Monday, August 14, 2017

Literally Blind-dating

"Are you free today."
"So far yes. What's up?"
"Wanna join in? A blind-date."
"Seriously? Nice. I might gonna find my best match there."
----------
I left my room five minutes before the event started since the venue is not far from my place. I dressed up as beautifully as I could hoping I would find someone in the crowd (it reminds me of the La La Land sountrack). Then, there I was, in a cafĂ© with some people sitting having nice conversations. And me, I was such a dumb had no idea what to do. I saw my friend was sitting on one of the chairs but I was thinking that it would be inappropriate to bother her conversation, so I tried finding an empty chair for seat.

On my steps to a chair, a girl with short hair (as short as man hair-cut) greeted me and followed by an old man offering his hand. The girl said "He wanna shake your hand). Since I saw him wearing a black glasses (such a sunglasses) and offering his right hand not to me directly, I was assuming that he might be blind. I grabbed his hand for shaking hand and mentioned my name. I asked his name then.

I sat on a chair filling an attendance form and my friend came to me. Even before I had much talk with my friend, another attendee coming and filling in the form. And, they both, my friend and the just coming girl, had a talk. Such a long talk about some events in Jakarta recently to visit. Then, my friend and I went upstairs to perform Dhuhur prayer. After the prayer upstairs, I heard the people downstairs are having some briefing for the Blind Date event. We both went downstairs at the same time when all people are going to a room that pretty looked like a mini theatre. Well, they are going in pairs in which one typical participant with one blind participant.

And it was how the date...

The movie playing was entitled "I am Hope". I saw my two students there, London and Jenina (Out of topic anyway). Interestingly, the typical participants are named volunteers in this occasion. Why? Because they are going to describe the movie to the blind-dated partner during the play.
Do you think it is difficult? Could be
Do you think it is just easy? Maybe
But, big YES, it was challenging.
As the host mentioned that it might be a problem for the volunteers to describe if this was the first time to see the movie. I got this problem.

I was sitting at the back seat with my blind-dated partner next to me. It was a guy named Alif. I was doing very well in the first few minutes. I did perfectly. Even I got two thumbs up from Boy, the committee. As times went by, Alif might have got bored listening to my gentle, beautiful and expressive voice all the time. He put himself back and played with his phone.
What?
What is he doing?
What should I do?
Should I keep telling him?
Should I just enjoy the movie myself?
Damn
Instead of knowing nothing what to do, I poked Boy and asked what to do with that situation. I asked with no words but just with my hands moving here and there showing "What the hell should I do? He is playing with his phone."

Unexpectedly, Boy sat next to me close her eyes and said "Okay, I close my eyes and you describe the movie to me".
"Are you kidding? You can just see it yourself".
"Common, go ahead."
Well, I did as she requested until sometimes we found out that Alif still not stop playing with his phone. A few minutes later, Alif asked for help to go to toilet and Boy took him out. Once Boy was back, I asked "Do I really have to do this?"
"Yes. Until you're tired."
"Well. I'm tired already."
"Oh really. Okay."
And for the rest of the movie, I enjoyed it myself. What a wonderful life!

It was such an interesting experience, wasn't it? To have the real blind-date ever in my life. And anyway, as the movie was over, I didn't see Alif around. He might have run away to find the better blind-dated partner.



 

Thursday, August 10, 2017

Gara-gara Guru

Tok tok tok
“Assalamualaikum” Bapak suryo mengucap salam sambai berdiri tepat di sebelah pintu utama yang masih tertutup. Tapi, di depan rumah ada banyak anak anak yang sedang bermain sepeda dan diawasi oleh beberapa ibu-ibu. 

“Waalaikumsalam” Terdengar balasan salam dari dalam rumah. Suara seorang perempuan dibarengi langkah mendekati pintu.

“Oalah, Pak Suryo, mari silahkan masuk Pak, Bu”, Ibu Karni membuka pintu sambil mempersilahkan masuk dengan menggunakan jempol tangan kanannya menunjuk ke tempat duduk plastik sederhana di ruang tamu. Kursi plastik empat buah melingkari meja segiempat berwarna ungu itu biasa menerima tamu-tamu. Meja plastiknya pun diperindah dengan telapak meja berwarna merah muda berihiaskan sebuah bunga besar di bagian tengahnya, hasil sulaman Ibu Karni sendiri di sela-sela waktu luangnya.

Pak Suryo tidak datang sendiri. Dia datang dengan Ibu Ida. Mereka berdua  menuju tempat duduk. Ibu Karni pun kemudian menyusul duduk. Karena terlebih dulu masuk, Pak Suryo duduk di bagian kiri meja dengan mmbelakangi jendela kaca yang tertutup gorden. Karena tidak ingin terkesan menyusahkan, Bu Ida memilih untuk duduk tepat di kursi membelakangi jendela kaca depan, dekat dengan pintu.

"Mungkin Ibu sudah mengetahui maksud kedatangan kami. Kami sangat menyayangkan karena Fandi belum juga kembali ke sekolah. Apakah Ibu sudah berbicara dengan Fandi?"

"Sudah, Pak. Saya sudah ngomong sama fandi buat berangkat sekolah lagi. Saya bilang aja, gak enak sampe guru kelasnya datang kerumah. Dia sih cuma diem aja pak. Kemaren itu si Fandi sempet berangkat. Tapi saya juga gak tau kenapa kok gak mau masuk lagi."

Pak Suryo dan Bu Ida menyimak cerita Bu Katni. Ketiganya pun diam sejenak. Pak Suryo menoleh ke arah Bu Ida dan saling pandang sejenak. Seketika Bu Ida berujar.

"Kalau boleh tahu Ibu, apa Fandi tidak cerita alasan kenapa dia tidak mau kembali lagi ke sekolah? Karena kami sangat berharap Fandi bisa kembali lagi ke sekolah".

"Saya juga pengennya begitu, Bu. Fandi gak cerita apa-apa, Bu. Cuma diem aja. Saya juga bingung."

Pak Suryo menunduk berusaha menguraikan rangkain peristiwa yang terjadi dan informasi yang sudah didapat. Dia bingung bagaimana harus menyelesaikan permasalahan ini. Napas yang dalam pun diambil dan dihembuskan perlahan.

"Baiklah, Bu. Mungkin memang ini sudah menjadi pilihan Fandi. Kami sudah berupaya sesuai kemampuan kami. Tapi bagaimanapun juga, kami masih mengharapkan Fandi kembali ke sekolah. Insya Allah, pintu sekolah selalu terbuka."
Pak Suryo dan Bu Ida mohon undur diri dan meninggalkan rumah yang setengah jadi  itu dengan lantainya yang masih kasar dan bertembokkan batu bata merah.
------------
Waktu sudah menunjukkan jam 10 malamm dan Fandi belum juga pulang. Masih ada beberapa lembar triplek yang perlu di pasang di langit-langit bangunan. Hari ini Fandi akan kerja lembur. Pekerjaanya memang tidak terlalu berat jika dibandingkan pekerja proyek lainnya dengan gaji yang tidak jauh berbeda.

Fandi menghabiskan kurang lebih satu jam mengendari sepeda motor tuanya itu yang sudah dianggap seperti kekasihnya karena selalu menemani kemanapun dia pergi. Sambil beristirahat di atas kasur, Fandi ngobrol dengan seorang wanita yang baru saja dikenalnya lewat aplikasi chatting online. Obrolannya sangatlah ringan seperti tinggal dimana, berkegiatan apa, tinggal dengan siapa. Pertanyaan-pertanyaan umum untuk anak muda yang sedang pdkt (pendekatan) mencari mangsa calon pacar. Meskipun baru saja saling mengenal, mereka berdua asik bercerita, saling tanya dan jawab. Terkadang diam, bercanda, tertawa, meledek. Obrolan berlanjut sampai malam semakin larut dan keduanya pun mulai mengantuk akut. Suara si gadis  sewaktu-waktu hilang  di telepon karena tertidur.
------------
"Nis, nanti aku minta izin buat pulang duluan yah. Soalnya aku gak enak badan nih. Badanku berasa meriang". Fandi melapor ke teman sebangkunya untuk pulang lebih awal. Sayangnya ibu guru tidak mengizinkan.

"Kenapa Fandi? Sakit? Makanya jangan keseringan mancing di empang." HAHAHHAHAHA. Gelagak tawa sontak dating dari semua anak di kelas.

"Noh dengerin. Makanya jangan keseringan main di empang." Celetuk salah satu anak.

"Lagian, sering-sering mancing, pernah dapet aja kagak." Sahut anak lainnya.

HAHAHHAHAHA. Sorak tawa pun berulang lagi.

"Gak papa, Nis. Aku masih kuat kok nahan sampe nanti pulang sekolah". Fandi berbisik ke teman sebangkunya yang dimintai tolong untuk meminta izin ke Ibu Guru.
--------------
Semakin Fandi mengenal si gadis, semakin dia merasa minder karena gadis yang saat ini sedang dekat dengannya itu jauh lebih berpendidikan tinggi dibandingkan dirinya yang bahkan tingkat SMP (Sekolah Menengah Pertama) pun tidak tuntas. Fandi menyesalkan apa yang terjadi padanya. Tetapi apalah daya, manusia terlalu lemah bahkan tak berdaya dengan apa yang sudah  berlalu. Inilah yang Fandi saat ini.
-------------
"Iya. Waktu itu Ibu Retno bikin aku malu udah di kelas. Makanya aku gak mau sekolah". Fandi mengiyakan apa yang Ibu nya katakana dan memberikan jawaban singkat setelah sebelumnya ada seorang tamu datang ke rumah.

Ibu Retno yang tinggal tidak jauh dari rumah Fandi tiba-tiba datang berkunjung. Setelah dipersilahkan masuk dan duduk di salah satu kursi ruang tamu, belum sama sekali ada kata terucap tetapi hanya kepala yang menunduk dan tangan yang beradu saling meremas satu sama lain. Pemandangan ini membuat Ibu Katni tak tahu bagaimana harus memulai pembicaraan karena khawatir tidak sopan mendahului.

Seketika suara tangis pecah dari Ibu Retno sambil berkata "Saya mohon maaf Bu".
"Lha mohon maaf buat apa tho, Bu?"
"Semua ini gara-gara saya."
"Apanya yang gara-gara Ibu?"
"Fandi tidak mau sekolah itu karena saya."
"Duh, saya kok jadi bingung. Saya gak ngerti maksud Bu Retno ini."

Ketika Fandi sakit dan meminta izin untuk pulang, Ibu Retno bukannya memberikan perhatian dan mengizinkan Fandi pulang tetapi malah meledeknya. Ibu Retno meledek hobi memancing di empang jadi penyebab Fandi sakit. Beberapa hari sebelumnya tidak sengaja Ibu Retnoo melewati empang di dekat perumahanya dan melihat Fandi ada disana. Ledekan Ibu Retno pun langsung jadi bahan tertawaan semua anak-anak di kelas.

Fandi merasa malu. Fandi merasa marah. "Kenapa hobiku dibawa-bawa ke sekolah?" Fandi tidak suka dengan sikap Ibu Retno. Sudah lama Fandi menyembunyikan hobinya memancing dari teman-temannya di sekolah kerena tidak mau jadi bahan tertawaan. Fandi membenci Bu Retno, dan tidak ingin melihatnya lagi dengan meninggalkan sekolah. Tetapi, bergulirnya waktu telah menggerus dan meleburkan rasa kesal dan benci kepada Ibu Retno yang hampir setiap hari dia lihat di sekitar rumah.


-----------
Si gadis pun mulai sedikit demi sedikit menjauhi Fandi dengan mengurangi komunikasi lewat pesan ataupun telepon, setelah dia tahu bahwa Fandi memiliki kekurangan perbekalan pendidikan untuk menghadapi masa depan. Inilah pilihan si gadis.

Lalu bagaimana dengan Fandi? Saat ini, Fandi masih harus terus melanjutkan perjalanan kehidupannya dengan pendidikan setinggi tangga bangku SMP. Hidupnya kini adalah hasil keputusannya yang lalu, termasuk menjauhnya si gadis yang didambakan. Semoga Fandi masih menyimpan harapan di masa depan dengan keputusan-keputusannya di kehidupan saat ini.



ATLAS.ti keren! (Day 129)

Aku ke kampus agak siangan buat ikutan sesi training cara pakai ATLAS.ti buat analisa data, terutama analisa qualitative. Keren banget sih t...