe
But, big YES, it was challenging.
As the host mentioned that it might be a problem for the volunteers to describe if this was the first time to see the movie. I got this problem.

I was sitting at the back seat with my blind-dated partner next to me. It was a guy named Alif. I was doing very well in the first few minutes. I did perfectly. Even I got two thumbs up from Boy, the committee. As times went by, Alif might have got bored listening to my gentle, beautiful and expressive voice all the time. He put himself back and played with his phone.
What?
What is he doing?
What should I do?
Should I keep telling him?
Should I just enjoy the movie myself?
Damn
Instead of knowing nothing what to do, I poked Boy and asked what to do with that situation. I asked with no words but just with my hands moving here and there showing "What the hell should I do? He is playing with his phone."

Unexpectedly, Boy sat next to me close her eyes and said "Okay, I close my eyes and you describe the movie to me".
"Are you kidding? You can just see it yourself".
"Common, go ahead."
Well, I did as she requested until sometimes we found out that Alif still not stop playing with his phone. A few minutes later, Alif asked for help to go to toilet and Boy took him out. Once Boy was back, I asked "Do I really have to do this?"
"Yes. Until you're tired."
"Well. I'm tired already."
"Oh really. Okay."
And for the rest of the movie, I enjoyed it myself. What a wonderful life!

It was such an interesting experience, wasn't it? To have the real blind-date ever in my life. And anyway, as the movie was over, I didn't see Alif around. He might have run away to find the better blind-dated partner.



 

Thursday, August 10, 2017

Gara-gara Guru

Tok tok tok
“Assalamualaikum” Bapak suryo mengucap salam sambai berdiri tepat di sebelah pintu utama yang masih tertutup. Tapi, di depan rumah ada banyak anak anak yang sedang bermain sepeda dan diawasi oleh beberapa ibu-ibu. 

“Waalaikumsalam” Terdengar balasan salam dari dalam rumah. Suara seorang perempuan dibarengi langkah mendekati pintu.

“Oalah, Pak Suryo, mari silahkan masuk Pak, Bu”, Ibu Karni membuka pintu sambil mempersilahkan masuk dengan menggunakan jempol tangan kanannya menunjuk ke tempat duduk plastik sederhana di ruang tamu. Kursi plastik empat buah melingkari meja segiempat berwarna ungu itu biasa menerima tamu-tamu. Meja plastiknya pun diperindah dengan telapak meja berwarna merah muda berihiaskan sebuah bunga besar di bagian tengahnya, hasil sulaman Ibu Karni sendiri di sela-sela waktu luangnya.

Pak Suryo tidak datang sendiri. Dia datang dengan Ibu Ida. Mereka berdua  menuju tempat duduk. Ibu Karni pun kemudian menyusul duduk. Karena terlebih dulu masuk, Pak Suryo duduk di bagian kiri meja dengan mmbelakangi jendela kaca yang tertutup gorden. Karena tidak ingin terkesan menyusahkan, Bu Ida memilih untuk duduk tepat di kursi membelakangi jendela kaca depan, dekat dengan pintu.

"Mungkin Ibu sudah mengetahui maksud kedatangan kami. Kami sangat menyayangkan karena Fandi belum juga kembali ke sekolah. Apakah Ibu sudah berbicara dengan Fandi?"

"Sudah, Pak. Saya sudah ngomong sama fandi buat berangkat sekolah lagi. Saya bilang aja, gak enak sampe guru kelasnya datang kerumah. Dia sih cuma diem aja pak. Kemaren itu si Fandi sempet berangkat. Tapi saya juga gak tau kenapa kok gak mau masuk lagi."

Pak Suryo dan Bu Ida menyimak cerita Bu Katni. Ketiganya pun diam sejenak. Pak Suryo menoleh ke arah Bu Ida dan saling pandang sejenak. Seketika Bu Ida berujar.

"Kalau boleh tahu Ibu, apa Fandi tidak cerita alasan kenapa dia tidak mau kembali lagi ke sekolah? Karena kami sangat berharap Fandi bisa kembali lagi ke sekolah".

"Saya juga pengennya begitu, Bu. Fandi gak cerita apa-apa, Bu. Cuma diem aja. Saya juga bingung."

Pak Suryo menunduk berusaha menguraikan rangkain peristiwa yang terjadi dan informasi yang sudah didapat. Dia bingung bagaimana harus menyelesaikan permasalahan ini. Napas yang dalam pun diambil dan dihembuskan perlahan.

"Baiklah, Bu. Mungkin memang ini sudah menjadi pilihan Fandi. Kami sudah berupaya sesuai kemampuan kami. Tapi bagaimanapun juga, kami masih mengharapkan Fandi kembali ke sekolah. Insya Allah, pintu sekolah selalu terbuka."
Pak Suryo dan Bu Ida mohon undur diri dan meninggalkan rumah yang setengah jadi  itu dengan lantainya yang masih kasar dan bertembokkan batu bata merah.
------------
Waktu sudah menunjukkan jam 10 malamm dan Fandi belum juga pulang. Masih ada beberapa lembar triplek yang perlu di pasang di langit-langit bangunan. Hari ini Fandi akan kerja lembur. Pekerjaanya memang tidak terlalu berat jika dibandingkan pekerja proyek lainnya dengan gaji yang tidak jauh berbeda.

Fandi menghabiskan kurang lebih satu jam mengendari sepeda motor tuanya itu yang sudah dianggap seperti kekasihnya karena selalu menemani kemanapun dia pergi. Sambil beristirahat di atas kasur, Fandi ngobrol dengan seorang wanita yang baru saja dikenalnya lewat aplikasi chatting online. Obrolannya sangatlah ringan seperti tinggal dimana, berkegiatan apa, tinggal dengan siapa. Pertanyaan-pertanyaan umum untuk anak muda yang sedang pdkt (pendekatan) mencari mangsa calon pacar. Meskipun baru saja saling mengenal, mereka berdua asik bercerita, saling tanya dan jawab. Terkadang diam, bercanda, tertawa, meledek. Obrolan berlanjut sampai malam semakin larut dan keduanya pun mulai mengantuk akut. Suara si gadis  sewaktu-waktu hilang  di telepon karena tertidur.
------------
"Nis, nanti aku minta izin buat pulang duluan yah. Soalnya aku gak enak badan nih. Badanku berasa meriang". Fandi melapor ke teman sebangkunya untuk pulang lebih awal. Sayangnya ibu guru tidak mengizinkan.

"Kenapa Fandi? Sakit? Makanya jangan keseringan mancing di empang." HAHAHHAHAHA. Gelagak tawa sontak dating dari semua anak di kelas.

"Noh dengerin. Makanya jangan keseringan main di empang." Celetuk salah satu anak.

"Lagian, sering-sering mancing, pernah dapet aja kagak." Sahut anak lainnya.

HAHAHHAHAHA. Sorak tawa pun berulang lagi.

"Gak papa, Nis. Aku masih kuat kok nahan sampe nanti pulang sekolah". Fandi berbisik ke teman sebangkunya yang dimintai tolong untuk meminta izin ke Ibu Guru.
--------------
Semakin Fandi mengenal si gadis, semakin dia merasa minder karena gadis yang saat ini sedang dekat dengannya itu jauh lebih berpendidikan tinggi dibandingkan dirinya yang bahkan tingkat SMP (Sekolah Menengah Pertama) pun tidak tuntas. Fandi menyesalkan apa yang terjadi padanya. Tetapi apalah daya, manusia terlalu lemah bahkan tak berdaya dengan apa yang sudah  berlalu. Inilah yang Fandi saat ini.
-------------
"Iya. Waktu itu Ibu Retno bikin aku malu udah di kelas. Makanya aku gak mau sekolah". Fandi mengiyakan apa yang Ibu nya katakana dan memberikan jawaban singkat setelah sebelumnya ada seorang tamu datang ke rumah.

Ibu Retno yang tinggal tidak jauh dari rumah Fandi tiba-tiba datang berkunjung. Setelah dipersilahkan masuk dan duduk di salah satu kursi ruang tamu, belum sama sekali ada kata terucap tetapi hanya kepala yang menunduk dan tangan yang beradu saling meremas satu sama lain. Pemandangan ini membuat Ibu Katni tak tahu bagaimana harus memulai pembicaraan karena khawatir tidak sopan mendahului.

Seketika suara tangis pecah dari Ibu Retno sambil berkata "Saya mohon maaf Bu".
"Lha mohon maaf buat apa tho, Bu?"
"Semua ini gara-gara saya."
"Apanya yang gara-gara Ibu?"
"Fandi tidak mau sekolah itu karena saya."
"Duh, saya kok jadi bingung. Saya gak ngerti maksud Bu Retno ini."

Ketika Fandi sakit dan meminta izin untuk pulang, Ibu Retno bukannya memberikan perhatian dan mengizinkan Fandi pulang tetapi malah meledeknya. Ibu Retno meledek hobi memancing di empang jadi penyebab Fandi sakit. Beberapa hari sebelumnya tidak sengaja Ibu Retnoo melewati empang di dekat perumahanya dan melihat Fandi ada disana. Ledekan Ibu Retno pun langsung jadi bahan tertawaan semua anak-anak di kelas.

Fandi merasa malu. Fandi merasa marah. "Kenapa hobiku dibawa-bawa ke sekolah?" Fandi tidak suka dengan sikap Ibu Retno. Sudah lama Fandi menyembunyikan hobinya memancing dari teman-temannya di sekolah kerena tidak mau jadi bahan tertawaan. Fandi membenci Bu Retno, dan tidak ingin melihatnya lagi dengan meninggalkan sekolah. Tetapi, bergulirnya waktu telah menggerus dan meleburkan rasa kesal dan benci kepada Ibu Retno yang hampir setiap hari dia lihat di sekitar rumah.


-----------
Si gadis pun mulai sedikit demi sedikit menjauhi Fandi dengan mengurangi komunikasi lewat pesan ataupun telepon, setelah dia tahu bahwa Fandi memiliki kekurangan perbekalan pendidikan untuk menghadapi masa depan. Inilah pilihan si gadis.

Lalu bagaimana dengan Fandi? Saat ini, Fandi masih harus terus melanjutkan perjalanan kehidupannya dengan pendidikan setinggi tangga bangku SMP. Hidupnya kini adalah hasil keputusannya yang lalu, termasuk menjauhnya si gadis yang didambakan. Semoga Fandi masih menyimpan harapan di masa depan dengan keputusan-keputusannya di kehidupan saat ini.



Monday, July 31, 2017

Universitas Menyediakan, Kita Manfaatkan

Di usiaku saat ini, aku mulai menyadari betapa bedanya ketika menyandang status sebagai mahasiswa dan sebagai seorang karyawan atau pekerja. Aku merasakan sebuah kebanggan tersendiri ketika masih bisa memperkenalkan diri sebagai seorang mahasiswa di sebuah universitas. Di sisi lain, status sebagai mahasiswa juga memberikan sedikit dampak "memudakan" usiaku, hehe. Seringkali, aku menempatkan statusku sebagai pekerja di nomor dua. Padahal kenyataannya, kuliyahku lah yang seringkali ada di nomor dua kan. Tapi bagaimanapun juga, biarlah semua lika-liku perjuangan menjadi mahasiswi sekaligus pekerja ini nantinya akan menjadi sebuah cerita untuk anak cucu ku di masa mendatang sebagai salah satu penyemangat mereka.

Salah satu hal yang bisa aku pelajari selama menjadi adalah bahwa terdapat beberapa fasilitas yang ternyata ada tetapi tidak atau belum tentu diketahui seluruh mahasiswa. Wajar saja, karena sejauh ini aku belum pernah menemukan sosialisasi khusus terkait hal ini. Fasilitas yang aku maksud disini adalah dana dalam jumlah tertentu yang dianggarkan bagi setiap mahasiswa untuk mengembangkan diri. Aku lupa nominalnya yang pasti (waktu itu bagian keuangan pernah menyebutkan), tapi bisa jadi setiap institusi punya kebijakan dengan nominal yang berbeda-beda. Ada banyak sekali cara bagi mahasiswa untuk mengembangkan diri (secara akademik ataupun non-akademik) seperti, mengikuti perlombaan, menghadiri seminar atau konferensi dan lain sebagainya, baik dalam lingkup regional, nasional, maupun internasional. Dan ini adalah tugas dinas.

Ternyata, bukan para dosen saja kan yang berkesempatan menjalankan tugas dinas? para mahasiswa juga punya kesempatan yang sama. Dan, pastinya di sela-sela perjalanan tugas dinas ini bias dimanfaatkan untuk menjelajahi daerah sekitar yang belum pernah dikunjungi.

Alhamdulillah,hingga saat ini aku berkesempatan untuk mengikuti dua kegiatan dengan dukungan yang besar dari pihak kampus. Ini semua juga tidak terlepas dari dukungan Kaprodi (Kepala Program Studi) yang bersedia memmberikan bimbingan dan arahan. Pertama, aku mengikuti konferensi internasional di salah satu universitas negeri di Malang pada tahun lalu. Kedua, segala puji bagi Allah swt., dua bulan lalu aku pun ke Singapur, perjalanan luar negeri pertamaku, untuk mengikuti kegiatan yang kurang lebih sama. Dari kedua pengalaman ini dan beberapa pengalaman yang lain, aku belajar bahwa untuk mempresentasikan paper atau makalah dalam konferensi internasional, aku tidaklah harus sempurna. Yang aku perlukan adalah keberanian untuk tampil di depan orang-orang hebat dengan menyampaikan gagasan-gagasan dan kemudian membuka hati dan pikiran selebar-lebarnya dan selus-luasnya untuk menerima kritik dan saran. Justru inilah pelajaran tersbesar yang perlu diambil dan kemudian dijadikan bekal untuk melakukan kajian, meneliti dan menulis di kemudian hari.

Seperti konferensi pada umumnya, panitia akan mengundang para akademisi, mahasiswa dan praktisi untuk mengirimkan abstrak dari makalah yang telah dibuat, baik dalam bentuk kajian pustaka maupun penelitian lapangan. (Contoh abstrak yang aku kirimkan). Setelah melalui tahap review oleh panitia, panitia akan mengirimkan email apakah makalah tersebut diterima dan dapat dipresentasikan dalam konferensi tersebut. (Contoh LoA - Letter of Acceptance). Nah, dengan berbekal makalah dan surat undangan ini lah, pengajuan dana bisa dilakukan. Beberapa dokumen yang perlu dilampirkan adalah sebagai berikut:
  1. Surat permohonan dana (ditandatangani oleh Kaprodi - Kepala Program Studi) ditujukan ke Wadek (Wakil Dekan) Bagian Akademik
  2. Rincian dana sederhana (hal yang diperlukan beserta nominal dana)
  3. Undangan (LoA)
  4. Salinan makalah
  5. Salinan rangkaian kegiatan
Semua dokumen diatas aku serahkan ke bagian umum administrasi dan nantinya akan diproses. Setelah semua upaya ini dilakukan, tugasku selanjutnya adalah banyak-banyak berdo'a semoga Allah meridhoi dan melancarkan segala hajat. Aku kembali lagi ke kanto bagian umum ini setiap hari untuk mengupdate informasi proses pengajuan dana ini. Ketika surat sudah sampai ke Wadek yang dituju, semua dokumen akan sampai di bagian keuangan dan tibalah saatnya untuk membicarakan jumlah biaya yang akan ditanggung seperti biaya transportasi, registrasi, maupun akomodasi. Dalam sebuah kegiatan, tidak semua biaya akan ditanggung, tergantung kebijakan bagian keuangan. Tapi, ini sudah lebih dari cukup untukku, alhamdulillah. Pada saat yang sama, departemen lain pun akan mulai mempersiapkan SPPD (Surat Perintah Perjalanan Dinas) yang perlu di bawa dalam kegiatan dan ditandatangani oleh panitia pelaksana kegiatan.

Sekembalinya dari kegiatan, aku diminta untuk mengumpulkan beberapa dokumen berikut:
  1. SPPD bertandatangan panitia pelaksana kegiatan
  2. Boarding pass asli keberangkatan dan kepulangan
  3. Foto kegiatan
Ketika semua dokumen itu sudah diserahkan, maka selesai lah tugas dinas yang diemban. Selesainya tugas ini bukanlah berarti akhir dari segalanya. pengalaman dan pengetahuan selama mengikuti kegiatan akan terus dibawa seumur hidup untuk terus dikaji dan disebarluaskan. Untuk itu, adik-adik dan teman-temanku, para mahasiswa, yuk kita manfaatkan kesempatan bagus ini untuk mengembangkan diri. Sekian dan semoga bermanfaat. Salam senyum dan semangat.


Friday, July 21, 2017

Teaching TOEIC Speaking Test Preparation

For the last few weeks, I was assigned to teach a Korean university student preparing for his TOEIC speaking test. Unlike TOEIC listening and reading test, there is no many resources or certain books can be used for practice. Thus, I searched on Google for some help. So far, there is only one sample of TOEIC speaking test provided by ITC (International Test Center) as the official institution which holds the test. Fortunately, I found a very useful website with a number of samples (http://aekotoeic.blogspot.co.id/). As well, I found a channel on YouTube which gives some tricks and strategy in taking the test (Kenton County Adult English as a Second Language). I haven't taken this test before so I needed to learn about the test so much more than what the student should.

I have put altogether the materials and some important information regarding to the test in the following link. Please feel free to find the documents for your use . Klik disini

Sunday, July 16, 2017

Partai Pembebasan Indonesia (Hizbut Tahrir Indonesia - HTI)

Beberapa waktu yang lalu, terdapat banyak sekali postingan di beranda Facebook tentang kabar (akan) dibubarkannya sebuah organisasi Islam Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Pernyataan tersebut diungkapkan oleh Bapak Wiranto selaku Menkopolhukam (Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan) yang kemudian memancing banyak sekali komentar dari masyarakat di Indonesia, khususnya para teman di Facebook. Komentar di Facebook datang dari para guru, dosen, mahasiswa, karyawan dan para aktifis di beberapa komunitas sosial. Beberapa diantaranya  mendukung pembubaran tersebut dan yang lainnya menolak.

Penolakan dibubarkannya Partai Pembebasan ini kebanyakan berasal dari teman-teman santri di salah satu pesantren kehidupan di Jakarta. Hashtag berupa #kamibersamaHTI pun digunakan di berbagai media sosial bagi mereka yang ingin menyerukan penolakan ini. Beberapa pernyataan yang membarengi hashtag tersebut adalah tentang kemuliaan berjihad menegakkan hukum yang disyari'atkan Allah dalam misis HTI. Teman-teman santri di pesantren ini aktif terlibat dalam beberapa kegiatan HTI. Di sisi lain, beberapa guru dan dosen yang berlatar belakang pendidikan pesantren dan kiprah mereka dalam dakwah, secara implisit menyatakan dukungan atas pembubaran partai politik ini.

Seperti halnya energi positif dan negatif, magnet U dan S, hal ini pun pasti tidak terlepas dari perbedaan pendapat. Tampaknya pun sekarang waktunya yang tepat untuk berbagai sedikit mengenai pengalaman pribadi saya karena pihak-pihak yang mungkin sempat emosional pasti sudah redam dan mulai sibuk dengan perkara lain. Meskipun tidak banyak yang saya ketahui tentang HTI, akan tetapi saya harap pengalaman pribadi yang sedikit ini dapat memberikan sedikit gambaran bagi siapapun yang belum pernah mengenal organisasi Islam ini.

Saya mendengar nama HTI sudah sejak lama. Sepertinya sejak ketika saya belajar di universitas beberapa tahun lalu. Atau mungkin malah lebih lama dari itu, ketika duduk di bangku Sekolah Menengan Atas (SMA).  Meski demikian, saya hanya mendengar nama saja, tidak lebih dari itu. Setelah saya menyelesaikan pendidikan S1, saya berkeinginan untuk mencicipi hidup di pesantren yang dulu sempat tertunda. Saya pun mencari informasi tentang pesantren di Jakarta yang terbuka untuk santri dewasa. Berbagai informasi saya dapatkan dari Google, beberapa teman di Jakarta, brosur, dan juga Alm. Bapak saya. Akhirnya, saya menemukan sebuah pesantren di daerah Jakarta barat. Informasi mengenai pesantren ini diawali ketika saya menghadiri sebuah kajian di masjid dekat Pasar Santa yang dibawakan oleh Pengasuh pesantren tersebut. Waktu itu beliau membawakan kajian Kitab Al-Hikam. Saya pun sempat mengajukan sebuah pertanyaan. Entah mengapa selama kajian berlangsung, saya merasa adanya kecocokan pikiran dan rasa. Saya tidak langsung menemui beliau, tapi saya Googling nama pada logo pesantren yang ada pada pojok kiri atas lembaran ringkasan materi yang dibagikan pada saat itu.

Saya pun akhirnya memutuskan untuk mulai menimba ilmu di pesantren ini. Seperti kata pepatah "Dimana bumi dipijak, disitulah langit dijinjing", saya mulai beradaptasi dengan beberapa peraturan dan kebijakan yang berlaku di pesantren. Untuk mempersingkat, saya hanya akan membahas beberapa hal yang menurut saya mencirikan nilai-nilai yang diyakini teman-teman (terutama para santriwati) sebagai pejuang HTI.

Jilbab dan kerudung
Seluruh santriwati dianjurkan (dengan kata lain diwajibkan) untuk mengenakan kerudung dan jilbab ketika berada di luar rumah atau gedung pondok santriwati. Kerudung disini bermakna kain untuk yang menutup kepala yang menjulur hingga menutup dada. Tapi, sebagian besar santriwati menggunakannya hingga meutup bagian pinggul atau bahkan sampai lutut. Sedangkan jilbab merupakan adalah pakaian yang menjulur menutup dada hingga kaki, atau pada umumnya dikenal dengan 'gamis'. Selain itu, ditambahkan kaos kaki untuk menutup kaki dan penutup pergelangan jika lengan baju longgar karena dikhawatirkan bisa tersingkap ketika beraktifitas. Santriwati tidak diperkenankan atau mendapat teguran jika mengenakan pakaian potongan (atasan dan bawahan). Berikut ini adalah beberapa dalil mengenai anjuran untuk mengenakan jilbab dan kerudung. Klik disini.

Kitab-kitab Hizbut Tahrir
Selain mempelajari beberapa kitab kuning dan juga tafsir, ada beberapa kitab yang memang diterbitkan oleh HTI karangan Taqiyyuddin An-abhani. Terdapat ciri khas pada kitab-kitab ini, yaitu bersampul warna putih dengan tulisan berwarna merah dan hitam. Terdapat dua versi kitab, yaitu dalam Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia. Di antara beberapa judul kitab yang dipelajari ialah Mafahim Hizbut Tahrir (Pemahaman Hizbut Tahrir), Min Muqowwimat An-Nafsiyah Al-Islamiyah (Pilar-pilar Pengokoh Nafsiyah Islamiyah), An-Nidzom Al-Ijtima'i (Sistem Pergaulan dalam Islam). Sebagai rujukan, berikut ini adalah sebuah blog yang memaparkan review atau ulasan kitab-kitab HTI. Klik disini.

Halaqah
Sekali dalam seminggu para santri dijadwalkan untuk mengikuti Halaqah. Secara Bahasa, Halaqah bermakna lingkaran. Dalam hal ini, halaqah merupakan sebuah majelis yang terdiri dari beberapa orang dengan duduk melingkar atau dalam lingkaran guna membahas materi tertentu dari kitab atau buku. Terdapat seorang pemateri atau Murabbi pada masing-masing Halaqah. Buku yang biasanya dikaji bagi para pemula berjudul Materi Dasar Islam: Islam Mulai Akar Hingga Daunnya karangan
Arief B. Iskandar. Jika buku tersebut sudah selesai, maka dilanjutkan dengan mempelajari kitab berikutnya dengan Murabbi berbeda yang tingkat keilmuannya dan pemahamannya dianggap lebih dari Murabbi sebelumnya. Tidak hanya HTI yang mempunyai majelis seperti ini, sebuah ormas lainnya pun melaksanakannya dengan sebutan Liqo'. Halaqah inilah media dakwah HTI dalam merekrut para kadernya. Mengenai dakwah HTI, klik disini.

Aksi
Sebagai bagian dari pejuang HTI, teman-teman berpartisipasi aktif dalam berbagai aksi, terutama sederetan aksi bela islam pada tahun lalu. Bukan demonstrasi.Sebenarnya beberapa aksi tersebut bukanlah yang pertama kali dilakukan oleh teman-teman HTI, jauh sebelumnya mereka beberapa kali turun ke jalan, sebagian besar di sekitaran Monas dan Bundaran HI. Dalam melaksanakan aksi, mereka biasanya membawa bendera Al-Liwa dan Ar-Royah bertuliskan "Laa ilaaha illallah muhammadar rasulullah". Para santriwati biasanya berseragam dengan memakai kerudung putih dan jilbab hitam.

Buletin Al-Islam
Setiap bulan, sebuah buletin bernama Al-Islam berupa satu lembar dengan empat halaman dibagikan bagi seluruh santri. Tidak jarang masing-masing santri diberikan lebih dari satu lembar supaya bisa disebarluaskan. Secara umum, buletin ini membahas beberapa isu yang sedang populer dan kemudian dikaitkan dengan apa yang tercantum dalam Al-Qur'an. Karena pencantuman tulisan ayat Al-Qur'an didalamnya, para santri dilarang untuk membuangnya sembarangan. Kumpulan Al-Wa'ie harus disimpan dengan baik. Buletin ini merupakan satu diantara berbagai media lainnya untuk meng-update informasi bagi para kader HTI.

Tentu masih ada banyak hal lagi yang belum diuraikan dalam tulisan diatas. Oleh sebab itu, marilah kita coba untuk saling mengenal satu dengan yang lain sehingga kita bisa saling memahami dan lebih mempererat kasih saying sebagai sesama Muslim dan juga sesama manusia.










Saturday, July 15, 2017

Pengalaman Melatih Kemampuan Menulis Bahasa Inggris (Teaching English Writing Skill Experience)

Selama seminggu yang lalu, salah satu orang tua murid privat meminta les intensif untuk anaknya yang sudah belajar dengan saya sekitar dua tahun lamanya. Mamanya meminta selama seminggu itu untuk melatih lagi kemampuan berbicara dan menulis anaknya dalam Bahasa Inggris karena akan memasuki kelas enam dengan segudang tes. Dari hari Senin sampai Jumat dengan durasi selama satu jam pada setiap pertemuan, secara umum 30 menit saya gunakan untuk ngobrol sambil brainstorm beberapa ide yang nantinya bias ditulis terkait topik tertentu. Sebelum sesi intensif ini dimulai, saya tidak merencanakan secara pasti topic apa saja yang nantinya akan kami diskusikan. Tidak adanya planning ini karena saya ingin memberikan ruang ke si anak untuk menulis mengenai hal yang memang familiar bagi dia.

Seiring berjalannya les ini, yang biasa saya awali dengan berbincang-bincang dulu, telah menghasilkan beberapa tulisan tentang beberapa topic berikut.

1. My last vacation
2. Learning English
3. Comic review
4. School uniform
5. Back to school
6. Writing in English (tulisan ini belum selesai)

Setiap kali saat berbincang, saya sambil menuliskan di selembar kertas dan memetakan beberapa garis besar hal-hal yang sedang kami bicarakan. Catatan ini nantinya akan membantu murid saya untuk membuatnya dalam bentuk tulisan. Setelah saya rasa beberapa ide mengenai topic yang dibicarakan sudah cukup, saya memberikan gambaran format atau penyusunan ide-ide itu dalam tulisan yang pada umumnya diawali dengan Opening (Pembukaan), Main ideas (Gagasan utama), dan Closing (Penutup) atau Conclusion (Kesimpulan). Karena singkatnya waktu, saya tidak mendampingi murid saya itu selama menulis hingga selesai.

Saya memulai pertemuan berikutnya dengan meminta si murid untuk membaca ulang dan memeriksa kemungkinan kesalahan-kesalahan dalam tulisannya, baik secara Spelling (Ejaan), Punctuation (Penulisan) atau Grammar (Tatabahasa). Setelah itu barulah saya memeriksa kembali dan membahas beberapa hal yang bias dipelajari. Memang masih ada banyak kesalahan yang saya lihat, tapi saya tidak mengemukakan semuanya. Diantara beberapa hal yang kami bahas adalah:

- Penggunaan Verb (Kata kerja) dalam Past Tense
- Will can -- > Will be able to
- Penggunaan "because" di awal kalimat
- Penggunaan contraction (don't, I'm)
- dll.

Setiap anak pasti punya kemampuan menulis yang berbeda-beda dengan kesalahan yang beragam pula. Dalam kasus ini, saya tidak terlalu menekankan pada komponen Cohesion dan Coherence karena saya khawatir akan membuat dia overloaded dan kemudian tidak merasa bebas lagi dalam menulis. Oleh karena itu, saya mencoba untuk membantu si murid dengan memberikan format atau template bagaimana sekumpulan ide-ide yang ada bisa disusun dalam sebuah tulisan.

Berdasarkan pengalam ini, terdapat beberapa hal yang saya pelajari dalam melatih kemampuan menulis anak:

- Pilihlah topik yang cukup familiar bagi si anak, jadi si anak punya stok ide
- Pancing si anak untuk mengelurakan ide-idenya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan
- Catatlah ide-ide yang dibicarakan ke sebuah mind-map sederhana
- Berilah bocoran bagaimana untuk memulai tulisan, menghubungkan gagasan dan mengakhiri tulisan dengan memberikan satu frasa atau kalimat.

Sekian dan semoga bermanfaat. Dokumentasi pengajaran ini bisa dilihat di http://gg.gg/teachingwritingexperience

Wednesday, June 21, 2017

Catatan Idul Fitri 2016


Kamis, 07 Juli 2016

Hari ini adalah hari ke-2 Idul Fitri di tahun 2016. Hari ini aku ditugaskan Ibu Bapak untuk keliling berkunjung ke rumah tetangga sekitar bersama Nisa. Setelah selesai beberes rumah dan mencuci pakaian, aku bersiap dan berangkat dengan Nisa mengendarai motor. Di kesempatan tulisan kali ini aku ingin bercerita tentang sedikit percakapan singkat selama bersialaturahmi ke tetangga dan yaa mungkin kalaupun tidak ada cerita ataupun obrolan yang diceritakan, setidaknya inilah upaya ku untuk meninggakan jejak di hari raya ku kali ini. Oya, mungkin kalau nanti aku masih kuat, aku ingin juga menuangkan cerita hari  ke-1 idul fitri kemarin.

Baiklah, setelah keluar dari rumah kami berdua (aku dan Nisa) menuju rumah Mba Iis yang letaknya tepat di sebelah kanan rumahku. Galuh,  anak Mba Iis, sedang mempesiapkan motor untuk pergi ke rumah temannya bersama Intan (anak Mba Yuni yang rumahnya tepat di sebelah kanan Mba Iis; yaa tetangga ku juga sih). Mba Iis ternyata masih sibuk meladeni pembeli di warung, kami samperin Mba Iis di warung dan bersalaman dengan Mba Iis, Mas Nurul (suaminya) dan juga seorang ibu-ibu yang aku sapa Bibi. Tak banyak bicara, kamipun langsung pamit melanjutkan perjalanan. Seperti yang disampaikan Intan sebelumnya, Ayah dan Bundanya sedang pergi keluar, jadi tidak ada orang di rumah dan tertutup. Kami kemudian menyeberang jalan menuju rumah Pak Amin.

Ketika bertamu di rumah Pak Amin, ada sepasang Bapak Ibu tamu lainnya. Kami bertemu Ibu Amin dan Mba Arti (Anak Bapak Ibu Amin yang paling kecil). Oya, tidak ada Pak Amin tadi.  Hehe aku juga malah lupa tidak menanyakan dimana Pak Amin. Selama di sana Mba Arti sempat mengatakan bahwa aku semakin terlihat gemuk dan segar dibandingkan dengan tahun kemarin  (hehe aku senang mendengarnya). Tidak ada banyak obrolan disana, Mba Arti dan Ibu Amin menanyakan pekerjaan dan kuliyahku. Dan juga beliau berdua menanyakansekolah Nisa. Selanjutnya kami mohon undur diri dan menuju rumah di sebelah kiri Pak Amin, yaitu rumah  Mbah-nya Resi (aku lupa siapa namanya si Bibi dan Mamang).

Waahh… ceritanya masih panjang, tapi aku udah ngantuk. Dilanjut besok aja yah, ini udah jan 22.21.
*Dan pada akhirnya sampai saat ini cerita tidak berlanjut. Kemalasan tingkat tinggi memang susah untuk dibasmi.


Saturday, June 3, 2017

Soe Hok Gie, One More Time...

These all started when I remembered how my friend, Nafis, is crazy about Soe Hok Gie. I had no idea at all who he is. Well,  from the way how she always mentions the name of Gie, seems like even she is fallling in love with this guy. Once I was walking trough some books in a bookstore at Points Lebak Bulus, I saw a book written on its cover 'Soe Hok Gie' then I decided to buy this book. I hoped I would get the gist who this guy is. However, I couldn't read this book right away since I still had another book 'Gus Dur' to be finished. For me, reading a new book before finishing the previously bought book feels like leaving someone whom we love early to the new one without any reason. It must be hurt, right?

It was such a pity to know that Gie died at a very young age, 27, on 16th of December 1969, a day before his birthday which is December 17th on the peak of Mount Semeru. The book starts Gie's story with the most touching moment when his life was end a few years back then. This sad story has successfully attracted my interest to keep on moving to the next pages finding who this guy is. What I got from some chapters of the beginning of this book is that Gie was a great writer speaking up his mind with a lot of critics towards the government of Indonesia. Gie was an inspiration for all of his friends to be proactive and responsive to how the leaders govern Indonesia.

The more I read, the more I got the ideas how different it is between the government in Gie's era and now. To get information was not as easy as now. Nowadays, the information is coming from anywhere, anyone and anytime. It is flowing so fast that possibly makes us busy by following the most updated news which its validity and credibility are still questionable. Me myself confused how to respond to the current issues which is spreading all around Indonesia, even the world. Personally, I am afraid that I might give the wrong respond to the wrong information. However at that time, Gie's time, what I see was that maybe  only certain people were able to access the information but the sources of information were trustworthy. I am amazed by how he and his friends at that time responded to the situations happened with full of spirit and belief that what they did was right and they fought for their thoughts. To be honest, I can't be as critical and brave as him at the moment.

And, it was wonderful to find out that he consistently wrote his thought on his notebook since a very young age, 15 years old. What he did to his writing was keeping them for himself, sending some of them to friends and sometimes sending them to the newspaper to be published. From some of his writings that I have read, he is such a romantic man with lots of beautiful word choices in his writing, especially in some poets that he made. Besides being romantic, it seems like he is a kind of reflective person in his writing. I find him mostly reflecting anything happened around him to his feeling, his experiences, and the people. His writings have captured well how Indonesia was at his time. No wonder, his writing amazingly have been passing through generations to generations as a source of lessons to be learned.

The freedom of press mattered at that time. I don't have enough knowledge about how the freedom of press is developing and changing in Indonesia. But, what I know so far is that it wasn't easy for Gie to share his words to public. The ideas which were considered to be not in line with the government's ideology could most likely threaten himself. Besides, a number of media was controlled by the government to broadcast only the news which support their needs, interests and purposes. I think some media nowadays are the same. We all have to be grateful for what we have right now when everyone is free to share their opinions and thoughts to any social media which can be accessed by any one. Yet, I am feeling sad to see people quarrel one to another here and there with full of swearing and bad words within.

Anyhow, in particular part of this book, it mentions about the case of G30SPKI (Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia). Gie's research on the people of PKI was considered to be dangerous for certain parties so that it was banned to be published and even destroyed. What he wrote in his paper was about hoe the people of PKI say about the action taken by the government towards them as followers. Inhumanity was happening all around Indonesia at that time and created the people of PKI as enemies to be defeated and destroyed. Honestly I don't know much about the story behind G30SPKI. The first time I heard about it was when I was in junior high school. I am lack of the knowledge of the history of Indonesia.

This moment made me curious about how G30SPKI happened at that time. Then, I remembered that I have a movie file in my laptop ''Pengkhianatan G30SPKI" that I have never watched before. Without thinking much, I spent my three hours for watching the movie myself in my room. Anyway, I have ever heard that a few years ago, this movie was  such a must to be watched by all of the people in Indonesia. Well, "yes", I asked one of my friends at office "But I don't want to watch this because I'm afraid that it might happen to my dad", she added. Her dad is a police. No wonder my friend didn't want to watch this because it is so frightening to see when some Generals were kidnapped and killed in 1965. You know what? The story of G30SPKI is confusing for me to define which one is right or wrong. God knows better for sure.

From a lot of stories told by Gie's friends, I am interested in the part when Gie and friends went hiking Mount Slamet where no public transportation for taking them there. So, they asked a ride from a truck passing by. It was not only them anyway, many other people needed a ride as well. The truck was full of people after all and dangerous for their safety, but who cares as long as those people can reach the place where they were heading. Even a soldier in charge as the security in that area just let them go this way since the people had no other choice. I like the way how Gie reflected this situation to what happened in Jakarta, the big city, where people go here and there with a fancy car with only one or two passengers. What a waste. Indeed, we can take lessons from anything around us.

I was laughing a lot once I was reading the parts of some letters by Ker, a girl who was close enough to Gie. From those letters I could see that Gie is such a romantic but mysterious lover. He was not a kind of man who easily say "I love you" to the girl he liked but he did little sweet things to the girl. He was also nice to all of his girl friends and treated them very well (according to one of his friends' stories). Even, before he died at Mount Semeru, he told his friends to give something taken from there (I forgot either flower or stone) for all girls at campus as a present. What a funny guy. In writing about love, he would put a lot of imageries into his words. It is funny for me to know that Gie, someone who is brave to speak up his mind criticizing the government out loud in public can be so quite loving a girl.

I am impressed with how Gie really loves his home and never stay at night at other place other than his home except when he went hiking. He had his room as his basecamp to let all of his ideas flow onto the paper, late at night. By the way, surprisingly he had a fight with his big brother. I'm not sure if the "fight" quite represents what happened to Gie and Pak Arief Boediman. They didn't talk for years with no big reason. Accidently, this really happened to me and my little sister as well. But thanks Lord it is over now and we are okay.

The last part of this book tells Gie's friend's opinion about his writing. He was not perfect with imperfect writing. There are some weak points in Gie's writing here and there. His friend mentioned that "Gie might be a good writer but not a good historian". This section also discusses how Gie's writing is not too good as a historian but it is excellent in terms of writing. Here I learn that there is nothing perfect, though. The most important thing is that is Gie's writings have given lots of meaning, spirit, and lessons after all. Nothing is perfect.

The last, Gie is a Chinese but how he cared about and loved Indonesia had broken the border of his race to this country.

-----------
I couldn't put things in more details since I have brought the book to my hometown to look back.



Thursday, May 11, 2017

Catatan 10/05/2017 (Proyeksi Peristiwa Dipenjarakannya Pak Ahok dalam Kacamataku)

Kemarin, aku mendengar kabar bahwa Bapak Ahok telah divonis hukuman penjara selama dua taahun terkait penistaan agama yang telah dilakukannya di pidato beberapa waktu yang lalu di Kepulauan Seribu. Selama ini aku selalu mengamati pendapat teman-temanku dan juga beberapa guru-guruku di beranda facebook. Lagi-lagi, ada dua kelompok yang mengungkapkan pendapatnya yang berbeda. Entah mana yang bisa aku golongkan kanan ataupun kiri, mana yang hitam ataupun yang putih. Mungkin aku terlalu cemen untuk tidak meletakkan diriku di salah satu keduanya. Aku lebih memilih untuk membaca, mengamati dan mempelajari bagaimana keduanya merangkai kerangka pikiran masing-masing sehingga pada akhirnya muncullah kesimpulan yang diungkapkan setiap saat di Facebook.

Jujur, aku sedih ketika para umat muslim mengkoar-koarkan kasus penistaan yang telah dilakukan oleh Pak Ahok yang menurut pendapatku pribadi, apa yang dikatakan beliau saat itu belum tentu merupakan sebuah penistaan. Yang menariknya, malah ungkapkan Pak Ahok membuat para umat muslim untuk mempelajari lagi hal yang telah disampaikan. Ngomong-ngomong, aku jadi tergelitik untuk mencari tahu di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) apa sih itu 'menistakan'? Apa sih itu 'penistaan'? Dan apa sih yang dimaksud dengan 'penista'? (karena keterbatasan koneksi saat ini, jadi aku belum nemu juga).

Padahal nyatanya, di beberapa kesempatan majelis ta'lim ataupun tabligh akbar yang pernah aku hadiri, aku tidak jarang mendengar si Da'i atau penceramah mengungkapkan hal-hal yang bias dikategorikan 'menistakan' keyakinan agama lain ataupun isi dari kitab suci agama lain secara terang-terangan. Tidak ada yang menuntut. Masih saja, buatku pribadi memang sulit untuk mengambil kesimpulan apakah pernyataan beliau itu memang berniat 'menistakan'  atau tidak. Tapi yang jelas, beliau sudah meminta maaf. Selebihnya, bukankah Allah yang paling tahu?

Saat ini, aku heran dengan saudara-saudariku seiman, bagaimana bisa mereka secara 100%, atau bahkan 1000% menutup pandangannya untuk melihat dan mengkaji kembali apa yang tejadi dengan rasa kemanusiawian. Bukankah muslim pun perlu memanusiakan manusia? Sayangnya, sepertinya mereka sudah mentok pada apa yang dipercayainya  yang tertulis di Al-Quran dan ditambah kan lagi  apa yang digembor-gemborkan oleh masing-masing pemimpin pengajian mereka.

Aku sedih, kenapa Islam yang aku pahami penuh dengan kasih sayang bisa sejahat ini kepada seseorang? Apalagi kepada seseorang yang kita semua bisa tahu telah melakukan banyak kontribusi terhadap negara. Karena beliau orang Cina? Karena beliau bukan muslim? Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jika aku akan mendapatkan perlakuan yang sama oleh golongan yang anti Islam (karena aku orang muslim) atau anti Jawa (karena aku keturunan jawa) atau anti - Indonesia (karena aku orang Indonesia). Sederhananya, jika aku berada di posisi beliau, mungkin aku sudah kehilangan banyak energy, harapan, semangat dan akhirnya menyerah.

Tapi apalah arti semua tulisanku diatas ini, masih ada banyak ilmu yang aku belum tahu. Tapi setidaknya, kata hatiku mengatakan seharusnya semua ini bisa lebih baik. Allahu a'lam bis showab.
___________

Anyway, di detik terakhir aku membuat catatan di atas, aku menemukan sebuah ungkapan salah satu dosenku dan aku pun setuju bahwa yang menyayangkan dan yang menyedihkan saat ini bukanlah agama yang mana, tetapi para pemeluk agama itu yang memilih untuk bersikap sedemikian rupa terhadap pemeluk agama lain.

Monday, May 8, 2017

Catatan 01/01/2015

Ya Allah ya Tuhanku...

Sedungguhnya tak ada sesuatu apapun yang terjadi tanpa seizing-Mu. Aku berusaha menghindarinya, tapi dengan mudahnya Kau pertemukan kami. Apakah maksud-Mu dengan semua ini ya Allah...?

Ini adalah pertama kalinya Kau menempatkan aku pada keadaan yang istimewa sebagai seorang wanita. Segala puji bagi-Mu ya Allah yang telah memberiku kesempatan untuk menikmati perasaan yang campur aduk waktu itu.

Ya Allah...
Mungkin memang aku merasakan hal ini berharga, tapi mungkin juga bagi dia hal ini adalah hal yang biasa. Aku tidak boleh berbunga-bunga karena peristiwa ini.
Sesungguhnya aku takut jatuh cinta padanya.
Kenapa aku takut?
Engkau pasti lebih mengetahui dan memahamiku.

Hmmm..
Ketika aku jatuh cinta, maka aku akan mengharapkannya.
Ketika aku mengharapkannya, maka aku akan tersakiti jika tidak bersamanya.
Padahal, apapun yang terjadi hanyalah atas izin-Mu.

Untuk itu ya Allah Sang Penggenggam seluruh jiwa, aku mohon bantuan-Mu untuk senantiasa menyerahkan segalanya pada-Mu, sehingga jadilah aku penikmat seluruh ketentuan-Mu.
Apakah aku ragu dan takut kalau-kalau apa yang Kau berikan akan menyusahkanku?
Sama sekali tidak ya Allah.
Bukankah Kau sendiri yang berjanji akan memberikan yang terbaik bagi semua hamba-Mu, apalagi bagi mereka yang senantiasa terus berusaha melakukan ketaatan pada-Mu?
Dan bukankah Kau tak pernah ingkar janji ya Allah?

Oleh karena itu, aku mohon tuntunlah aku dan berikanlah aku petunjuk ya Tuhanku. Aammiin.

*Catatan ini dibuat beberapa waktu setelah melakukan perjalanan ke Kota Cirebon. Semua rangkaian latar belakang peristiwa yang tersirat pun terjadi di Cirebon. Biarlah Kota Cirebon jadi saksi.

Tuesday, April 25, 2017

Notes from CIIS Class (Contemporary Issues in Islamic Studies)

When someone achieves high level of knowledge, s/he might not need religion.
This happens when someone with high knowledge, they tend to see things or diagnose any problem or situation from a scientific point of view, do observation and finally put it into clear and logical explanation. In this state, ones tend to consider themselves to be able to overcome their problems by themselves without any reliance on what the religion says. It is because people commonly come to religion when they are not able to find an explanation of things. In other words,  it shows their weaknesses as human being.

Low level of knowledge view what happens as a mystery.
This shows the limited ability of ones to find an answer of what is happening in the surrounding. this is close to positivism which refers to the limited ability of human to explain stuffs. For example, when a kid is having fever, we might have ever heard people relate it to any interference of Jin or any spirits around. Here, the circumstance is perceived to be a mystery. Another example is Tsunami in Aceh in 2004. Not a few people saw this phenomenon to show that God is angry for what the people are doing there and urges the importance of taubah after this disaster. Besides, some people tried to make certain connections between what is happening with what Qur'an says in particular verses by matching the number of the surah and verse. Sorry to say, it is considered to be false logical thinking.

The knowledge in Pesantren is over.
If we try visiting some Pesantren and have a look at how Islam is taught by the Kyai as the main teacher, we will find that the knowledge of Islam there is delivered in one-way without much critical questions coming from the students. Yes, sometimes the students of the Pesantren might ask questions but still the explanation is referred to the books (so called Kitab Kuning, after the Holy Qor'an) being learned which have been used and repeated for long time from generation to generation. This kind of teaching is considered to be normative since it is related to an ideal standard or model, or being based on what is considered to be the normal or correct way of doing something (Al-Qur'an, Hadis, and Kitab Kuning). What has been told is that is to be followed with no more discussion on it.

Religious study doesn't meet the social expectation.
This case is closely related to the last point above. Islamic religious study is mostly normative and cannot really answer the recent social phenomena or problems happening in the surrounding which might have never found in the past. This kind of study may be enough for the agricultural people in rural area, but not for the people living in a competitive environment and global life like Jakarta. Too many contemporary things to be discussed and answered in accordance with Islamic jurisprudence.  Therefore, this situation requires to conduct an empirical study in the planning and design of Islamic education.

In the last semester, I studied Contemporary Issues in Islamic Studies (CIIS). This course was delivered by two excellent lecturers, Prof. Dr. Abudin Nata, M.A. and Dr. Abdul Mu'thi. I have learned lots of things from both of them through the classroom discussion and also lecturing. The note above is just a little compared to what both have already shared to my friends and I in the classroom for one semester. I am not more than a learner who is always looking forward to your comments and feedbacks.





Thursday, April 13, 2017

Each of Us is Free to Choose

I wrote the following thoughts a few weeks ago when the issue of governor election of Jakarta became such a hot issue to talk about.

Many times my students ask my opinion about voting for non-Moslem leader. Well, it's what's happening now in Jakarta. Recently, Moslems and non-Moslems, they are all like in a war; even among Moslems too. A war with no sword nor murder, but different thoughts and beliefs in rough words. Honestly I don't know what to say to them, my students about it. I'm afraid that what I'm saying might be wrong. Lucky if my answer is correct, but what if not. I might be feeling burdened in all my life afterwards. I take my time and now trying to see this case from some different points of view. No one is qualified to make a judgment of which one is true or wrong to be followed after all. The different ideas of some groups are not wrong. What makes it wrong is just about they way people speak up which then cause the situation worse.

Some groups of Moslems insist to not for non-Moslem to be the governor of Jakarta. The reason is that the Holy Qur'an says so. Besides, they are worried about and scared by a lot of possibilities, especially any policy against Islamic principles, which might happen in the future if the governor is not a Moslem. Thus, to not vote for a non-Moslem is such an opportunity to avoid all of those possibilities happen. Well, simply I can say that these people have a good reason and intention in their voice.

Anyway, some other people (including Moslems and non-Moslems) say "to chose a governor is not only for Moslems, but also for all people in the society (with different religions)", which means the governor doesn't have to be a Moslem. It can be anyone from any religion. I learned long time ago from my teacher that we need to hand over a task or duty for those who are qualified and competent. And now, what is the Moslem candidates are not as qualified or competent as the non-Moslem  candidates. Don't you think we need to be smart in this case? objectively analyze the programs proposed by each candidate for the better future.

In fact, the idea above invites people (Moslems who says 'no' for non-Moslem leader) respond "But someone's thoughts and actions are the representations of his/her religion. Still we go for Moslem leaders". This point of view implies that for them, a Moslem governor is good and a non-Moslem governor is not good, or Islam is a good religion and others are not good religions.

This complicated debate has been going on till now. What I said to all my students is that each person (including my students) has his/her own reason for what she/he is doing with certain intention and expectation within. And I'm pretty sure that the intention is for the sake of goodness. Each of us is free to decide which one to vote for with our own reason and it's confidential.


Tuesday, February 7, 2017

Creative Activites in Teaching and Learning Hijaiyah Letters

Hello Moms, Dads and Teachers,

Here I would like to share some activities that you might find it helpful in teaching Arabic/Hijaiyah letters. We can see that kids like to play fun games and activities. We can also make some of them in making kids familiar with Hijaiyah letters.
  • How do you say it? You can do this activity by showing the complete Hijaiyah letters on a board or big paper (you might provide the letters along with the transliteration in alphabet letters). Provide some small pieces of paper for yourself to draw the letters. Pick one piece of small paper, draw any letter you want, show to the kids and let them find out how to say it. Kids are allowed to look at the poster of complete Hijaiyah letters. It could be more fun when some kids join and try to find as soon as possible.
  • Guess what? It is almost similar with the previous activity but we do it in the other way. Give the kids some pieces of small paper to draw on. Showing them the poster of Hijaiyah letters with its transliteration in alphabets letters. Mention one of the letters and let them find out which letter it is then they draw it on one small piece of paper. They must show it to you once they have finished.
  • Racing. For this, you need to provide the cards of Hijaiyah letters. Put all cards randomly on the table and/or chair around. Decide one spot as the start point for the kids to start racing. You mention one of the letters and let kids find the card. Once the kids have got it, they must give it to you.
Well, I think this is all for this time. I will share more next time.

For Private Iqro' & Qur'an Lesson, please contact:
Siti Fitriah
Phone: (+62)857-5856-6433
Email: siti.fitriah71@gmail.com
Facebook: Siti Fitriah Musadad

Thursday, January 19, 2017

For Parents: How to Start Teaching Kids Qur'an

I'm sure that all Muslim parents want their kids to be able to read Qur'an. Even it's not only a matter of want, but it's parents' obligation to make sure that their kids learn about Islam and be able to read Qur'an, the Holy Book of Muslims. It doesn't take a short time of course. By giving the knowledge of Islam and Qur'an, hopefully the kids are becoming sholih and sholihah who always pray for the parents. For those parents who consider themselves for not having adequate competence in teaching Qur'an, they can take the kids to any TPA (Informal educational institution of Qur'an for kids) or to any courses of Qur'an. However, here is the simple steps that parents can do at home with their kids:
  1. Introduce the kids to sounds of Hijaiyah letters. Find out a simple and fun song of Hijaiyah letters on YouTube. Once you search the keywords of "Hijayah Letters Song", you might find a lot of songs there. You can refer to this link https://www.youtube.com/watch?v=K7K3B9m2kXM. The more the song is sung with the kids, the more familiar the kids are with at least the sounds of Hijaiyah letters.
  2. Introduce the kids to the shapes/writing of Hijaiyah letters. I have got an eBook that parents can refer to. You can print this out and daily guide your kids to trace and write. Here is the link Belajar Menulis Huruf Hijaiyah 1 http://ia600203.us.archive.org/3/items/bam_menulis_613/belajar_menulis_huruf_hijaiyah_1.pdf
  3. Become a role model for your kids in reading Qur'an. Take your kids beside you when you are reading Qur'an. Even though you're not sure or confident about your reading, or may be you read so slowly, don't worry, what you're doing already becomes a motivation for your kids to be like you. How wonderful it is looking at parents reading the complicated and difficult Arabic writing in the Holy Qur'an.
Well, whenever we start, it's never late as long as we're still able to take a breath and our heart is beating.

For Private Qur'an Lesson, please contact:
Siti Fitriah
Phone: (+62)857-5856-6433
Email: siti.fitriah71@gmail.com
Facebook: Siti Fitriah Musadad


Wednesday, January 11, 2017

Where to Learn Reading Qur'an?

I started learning to read Qur'an since I was about 5 year-old. My home was close to a Mushalla where it had TPA (an informal educational institution for kids and teens) in every evening. My parents also became my teachers at home, every time after Magrib prayer.

You too, you can start learning to read Qur'an by joining any TPA, like what I attended. Usually masjid or mushalla has this kind of program for especially the neighborhood. Try to find one around your living area. It is fun to join because we can have such good friends with the people around our home.

If not, you can come to anyone around your home who can teach you. Normally the one who is good in reading Qur'an would be pleased when any one visits her/him to learn Qur'an. Or you can invite her/him to your house. Even if possible, ask your friends to join with you too, so it would be fun to study with friends.

The other option is to join any Qur'an courses. You can find a lot of information about it on the internet and decide the one which is reachable and affordable for you. Here, your schedule will be arranged in particular period of time.

However, it would be great if first you ask your parents to teach you before trying some alternatives above. I am sure your parents know what you need to do next.


For Private Qur'an Lesson, please contact:
Siti Fitriah
Phone: (+62)857-5856-6433
Email: siti.fitriah71@gmail.com
Facebook: Siti Fitriah Musadad

Tuesday, January 10, 2017

Why Learn to Read Qur'an?

When I was a kid,  I didn't have any idea why my Dad took me to Taman Pendidikan Al-Qur'an (TPA) - a kind of informal educational institution of Qur'an for kids and teens. Not only that, my Dad used to ask me reading Qur'an in front of him after Magrib prayer so that he could correct any mistakes that I made.

Now, I am so grateful for those learning experiences. I am now able to recite Qur'an well, insya Allah. And I have just realized the importance of learning to read Qur'an:

  • 10 Rewards for each letter of Qur'an that I read for my saving in the hereafter.
  • Reading Qur'an is one of proofs that I love Allah swt. and Rasulullah saw.  
  • The ability of reading Qur'an makes me interested in learning more what is in the Holy Qur'an
  • Many beautiful prayers that I can practice every day, especially pray for me and my parents
  • Many great stories of the life in the past with lots of lesson learned

Let's start learning to read Qur'an. May Allah saw. help us and make it easy. Aammiin.


For Private Qur'an Lesson, please contact:
Siti Fitriah
Phone: (+62)857-5856-6433
Email: siti.fitriah71@gmail.com
Facebook: Siti Fitriah Musadad


ATLAS.ti keren! (Day 129)

Aku ke kampus agak siangan buat ikutan sesi training cara pakai ATLAS.ti buat analisa data, terutama analisa qualitative. Keren banget sih t...