Thursday, April 22, 2021

How to be Self-disciplined and Self-motivated

I was invited by a friend teaching in Grade 5 at Global Jaya School to be a guest speaker in a student camp that they were conducting virtually. There were some topics offered that I could choose and I picked 'How to be Self-disciplined and Self-motivated.' I did some research on Google and found a lot of information about it. I read some books and articles as my reference. Interestingly, the student camp organizer expected me to not only lecture the students but also engage them in some hands-on activities during the session. Well, it was interesting and challenging at the same time. 

After collecting some information and took notes on some important points, I got some points to be shared with students in the simplest way and words. And, guess what? I got an idea of which activity to do while I was in the bathroom about to brush my teeth. Hillarious! Ideas may come at any time. Here is my lesson plan. 

Exhibiting Self-discipline and Self-motivation for Grade 5 Students

By the end of this session, students are able to:
- Describe what it means to be self-disciplined and self-motivated
- Explain why it is important to be self-disciplined and self-motivated
- Demonstrate self-discipline and self-motivation in daily life

Materials needed:

1 big (or 2 small) brown used cardboard box
2  pieces of one sided used A4 paper 
2 m of plastic ropes/ old fabric/ or anything can be used to tie
Glue, scissors, a pen, a pencil, an eraser, coloring markers/pencils/crayons, 

Opening (20 min)

Introduction (5')
Ice breaker (15')

Red light, Green light - Let students pick a move (jumping, running, flying, or swimming) and listen to the instruction. Students move on the Green light and stop on the Red light.
Then, briefly share some ideas on why there is a traffic light, what it is for, how some people may obey it or ignore it, and what consequences that may happen. Relate this analogy to the concept of self-discipline and self-motivation. 

Activitiy (60 min)

Introduction to self-discipline and self-motivation (15')

- Students are ready with a piece of paper and a pencil.
- Students follow the instructions given to draw some shapes on the paper - triangle, circle, square, rectangle. (The goal is not mentioned)
- T reviews the drawing made by the students that without knowing the purpose or the goal of what the Ss do, Ss will have no clear idea what actually Ss are doing or making. 
- Ss are ready with another piece of paper and a pencil.
- Ss follow the instructions given to draw a car by making some shapes - 2 circles, rectangle, triangle, 2 squares. (The goal is mentioned)
- T reviews the Ss' drawings and introduces the importance of the goal to be self-disciplined and self-motivated.

How to be self-disciplined and self-motivated (45')

Draw a triangle on the cardboard with the 20 cm baseline and 10 cm height.
- Draw  4 rectangles on the cardboard. Each of them has 20 cm of length and 5 cm of width.
- Punch 2 holes on two corners of the triangle to tie the rope later on.
- Punch 2 holes on the right side and 2 holes on the left side of the rectangle. 
- Tie the rope through the holes with the triangle as the top and followed by the other four rectangles.
- Answer the following questions and write the answer on the cardboard. (an example is provided)
Triangle: GOAL (What do you want to achieve? I want to be an architect)
Rectangle 1: REASON (Why do you want it? I want to build a nice and safe place where people can enjoy staying there)
Rectangle 2: OBSTACLES (What may stop you from it? I feel lazy to study, I want to sleep more, I watch Youtube too much, I love playing games)
Rectangle 3: HABITS (What to do to make it? Study hard, go to the best university to be an architect, find out some studies about architecture, learn from books, Youtube, or anywhere)
Rectangle 4: PROGRESS (What have you done so far? I am following some famous architects on social media, I learn from architects on Youtube, I do very well in Math.)

Closing (10 min)

Summary
Q&A

Here is the slide I presented during the session. And, below is its references.

https://www.wellsanfrancisco.com/how-to-be-self-disciplined/
https://dariusforoux.com/self-discipline/
https://www.mindtools.com/pages/article/self-discipline.htm#:~:text=Self%2Ddiscipline%20is%20the%20ability,re%20feeling%2C%20physically%20or%20emotionally.&text=Motivation%20and%20willpower%20contribute%20to,your%20intentions%2C%20and%20hard%20work.
https://www.uopeople.edu/blog/self-discipline-for-students/





Saturday, April 3, 2021

Tentang Mbah Uti-ku #Day30

Catatan ini sudah aku tuliskan sejak 21 Nov 2017 dan baru saat ini aku bisa merapikannya. 

Mbah Uti ku meninggal beberapa tahun lebih dari 15 tahun yang lalu. Mbah Uti itu sapaan untuk Mbah Putri di Bahasa Jawa, Bahasa Indonesianya Nenek. Bahkan aku baru tau nama aslinya Mbah Uti itu ketika aku mulai beranjak dewasa di tingkat SMA (Sekolah Menengah Atas). Aku baru saja baca buku tentang menulis dan di bagian akhir buku ada lampiran beberapa hasil tulisan para pemenang lomba menulis ibu-ibu lanjut usia. Salah satu ceritanya bercerita tentang nenek, dan tiba-tiba aku teringat Mbah Utiku.

Mbah Utiku itu perkasa
Jarak antara rumahku ke rumah Mbah Uti itu tidak deket, kurang lebih 3 - 4 km. Biasanya Mbah Uti kalau sedang kangen sama cucu-cucunya, Mbah Uti akan langsung datang ke rumah tanpa pikir panjang. Pada waktu itu masih jarang sekali ada angkot atau pransportasi umum di sana, bahkan bisa jadi dalam sehari itu cuma lewat cuma sekali bolak balik. Makanya, sering sekali Mbah Uti jalan kaki. Seingatku dulu Mbah Uti punya sepeda unta cewek (hehe aku tidak tahu apa nama jenis sepeda ini dalam Bahasa Indonesia). Sepeda unta itu model sepeda zaman dulu yang bagian depannya tidak ada penghalangnya, makanya aku sebut sepeda wedok (cewek) karena biasanya dipakai perempuan. Sayangnya aku tidak bisa bercerita banyak soal sepeda itu karena seingatku jarang sekali Mbah Uti datang ke rumah pakai sepeda. Meskipun Mbah Uti selalu datang dengan jalan kaki, Mbah Uti tidak pernah datang dengan tangan kosong. Pasti ada saja yang dibawa. dan, bawanya tentengannya itu tidak cuma satu atau dua plastik kecil, tapi satu keranjang besar yang digendong belakang pakai selendang. Mbah Uti memang perempuan perkasa. 
----------
Salah satu orang yang sudah membentukku jadi pribadi saat ini adalah Mbah Uti. Salah satunya adalah karena keperkasaannya yang aku ceritakan di atas. Berikut adalah hal-hal lain tentang Mbah Uti. 

Jadilah perempuan anggun
Pernah suatu ketika aku sedang makan dengan duduk di lantai. Aku masih kecil saat itu. Aku makan dengan membuka kaki lebar alias ngangkang dan  meletakkan piring di tengah tengah kaki. Waktu itu ada Mbah Uti yang duduk di sebelah ku sedang menginang. Mbah Utiku menarik salah satu kakiku dan mendekatkannya ke kaki yang lain. Katanya "Perempuan itu duduknya yang rapet." Sejak saat itu juga aku tidak lagi duduk dengan kaki terbuka lebar. Setidaknya bersila. Dan, aku perhatikan Mbah Uti memang selalu meluruskan dan merapatkan kakinya dengan menopangkan satu kaki di atas lainnya setiap kali duduk di lantai. 

Kamu ingin sesuatu, berusahalah
Setiap kami para cucunya libur sekolah, kami diajak Mbah Uti untuk ikut ke ladang memanen hasil kebun seperti kacang hijau, jagung, padi dan lain-lain. Nah, Mbah Uti selalu bertanya apa yang kami ingin beli. Tapi, itu harus keperluan sekolah. Ada kalanya aku ingin sepatu, buku, tas, atau seragam baru. Setelah menanyakan satu per satu tentang apa yang ingin kami beli, kami semua diajak Mbah Uti pergi ke kebun beramai-ramai. Bahkan, ada kalanya kami di ajak ke pasar untuk menjual hasil panen dan langsung beli apa yang kami inginkan. Aku masih ingat sekali waktu itu aku, Mas Munir, Mas Imam, dan Dila diajak ke kebun untuk memanen kencur. Kami membagi tugas, ada yang menggali dan ada yang membersihkan tanah dari kencurnya. Yang paling melekat di ingatanku adalah waktu itu mas Imam dan Mas Munir bergantian untuk membawa sekarung kencur hasil panen kami ke pasar. Dan, jaraknya sangatlah jauh yang kami tempuh dengan jalan kaki. Luar biasa kan? Tapi rasa lelahnya terbayarkan ketika kami dibelikan barang-barang yang kami inginkan. Sangat senang rasanya. 

Mbah Uti adalah wanita panutan kedua setelah Mamak dalam hidupku. Aku bersyukur masih diberikan kesempatan untuk masih bisa bertema dan belajar dari Mbah Uti sebelum meninggal dunia. 

Friday, April 2, 2021

A Discussion on Thoughts of Indonesian Muslim Scholars #Day29

The following note was taken when I was teaching Islam Subject part-time at Sampoerna Academy. According to the date saved here, I put it in this blog on November 11th, 2017. And, I have never touched it since then. 
----------

In this term, I decided to have my Grade 12 students do a research on how Indonesian Muslim scholars view religious tolerance. The information to be collected and presented consisted of the scholars' basic information, educational background, opinion on religious tolerance, and how they call on all Muslims in Indonesia to show religion tolerance. Additionally, the students had to give their own opinion responding to the scholars' views if they agree or disagree along with their arguments. The instruction covered in the following questions.
  • Who is the scholar?
  • What is his/her educational background?
  • What does the scholar think about tolerance?
  • Do you agree with his/her opinion? Why?
  • How does the scholar mostly call on Muslims in Indonesia to religious tolerance?
I searched on Google by typing "daftar tokoh Islam Indonesia". Wikipedia provided a list of names, but I picked only some and put them in my list. To choose the scholars to be discussed by the students, I considered two points, the scholars' influence  or contribution to the development of Islam in Indonesia and the availability or access to relevant information on the internet. 
  • Abdullah Gymnastiar (Aa Gym)
  • Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
  • Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka)
  • Prof. Dr. Quraish Shihab
  • KH Mustofa Bisri
  • Habib Rizieq Shihab
  • Felix Siauw
  • Zainuddin MZ.
Once the list above was presented, one of the students came up with her own choice which was Ulil Abshar Abdala, so I let her go with it. One class period (around 45 minutes) was allocated for students to collect the relevant information and prepare the PowerPoint (PPt) slides. The presentation started in the following week. 

Ulil Abshar Abdalla was first presented. The student shared one of Ulil's writing Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam. Unfortunately, I did not take some notes on it. 

After that, another student shared some information about Habib Rizieq starting from his family background to his educational background. 

Next, it was Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) presented. The student presented well with a lot of information about him and his contributions to Indonesia. From the presentation, I could see that the student was excited about Hamka's excellence and intelligence especially knowing that not only did he study Islam but also western cultures. 

The next scholar was KH. Mustofa Bisri. The student mentioned that according to this scholar, the Islam religion is not a political party. This scholar had always believed to be gentle to others no matter what their religion was. 

Last, the student talked about Felix Shiauw. 

Once, I had a concern that the information collected by the students might be coming from not valid resources. On the internet, anyone can say anything. However, the point that I wanted to make through this discussion was that to introduce my students to different opinions, especially in this religious tolerance issue, among the Muslim scholars who have a lot of knowledge and experience in Islam. During the class, I did not tell the students to agree or to disagree with some specific views of the scholars. I let them decide by themselves. Everyone is entitled to her and his opinion and what we all can do is to respect one another. 

Thursday, April 1, 2021

Should I avoid any failure? It's always painful #Day28

Di bulan Januari lalu aku menciba mendaftarkan diri untuk menempati posisi Subject Matter Expert (SME) di kantor. Ternyata aku masih gagal. Sebelumnya, kira-kira di bulan September tahun lalu aku pun sempat mendaftar, sayangnya aku pun gagal. 

Di proses seleksi tahun lalu, aku bisa melalui tahap penyaringan berdasarkan performance, hasil tes, dan sampi di tahap wawancara. Saat itu aku di wawancarai oleh atasannya atasanku. Waktu itu kanto membutuhkan 2 SMEs dan ternyata seperti yang disampaikan sewaktu wawancara, ada dua kandidat yang sangatlah kuat. Alhasil, mereka berdua lah yang terpilih. 

Tapi, aku merasa senang karena masuk sampai pada tahap wawancara itu memberiku kesempatan untuk berbicara langsung dengan atasanku. Selama ini mungin dia hanya mengenal nama saja. Menurutku, selalu seru dan menyenangkan bisa mengenal orang-orang yang sudah menempati posisi-posisi kepemimpinan. Aku seringkali berusaha untuk mengamati dan mencuri ilmu sebanyak-banyaknya dari bagaimana para leaders (pemimpin) memainkan perannya. Anyway, aku merasa senang karena aku mendapatkan beberapa feedback positive dari ataasannya atasanku itu. 

Du bulan Desember yang lalu, ada lagi posisi SME yang kosong dan aku mencoba lagi mendaftar. Sayangnya, aku bahkan tidak lolos penyaringan karena ada beberapa nilai performance ku yang merah. Akan tetapi pada saat yang sama aku pun merasa senang karena aku mendapat feedback yang sangat bagus dari atasanku dan juga atatsannya atasanku. Bahkan mereka sendiri pun menyayangkan karena aku tidak bisa lolos ke tahap berikutnya. 

Sebenarnya ini bukan yang pertama atau kedua kalinya. Aku sudah mencoba mendaftar berkali-kali. Dan, semakin ke sini, aku semakin sedih ketika aku tidak bisa berhasil terpilih. Apakah aku kecewa? Pastinya. Apakah aku terluka? Pastinya. Ya, inilah yang biasanya aku dan kamu rasakan ketika kenyataan tidak sesuai dengan harapan. Tapi, apalah arti ketidaksesuaian itu kalaupun toh aku masih bisa terus berjalan maju melalui hari-hari dengan banyak hal lain lagi. Pertanyaannya, apakah aku akan mencari-cari kegagalan-kegagalan lainnya? Sepertinya iya. Karena sebuah kesempatan itu adalah sebuah pintu yang aku coba untuk membukanya dengan menggunakan kunci dan alat yang aku punya. Kalau aku masih saja tidak bisa membukanya, aku akan mencari punti kesempatan lain dan mencoba lagi untuk membukanya. Toh, kesedihan itu pun hanya sesaat dan akan terkalahkan dengan perasaan bahagia ku jauh lebih banyak dan lebih besar. 

Kolaborasi #Day27

Di hari Senin yang lalu (29 Maret), teman-teman kuliah S2 Pendidikan Bahasa Inggris UIN Jakarta mengadakan reuni virtual lewat Zoom. Ada beberapa yang hadir seperti Ica (penggagasnya), Anwar, Ratna, Aul, Wilda, dan Afti. Aku bisa hadir sejak awal tetapi tidak bisa mengikuti obrolan dengan jelas karena aku masih dalam perjalanan ke rumah dari Sunway Pyramid dan koneksi internet di HP sangatlah lambat. Jadi, aku baru bisa bergabung lagi setelah kira-kira 30-40 menit sampai di rumah. Aku senang sekali bisa bertemu teman-teman lagi lagi untuk bercerita tentang kabar dan berbagi pengalaman. Saat itu Aul dan Ratna sudah pamit karena perlu mengurus anak mereka.    

Setelah aku menyapa semuanya aku sempat menanyakan ke Ica apa saja agenda dalam pertemuan ini. Entah kenapa aku langsung terpikir begitu. Ada sebuah suara dalam hatiku yang mengatakan bahwa aku tidak mau pertemuan ini hanyalah sekedar haha hihi saja. Perlu ada sesuatu yang dibicarakan sehingga menjadi lebih bermakna dan bermanfaat untuk semua yang hadir. Alhasil, karena dari jawaban Ica sepertinya menunjukkan bahwa tidak ada agenda tertentu, jadi I took a step in to lead the discussion.

Dari sepanjang diskusi yang kami lakukan, ada beberapa hal yang menjadi catatanku dan juga menjadi inspirasiku untuk nanti belajar di tingkat S3.

Kedisiplinan. Anak-anak didik teman-temanku saat ini kebanyakan menunjukan kurangnya kedisiplinan, apalagi sejak kegiatan belajar mengajar berubah ke media online. Beberapa hal yang disebutkan adalah soal persentase kehadiran mereka di kelas dan juga pengumpulan tugas. Ica seringkali dianggap sebagai guru dan dosen yang galak karena dia selalu menekankan kedisiplinan ke anak muridnya. Entah apa yang merasuki anak-anak zaman sekarang. 

Budaya membaca. Ica bercerita banyak soal bagaimana anak muridnya mendapatkan informasi untuk beberapa materi presentasi di kelas ataupun tugas yang diberikan. Ternyata kemudahan akses informasi di Google merupakan sumber informasi yang melimpah untuk mereka. Sayangnya, mereka seringkali hanya serta merta menyalin informasi yang didapatkan untuk di gunakan di kelas, kopas (copy paste). 

Teknologi. Cukup menarik ketika Pak Anwar berbagi beberapa cerita tentang beberapa kegiatan dan pelatihan yang dia lakukan di sekolah dan juga di salah satu institusi pemerintahan hingga saat ini terkait penggunaan teknologi untuk mendukung proses belajar mengajar. Aku sangat mendorong teman-teman guru untuk ikut bergabung dengan Pak Anwar, apalagi ada program certified educators yang ditawarkan. Dia juga bercerita tentang grup Belajar Bicara Bahasa Inggris online dengan pertemuan rutin. Lagi-lagi, teman-temanku harus ikutan juga. 

Kurikulum. Aku kaget ketika Kak Wilda bicara soal kurikulum baru yang di terapkan. Aku kurang paham soal kurikulum tapi yang jelas dia sempat menyebutkan kalau kami ini generasi lama dan sudah ada beberapa hal baru yang diterapkan di sekolah yang bahkan mereka belum mendapatkan sosialisai ataupun pelatihannya. Ya, pastinya seiring berjalannya waktu akan selalu ada perubahan-perubahan. Perubahan itu sesuatu yang tidak bisa disangkal kan. Akan tetapi sangat disayangkan sekali kalau teman-teman tidak mendapatkan pelatihan yang memadai sebelum penerapan dilakukan. 

MGMP. Setelah mendengar sederetan cerita dari teman-teman yang kebanyakan adalah permasalahan dan keluhan selama menjadi seorang guru, terutama guru Bahasa Inggris, aku kemudian menanyakan soal program professional development untuk para guru. Ternyata memang ada, yaitu MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran). Menariknya, aku pun baru tahu soal ini, mereka tidak ada yang mengikuti MGMP sama sekali. Kalian tahu alasannya apa? Karena MGMP biasanya dihadiri oleh guru-guru yang sudah lama dan yang mengikuti ya itu-itu saja, seperti sudah ada kelompok atau geng khusus. Eksklusif sekali ya? Senioritas nya kental ya? Padahal kalau ini terbuka untuk semuanya, mereka bisa bertukar pikiran dan saling berbagi saran untuk menyelesaikan masalah atau tantangan yang di hadapi selama proses belajar mengajar. 

Motivasi. Hal lain yang menarik perhatianku adalah soal motivasi para anak murid teman-temanku. Mereka menceritakan bagaimana anak murid mereka tidak memaknai proses belajar yang mereka lakukan. Bahkan seringkali mereka menemukan anak murid yang menyepelekan dengan kehadiran mereka di kelas dan tidak mengerjakan tugas yang diberikan. Terlebih lagi, mereka yang mengajar di sekolah swasta kadangkala mendapatkan tekanan dari pihak orang tua ketika mereka ingin melakukan beberapa upaya meningkatkan kedisiplinan anak atau mendorong motivasi mereka dalam belajar. Tampaknya cukup sulit. 

Dari sini aku melihat bahwa kami harus berkolaborasi dan bersinergi untuk bersama-sama belajar dan berbagi supaya kami masing-masing terus melakukan perbaikan dalam bidang kami masing-masing. Semoga ini bisa kami wujudkan, setidaknya aku bisa melakukan langkah-langkah kecil. Apakah itu? Akan aku ceritakan nanti di waktu lain. 


Wednesday, March 31, 2021

Ketidakabadian #Day26

(Catatan 5 Februari 2020)

Gambar demi gambar

Senyuman demi senyuman

Kata demi kata

Semuanya terus menerus silih berganti

Setiap waktu sepanjang hari

Ribuan pasang mata melihat

Ikut tersenyum memandangnya

Tapi, itu hanya sesaat

Setelahnya pikiran mulai bergerak liar

Memikirkan hal-hal yang tak seharusnya dipikirkan

Menanyakan hal-hal yang tak perlu ditanyakan

----------

Aku lupa kenapa aku menuliskan kata-kata di atas. Tapi setelah membacanya lagi beberapa kali, sepertinya aku ingin mengungkapkan bahwa kadangkala kita bisa terpesona akan sesuatu hal yang membuat kita tersenyum bahagia karenanya. Akan tetapi itu tidak bertahan lama, karena seketika pikiran kita dengan sangat mudah dialihkan dengan banyak hal lain yang malah sebenarnya tidak sedang ada di hadapan atau depan mata kita. Ada hal ketidakabadian di sini, dan juga keliaran pikiran kita sendiri. 



Get to know yourself #Day25

(Catatan 26 May 2020)

Tadi sore ada Dian curhat panjang soal drama yang terjadi dikosannya dengan beberapa teman kos lainnya. Panjang lebar. Terlalu panjang untuk ditulis disini. Aku cuma bisa bilang, semoga kedepannya hubungan mereka semua bisa menjadi lebih baik dan lebih dekat setelah mereka semua berbicara tentang keluh kesah satu sama lain.

Ternyata obrolan sore belum berakhir. Dian lanjut sharing metode managemen rasa takut setelah sebelumnya dia shared video managemen emosi. Banyak banget kayanya yang menurut dia perlu diperbaiki di dirinya. Tapi, itu bagus banget lho. Untuk mengakui diri sendiri punya masalah dan berinisiatif buat cari solusi menangani masalah itu bagus banget. 

Katanya dia menemukan terapi atau refleksi tapi ala agama Katolik dan katanya dia mau lihat-lihat cara di masing-masing agama. Nah ini pun bagus juga, iya kan? Jadi, nanti kita bisa menemukan kesamaan dan perbedaan masing-masing. Kalau pas ketemu persamaannya akan jadi menarik. Jadi ketahuan benang merahnya ada apa dan di bagian mana. Akhirnya dia jadi penasaran dan bertanya bagaimana kalau tata cara di agama Islam. Aku langsung bercerita apa yang aku tahu berdasarkan pengalaman-pengalamanku, terutama masa-masa hidup di asrama dan ikut beberapa kegiatan Pramuka. 

Biasanya, muhasabah diri atau bisa juga disebut perenungan atau refleksi diri, diawali dengan sholat tengah malam sendiri di waktu yang sepi dan sunyi. Kemudian dilanjutkan dengan tadarus secukupnya dan memperbanyak dzikir, terutama istighfar (permohonan ampun) kepada Tuhan, berserah diri (la haula wala kuwata illa billah), mengakui kelemahan dan keterbatasan diri, dan juga hamdalah untuk memuji Tuhan sebanyak-banyaknya atas segala kebaikan dan kenikmatan yang telah diberikan. Dan, masih ada banyak dzikir-dzikir lain yang bisa dilafadzkan dan direnungkan. 

Kemudian, obrolan masih terus berlanjut panjang. Kayanya aku akan kecapean mengetik deh... aku share videonya aja deh dsini...

----------

Ini adalah masalah yang terjadi ketika tidak langsung menuliskan apa-apa yang muncul seketika di pikiran, pada akhirnya akan terlupa dan belum tentu bisa mengingat lagi. 

Belajar dari Republik Plato #Day24

Catatan ini selesai aku buat tanggal 27 Juli 2020 setelah aku baca bukunya.

Bab 1 Konsep keadilan dan ketidakadilan, mana yang baik dan mana yang jahat, keuntungan apa saja yang bisa didapatkan dari masing-masing, siapa saja yang adil dan siapa saja yang tidak adil, bagaimana konsep keadilan dari hal yang paling kecil yaitu individu dan yang paling besar dalam sebuah negara. 

Bab 2 Pembentukan suatu negara yang membutuhkan berbagai peran dari anggota negaranya, masalah yang mungkin muncul seperti perang suatu saat nanti, dibutuhkannya pribadi yang baik dan berani, cerita-cerita atau kisah-kisah yang perlu ditanamkan sejak kecil untuk membentuk kepribadian tersebut dengan mensensor berbagai cerita-cerita yang ada. 

Bab 3 Dalam menciptakan para serdadu atau tentara pembela negara, mereka perlu dibentuk dalam kepribadian melalui musik dan kekuatan melalui senam karena ketika terlalu banyak musik maka jiwanya akan terlalu lembut seperti perempuan. Dan jika hanya senam, maka dia akan mengandalkan kekuatan saja dan kekerasan dalam menyelesaikan berbagai masalah. Selama para serdadu atau tentara mengemban tugasnya, hendaknya negara memberikan gaji atau upah secukupnya saja untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka beserta keluarganya karena jika yang diperlukan itu berlebih, maka mereka akan lebih sibuk mengelola hasil kekayaannya daripada fokus dalam mengemban tugasnya dan akan menjadikannya lemah. 

Bab 4 Membicarakan tentang empat hal mendasar yang harus ada dalam suatu negara yaitu keadilan, kebijaksanaan, kebaikan dan keberanian. Ketidakadaan satu dari empat tersebut bisa ditelusuri dari bagian yang lainnya. Intinya keempat hal tersebut berkaitan erat. Dalam membentuk sebuah negara dengan memegang prinsip keadilan, ini dapat diraih dengan setiap orang fokus melakukan satu hal peran dibidangnya semaksimal mungkin tanpa terjadi adanya saling silang peran antara yang satu dengan yang lainnya. Ketika seseorang berperan dalam suatu hal yang bukan ahlinya, maka itu menunjukkan ketidakadilan dan merupakan awal dari kehancuran sebuah negara. Ketiga prinsip lainnya dibahas tetapi aku tidak terlalu memahami dengan baik. Oya, soal keberanian masih terkait dengan pembahasan di bab selanjutnya tentang musik dan senam untuk menciptakan pribadi yang berani dan kuat. 

Bab 5 Pemimpin hendaknya seorang filsuf yang cinta akan pengetahuan, kebenaran, cinta akan kasih sayang. Ketika kita sakit akan pergi ke dokter, bukan dokter yang meminta-minta. Seperti itu juga hendaknya filsuf dijadikan pemimpin. Filsuf itu cinta kebenaran yang akan terus dipelajari dengan cinta akan pengetahuan. Di bagian trakhir yang aku baca membicarakan tentang mata dan matahari. Mata kemampuannya luar biasa tapi sama sekali tak berdaya ketika tidak ada cahaya yang berasal dari matahari. Matahari dan mata sama-sama luar biasa tapi matahari lebih dahsyat dan mempunyai cahaya yang membuat banyak keindahan terlihat oleh mata. 

Duh, aku sudah ketinggalan dua bab.

Bab 8 Di akhir bab ini membicarakan bahwa pemerintahan oligarki akan menimbulkan masyarakat yg menuntut kebebasan. Kemudian, ketika sebuah negara berdasarkan demokrasi kebebasan itu menjadi masalah tersendiri. Rakyat seperti menjadi pemimpin yang selalu menuntut dan pemimpin menjadi seperti rakyat. Disitulah akan mulai munculnya pemerintah tirani dimana orang yang berkuasa adalah mereka yang mendapatkan pendukung paling banyak. Ada kemungkinan besar bahwa orang baik akan tersingkirkan dan orang jahat akan berkuasa.

Masih ada dua bab lagi, Bab 9 dan 10, tapi sayangnya aku tidak membuat catatan. Aku perlu membaca lagi untuk mengambil beberapa poin yang menurutku penting. 

Tuesday, March 30, 2021

Manusia itu terbatas ruang dan waktu #Day23

(15 Sep 2019)

Manusia itu terbatas ruang dan waktu, tetapi sekarang hal ini sepertinya tidak berlaku lagi karena keterbatasan ruang dan waktu ini sudah dirobohkan oleh perkembangan teknologi dalam bentuk berbagai sosial media dan berbagai cara komunikasi lainnya. Lalu manakah yang lebih membuat hidup kita bahagia, aman dan nyaman? Apakah keterbatasan itu atau keleluasaan itu. Sepertinya, kita bisa lihat kelebihan dan kekurangan masing-masing sehingga kita bisa lebih bijak dalam bersikap. 

Aku masih ingat sekali pernyataan judul ini disampaikan oleh Abi dari Pesantren Ekologi At-Thariq Garut ketika aku dan Teh Vina berkunjung ke sana untuk belajar dan mendapatkan banyak nasehat. Mungkin sebelumnya aku sudah pernah mendengar ungkapan ini, tapi aku sangat ingin mengingat saat beliau mengatakannya meskipun aku sudah lupa dalam konteks apa saat itu kami berbincang. 

Manusia terbatas ruang dan waktu. Kita semua terbatas ruang dan waktu. Hanya yang ada di sekitar kita saat ini lah yang bisa kita rengkuh atau jangkau, sehingga kita berada di dalam ketidaktahuan tentang apa yang ada di luar jangkauan ruang dan waktu yang kita ada didalamnya. Keterbatasan ini membuat kita akan bertindak dan melihat apa-apa yang kita lihat berdasarkan apa yang benar-benar kita hadapi dan alami tanpa adanya interfensi dari hal-halyang memang berada diluar jangkauan dan kendali kita sehingga dalam menghadapi masalah, kita seutuhnya bertanggung jawab dengan apa yang kita lakukan. Kita akan menjadi lebih fokus terhadap diri sendiri, kemajuan atau kemunduruan diri sendiri dan tidak sibuk dengan bagaimana kehidupan orang lain. 

Akan tetapi, aku merasa sosial media saat ini membuatku mendapatkan terlalu banyak informasi. Apapun yang aku ingin tahu bisa aku dapatkan. Sayangnya kadangkala apa yang aku lihat di sosial media tidak sedikit tentang kehidupan orang lain yang ada di postingan status atau story mereka. Disinilah keterbatasan ruang dan waktu itu tidak berlaku lagi karena aku bisa tahu apa yang terjadi diluar jangkauanku melalui sosial media ini. Kalau memang media dimanfaatkan untuk mendapatkan informasi penting terkait berbagai keperluan yang dimiliki untuk menghadapi tantangan atau memecahkan masalah yang ada dalam jangkauan ruang dan waktu maka sangatlah bermanfaat. Akan tetapi, jika informasi yang didapatkan dari berbagai sosial media adalah mengenai kehidupan orang lain yang pada dasarnya di luar keterbatasan ruang dan waktuku untuk dijangkau secara konvensional, maka ini akan menjadi bahaya. Kehidupanku bisa jadi bukan lagi menjadi fokus dari hidup yang aku jalani untuk menjadi hidup seutuhnya dengan kesadaran penuh akan hal-hal di sekelilingku. Semakin aku melihat kehidupan orang lain yang bahkan tidak ada sangkut pautnya dengan keperluan ataupun apa yang sedang aku jalani di kehidupanku sendiri, maka ini akan membuatku melihat bahwa aku hidup di tengah-tengah atau dalam bayang-bayang kehidupan orang lain. Kamu bisa lihat perbedaanya? 

Dari sini lah aku memutuskan untuk setidaknya mengurangi penggunaan sosial media meskipun bukanlah hal yang salah juga untuk tau beberapa hal yang dilakukan oleh teman dekat maupun jauh, saudara dekat maupun jauh. Salah satu langkah yang aku lakukan adalah dengan uninstall aplikasi beberapa sosial media seperti Instagram dan Facebook dari HP dan hanya membukanya di laptop. Jadi, aku bisa mengisi waktu luang dengan membaca atau menulis catatan di HP. 

Kalau dipikir-pikir, kabar-kabar terbaru di media sosial itu cuma memperbanyak bahkan sampai memenuhi ingatan dan pikiranku yang terkadang atau bahkan seringkali menggangguku untuk berpikir dengan jernih. Bahkan, ada kalanya ini bisa mengintervensi saat aku mengambil keputusan-keputusan penting dalam hidup yang pada hakikatnya terpusat sama diriku sendiri dan akulah yang bertanggung jawab seutuhnya. Oh ya, sudah ada banyak orang bunuh diri gara-gara sosial media karena mereka tidak kuat menerima atau mendapatkan tanggan dari sana. 

----------

Sebelumnya aku sudah membuat tulisan tentang ini di #Day13. Ternyata aku punya catatan handphone tersendiri yang aku tuliskan di atas yang sudah kusimpan sejak dua tahun yang lalu. Akhirnya tertulis juga di sini. 


Funny things #Day22

(Aug 27th, 2020 on the way home from Pangkor Island)

I was on a bus and it was dropping some passengers at one of the bus stations in Malaysia. My friend and I looked around to check where we were exactly because we were not familiar with the surroundings or could hear the driver mentioned the bus station name. Then, all of a sudden, I spotted a group of people, a man and two women were taking a wefie (capturing a picture together using the front camera).

One snap

Two snaps

The thing was that there was a little girl there in the middle front of them following them to pose. In fact, she was actually still a little and a lot shorter than the other three adults, so she was definitely not captured by the camera. 

At a different time, another thing happened right in front of me when I saw a couple, a wife and a husband, taking some selfies on the way boarding onto the airplane. I was just smiling covered by my mask? Why? Because a boy was annoyed and cranky there to the parents. I wasn't sure if it was because he wasn't invited to join in the picture, or maybe he was tired and wanted to get the parents to get into the airplane soon. Well, you know kids. 

----------

What I can see from here is that sometimes I may feel hurt, sad, disappointed, or even angry because of what happens to me, but I think it would make me feel better if I could take just a step back from the situation to have or give a bit distance from it so that I can see is from a bigger and wider angle. In other words, I can look at it from a third-person point of view. I am sure that it is highly possible my response would change into a more positive one, well at least I can see the funny or hillarious side of it.

Sunday, March 28, 2021

Waves of life #Day21

again,
I am sitting here at the beach
feeling each wind blows
listening to each wave comes
watching the shore swept by each beat of the waves
and I see
each time the wave sweeps the shore and beats it slowly, a little mark is left
but once it beats so hard, the wider it gets swept away and the smoother its surface is
and, it makes me think
does it have to be like that?
to get beaten so hard that I can start things over from all the mistakes made and the scars left before... 
then I can draw another one on it 
and again I need to get beaten by another wave so that I can start over to draw another one
all over again and again
I think yes, it will always be like this to keep moving and going 
each wave sometimes takes a while for another to come, but another time it keeps coming again and again without a pause
oh and sometimes, we can even see when it is about to come and predict if it's gonna a big one or the small one
but again, it's a prediction, what happens will always surprise you
(Port Dickson Beach, July 27th, 2020)

Puisi itu aku tulis sejak lama dan aku simpan di catatan HP. Beberapa waktu lalu, aku menyimak kajian Sadhgur dan beliau pun sempat mengambil ombak di lautan sebagai sebuah analogi atau perumpaan. Agak mirip tapi berbeda. Menurut Sadhguru, kehidupan itu seperti lautan yang berombak dengan segala kesulitan, rintangan, dan masalah. Siapapun yang bisa mengendalikan dirinya ketika ombak itu datang, sebesar apapun, orang tersebut akan bisa melaluinya atau bahkan menikmati dengan berselancar. Semakin besar ombak malah akan semakin seru untuk berselancar. Akan tetapi, ketika seseorang tidak mempunya kemampuan itu, orang tersebut akan selalu panik ketika ombak menghantam, akan kehilangan Sarah, atau bahkan akan jatuh dan tenggelam di dalamnya. 

Kalau kamu, apa yang muncul di pikiranmu ketika melihat ombak?

Lingkaran pertemanan #Day20

Akhir-akhir ini ada drama yang terjadi di rumah. Sebenarnya sama sekali tidak penting dan buang-buang umur saja atau bahkan bisa menambah penyakit kalau dibahas dan diperpanjang. Semoga dengan aku menumpahkannya disini aku bisa sedikit meluapkan perasaan dan pastinya ada hal yang bisa aku pelajari untuk kedepannya nanti. 

Dari peristiwa yang terkahir terjadi, soal sangkut paut antara teman serumahku dan mantanku, membuatku berfleksi lagi dan merenungkan lagi hal-hal apa saja yang sudah aku lakukan atau ucapkan. Setelah beberapa saat merenung, aku jadi ingat bahwa dahulu sekali, entah kapan, aku pernah berjanji dengan diriku sendiri bahwa aku tidak akan pernah menjalin hubungan a.k.a pacaran dengan seseorang dari lingkaran pergaulanku contoh, tetangga, teman sekolah, teman kampus, atau teman kerja. BIG NO NO. Aku sempat berusaha mengingat-ingat juga kenapa aku sempat punya prinsip ini. Sepertinya zaman dahulu kala mungkin aku pernah memperhatikan hubungan percintaan entah itu dari TV atau mungkin dari orang sekitar juga bahwa mempunyai hubungan percintaan dengan orang yang berasal dari lingkaran pergaulan itu rumit. Akan ada banyak drama. Semuanya terkait satu sama lain. Akan ada banyak gosip. Informasi entah yang rahasia atau bukan, yang benar atau tidak benar akan mudah sekali tersebar dari mulut ke mulut yang pada akhirnya berimbas juga ke kualitas hubungan itu. Jadi, lagi-lagi, BIG NO NO. 

Dan, mungkin karena prinsip ini sudah mendarah daging di lubuk hati dan ingatan paling dalam jadi aku selalu menjalin hubungan dengan seseorang yang berasal dari lingkaran pergaulan lain diluar lingkaran pergaulanku. Kalaupun toh aku kenalkan dia ke lingkungan pergaulanku, hanya cukup sekedar tahu saja, tidak sampai bisa menjalin komunikasi atau bahkan akrab. Hal ini terus aku lakukan. Kenapa? Karena kalau suatu hari aku putus, aku tidak perlu pusing-pusing lagi dibayang-bayangi oleh kehadiranya di sekitarku. Atau, tidak akan ada lagi pembahasan tentang dia. Setelah putus ya sudah, selesai. Titik. Jadi tidak akan ada sisa drama yang terjadi ketika hubungan sudah berakhir. 

Nah, kesalahan yang aku lakukan tahun lalu adalah memperkenalkan teman serumahku ke saudara kembar pacarku, karena temanku sendiri yang meminta. Aku dan pacarku saat itu sepakat bahwa kami tidak akan mencampuri urusan hubungan mereka berdua dan kami pun tidak mau kalau mereka ikut campur urusan kami juga. Sampai akhirnya suatu hari aku dan pacarku putus. Ada beberapa drama yang terjadi setelah itu antara aku dan teman rumahku, tapi sudah tidak penting lagi untuk diceritakan di sini. Hubunganku jadi tidak baik dengan dia dan dua minggu yang lalu ternyata dia jadian. Bukan dengan saudara kembar mantan pacarku, tapi dengan mantan pacarku. Yang lucu buat aku adalah dia memintaku cari laki-laki untuk dijadikan pacar, jangan pacar dia. WHAT THE FUCK! 

Begitulah malasnya kalau pacaran dengan seseorang yang ada keterkaitan dengan lingkaran pergaulan. Hidupku sudah sangat sibuk dengan berbagai kegiatan dan pekerjaan yang aku lakukan. Drama seperti ini sangatlah tidak  penting dan jadi selilit kecil di gigi aja yang mengganggu dan mengesalkan. Oya, aku baru ingat. Dulu sewaktu SD (Sekolah Dasar) aku suka anak laki-laki tetangga rumah. Kami tidak satu sekolah tapi kami mengaji di tempat yang sama. Inisialny E. Anaknya tampan, pendiam, sederhana dan sewaktu di TPA (Taman Pendidikan Al-Qur'an) bacaan Al-Qur'annya sangatlah bagus. Aku sempat mengirimkan surat ke dia tapi aku lupa apa yang aku tulis waktu itu. Dan, pada saat yang sama di sekolah, aku punya teman dekat. Kami berdua selalu bersaing untuk mendapatkan antara juara 1 atau 2 di kelas. Tapi kami berteman dekat. Waktu itu aku sempat terpikir "Bagaimana ya kalau suatu hari nanti mereka (teman dekatku ini dan si E) pacaran? Dia kan cantik." Alhasil, ternyata benar. Sewaktu di SMP (Sekolah Menengah Pertama) mereka pergi ke sekolah yang sama di Sukoharjo, desa sebelah, dan mereka pacaran. Sejak saat itu juga aku merasa kesal dengan temanku itu dan hubungan kami mulai renggang. Eh, aku jadi kepikiran, sepertinya nanti kalau aku pulang kampung, aku perlu ceritakan tentang ini ke teman dekatku itu. Dia sudah menikah dan punya dua anak sekarang. Dan, juga aku ingin bertanya soal suatu masalah di sekolah sewaktu kami kelas 6 karena kami saling ngambek sampai di mediasi Pak Azis. Apa ya masalahnya?

Anyway, intinya, lagi-lagi, BIG NO NO punya pacar dari lingkaran pergaulanan yang sama ataupun menghubungkan pacar ke lingkaranku. Dan, BIG YES YES buat jalin hubungan sama orang yang lingkarannya beda, sebeda-bedanya, dan jauh, sejauh-jauhnya. 


Tuesday, March 23, 2021

Pesan-pesan Dalai Lama #Day19

Dua bulan yang lalu aku memesan beberapa buku online di Shopee dari Big Bad Wolf Books. Salah satu buku yang aku beli adalah tentang Dalai Lama. Bukan tentang latar belakang atau perjalanan hidupnya, tapi lebih tentang pemikiran ataupun ajaran dan nilai-nilai yang ingin dia sampaikan dan sebarkan di seluruh dunia ke semua orang. Kalau tidak salah, aku dengar nama Dalai Lama untuk pertama kalinya dari Ibu Nisa, salah satu dosen S1-ku. Aku sudah tidak terlalu ingat momen apa waktu itu, atau apa yang Ibu Nisa sampaikan. Yang jelas, pada saat itu juga aku mulai ingin tahu tentang Dalai Lama. Aku mulai penasaran. Anehnya, sejak saat itu akupun tidak pernah searching di internet atau baca buku tentang Dalai Lama. Eh, sepertinya aku sempat Googling, tapi tidak banyak informasi yang aku ingat. Oleh karena itu, karena ada diskon besar-besaran di BBW, aku beli buku tentang Dalai Lama. 

Dari sekian buku yang aku beli, lebih dari 10 buku, aku langsung baca buku yang satu ini dan aku berencana untuk menuliskan apa yang aku baca setelah aku selesai. Karena jumlah halamannya tidak terlalu banyak, aku bisa selesai kira-kira tiga hari. Sayangnya aku tidak langsung menulis. Aku tunda terus-terusan. Tapi, waktu itu aku sempat menandai bagian mana yang ingin aku tuliskan. Di bagian akhir buku ada rangkuman poin-poin nilai yang ingin Dalai Lama sampaikan. Di tulisan sini aku tidak akan menyampaikan ulang apa yang tertulis di buku, tapi aku ingin menuliskan apa saja yang sudah aku pelajari dan aku pahami dari sana. 

Ada 6 prinsip mendasar menurut dalai lama:

Pertama, bebas kekerasan. Pastinya seburuk apapun konflik yang terjadi antar individu ataupun antar kelompok, kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah. Seingatku ini jugalah yang jadi salah satu misi Mahatma Gandhi di zamannya untuk melawan penjajahan yang dia dan rakyatnya alami saat itu. Adu kekuatan dengan kekerasan bukannya menyelesaikan sebuah masalah malah sebaliknya akan semakin memperburuk situasi dan menjatuhkan banyak korban. So, what's the point? 

Kedua, toleransi. Tolerasnsi inilah yang menurutku sangat penting untuk terus diperkuat terutama di negaraku Indonesia tentang toleransi antar agama. Pengelompokan orang ke dalam beberapa agama membuat mereka melekat dengan status dan identitas masing-masing dan seringkali secara mereka tidak sadar menimbulkan eklusivitas masing-masing sehingga toleransi dengan kelompok lain semakin terkikis. Alhasil, mudah sekali untuk mengadu domba dan menimbulkan konflik antar kelompok. Lebih parah lagi kalau sampai kekerasan pun juga dilakukan. Makanya, Dian, temanku, pun pernah bilang andaikan saja tidak ada agama di dunia ini yang mengotak-ngotakkan orang, pastilah lebih damai. 

Ketiga, menerima setiap agama dengan keunikannya. Aku sangat setuju dengan prinsip ini. Semakin aku dewasa dan semakin aku membuka diri untuk berdialog dengan teman-teman dari agama lain atau bahkan mengikuti pengajian di agama lain, aku semakin menemunkan bahwa setiap agama menganjurkan untuk melakukan perbuatan baik dan berkasih sayang antar sesama. Sesama dengan siapa? Ya sesama manusia dan makhluk hidup lainnya termasuk hewan, tumbuhan dan makhluk hidup lainnya. Jadi, tidak terbatas hanya ke sesama dalam kelompok agama itu saja. Hanya saja memang setiap agama mempunyai caranya masing-masing dalam mengekspresikannya yang perlu kita hormati.

Keempat, what religion means today, the Pope of the East replied, "A religious person is someone who collaborates in preserving the Earth." Ya, betul juga. Jadi, pelestarian bumi ini menjadi tujuan besar bersama seluruh umat manusia terlepas dari agama apapun yang di anut. Dengan kata lain ini bisa menjadi agama atau keyakinan universal bagi semuanya. Tapi ya lagi-lagi, terlalu banyak orang-orang yang dalam beragama terlalu mempertimbangkan persoalan surga dan neraka, pahala dan dosa dari amalan-amaln ibadahnya setiap hari. Apalagi hal hal teknis dan sederhana yang sebenernya tidak perlu menjadi bahan perdebatan lagi. Padahal ada misi yang lebih besar, yaitu melestarikan bumi ini. 

Kelima, kesabaran. Pastinya tidak ada hal yang secara instan terwujud. Semuanya membutuhkan waktu. Ada yang cepat dan ada juga yang lambat. Apalagi ini terkait urusan semua umat manusia yang bahkan setiap dari mereka memiliki kepentingan-kepentngan masing-masing, entah di level individu atau kelompok. Pasti bumi ini bisa kita terus lestarikan kalau semua orang yang sudah peka dan peduli tetap terus bergerak dan menyebarkan pengaruh baiknya ke semua orang, setidaknya dimulai dari lingkaran sosial sekitar terdekatnya. 

Keenam, kematian dan kelahiran kembali. Ada banyak sekali kitab suci yang menyajikan konsep tentang kematian dan kelahiran kembali di beberapa agama tertentu. Tetapi, kita tidak pernah tahu secara pasti apa yang akan terjadi nanti ketika kita sudah meninggal dunia, apakah kita akan masuk surga, atau masuk neraka? Atau mungkin sebenarnya surga dan neraka itu tidak ada? Dan soal kelahiran kembali, dalam bentuk apakah aku akan terlahir kembali nantinya? Apakah menjadi lebih baik atau lebih buruk? Apalah artinya memperdebatkan atau merisaukan bagaimana kehidupan setelah kematian atau kelahiran kembali nanti kalau bahkan kita pun tidak ada yang tahu bahwa sedemikian rupalah yang akan terjadi. Intinya adalah, biarkanlah persoalan ketidakpastian dalam kematian dan kelahiran kembali itu, lebih fokuskan kepada apa-apa yang bisa kita lakukan saat ini di kehidupan sekarang yang jelas-jelas kita ada di dalamnya. 

Inilah akibatnya kalau jarak antara membaca dan manulis cukup jauh, ada beberapa pemahaman atau ide yang mungkin sudah terlupakan atau hilang. Setidaknya satu daftar keinginan atau rencana ku sudah tertunaikan. Alhamdulillah. 


Sunday, March 21, 2021

Berkunjung ke dokter hewan #Day18

Dua hari yang lalu kucing Dian, namanya Kuro, sempat muntah-muntah dan tidak mau makan. Belajar dari pengalamanku sebelumnya merawat anak-anak di rumah, Ciki, Coki dan Moki, aku sarankan Dian untuk bawa Kuro ke dokter hewan saja. Kemarin dia langsung bawa Kuro ke dokter dan katanya Kuro cacingan. Dian bilang kalau ini pengalaman pertamanya ke dokter hewan dan dia suka berkunjung ke sana.

Aku jadi ingat beberapa waktu lalu ketika aku berkunjung ke dokter hewan pertama kalinya untuk menjenguk Ciki yang waktu itu dirawat di sana selama beberapa hari. Waktu itu aku tidak terlalu memperhatikan sekitar karena aku sangat khawatir dengan kondisi Ciki yang belum juga sembuh dan sepertinya semakin hari semakin parah. Sampai pada akhirnya Ciki meninggal dunia. Sayangnya aku tidak bisa ikut ke sana lagi untuk mengurusi penguburan Ciki karena di hari itu juga aku perlu menghadiri acara sebagai interpreter yang tidak bisa aku tinggalkan. Aku masih ingat sekali waktu itu aku tidak bisa fokus sama sekali. Ketika menyimak apa yang di sampaikan pembicara, aku tiba-tiba buyar diam dan malah tidak menerjemahkan. Tapi, aku terus berusaha sebaik mungkin dan sewaktu-waktu mataku berkaca-kaca. 

Beberapa bulan kemudian, aku perlu temani Ria ke dokter hewan untuk memeriksakan Coki dan Moki. Aku lupa untuk keperluan apa. Tapi, waktu itu kami perlu menunggu di ruang tunggu beberapa saat untuk dipanggil menunggu giliran setelah registrasi. Nah, saat itu aku mulai suka berkunjung ke dokter hewan karena sewaktu aku menunggu, aku lihat banyak sekali pengunjung yang datang kesana untuk memeriksakan binatang peliharaaanya. Aku sempat terpikir, "Bisa ya mereka ini sampai bawa binatang-binatang dengan berbagai bentuk dan rupa ini ke dokter yang  mungkin terkadang menghabiskan biaya dari yang kecil ke yang besar. Ke binatang peliharaan saja mereka bisa sesayang ini, apalagi sesama manusia." Itu yang aku pikirkan. Aku menilai bahwa orang-orang itu pastilah penyayang dan berhati lembut. Aku melihat cinta dan kasih sayang di sana. Oya, aku juga melihat bahwa cinta dan kasih sayang ini tidak memandang rupa kok, karena hewan-hewan yang dibawa kesana mempunyai berbagai macam rupa dan ukuran, berbagai jenis kucing, anjing, kelinci dan lain-lain. Kayaknya malah kita deh manusia yang pilih-pilih kalau mau mencintai dan menyayangi ke sesama manusia khususnya.

Kamu sudah pernah ke dokter hewan? Bagaimana pengalaman kalian? 

Aku bukan pusat alam semesta #Day17

Aku mengenal ungkapan 'the center of the universe' dari mantan pacarku beberapa tahun yang lalu ketika waku itu aku dekat dengan seorang teman dan sepertinya mantanku itu memperhatikan bagaimana hubungan atau interaksiku dengan temanku pada saat itu. Suatu saat tiba-tiba dia mengatakan bahwa akan lebih baik kalau aku menjauhi temanku itu atau setidaknya menjaga jarak karena menurut dia, temanku itu menunjukkan sebuah kepribadian bahwa dia adalah pusat alam semesta, atau dengan kata lain 'the center of the universe'. 

Saat itu juga aku langsung bertanya apa yang di maksud dengan the center of the universe, dan sederhananya dia menjelaskan bahwa ada beberapa orang yang merasa dirinya adalah pusat alam semesta ini dan mereka selalu menginginkan segala hal untuk bisa terjadi atau terwujud sesui dengan keinginannya. Dan, kalau setiap keinginan dan kebutuhannya itu bisa dipenuhi oleh orang-orang tertentu yang memang pada dasarnya baik dan tulus membantu, mereka bisa memanfaatkannya sesuai dengan kepentingannya. Maka dari itu, ketika berhubungan dengan tipe orang yang seperti ini, dia mengatakan bahwa aku perlu memiliki batasan-batasan tertentu dan tidak harus selalu mengatakan YA. Aku perlu berani untuk mengatakan TIDAK dalam hal atau situasi tertentu. Dengan kata lain, bisa dikatakan bahwa  semakin diiyakan, orang seperti ini akan semakin ngelunjak.

Sejak saat itu juga, aku langsung melihat ke belakang bagaimana aku menjalin hubungan dengan temanku sampai pada saat itu. Ternyata, iya aku seringkali, bahkan sepertinya selalu mengatakan YA ke setiap hal yang dia ajukan atau minta. Jarang sekali aku mengatakan TIDAK, atau bahkan mungkin tidak pernah. Nah, sejak saat itu juga aku mulai menjaga jarak pertemanan dengan temanku itu karena aku tidak mau terus-terusan dihantui atau dibayang-bayangi oleh kehadirannya yang penuh dengan kepentingannya sendiri. Aku bukan baby sitter. Sejak saat itu juga aku mulai belajar untuk mengatakan TIDAK. Ternyata, tidak mudah ya untuk mengatakan TIDAK atau menolak sesuatu. Bahkan, sampai sekarang pun aku masih belajar. Tidak hanya belajar untuk mengatakan TIDAK ke temanku itu, tapi juga ke teman-teman lainnya di situati tertentu. Pertemanan kami pun masih berlanjut sampai sekarang, tapi yang jelas aku punya garis batas yang aku buat sendiri sampai sejauh mana hubungan kami terjalin.

Nah, selain itu, tentang the center of the universe, ini membuatku merenungkan kembali apakah aku termasuk salah satu orang yang juga berperilaku sebagai pusat dari alam semesta? Mungkin ada kalanya di perjalanan hidupku sampai saat ini secara tidak aku sadar aku begitu. Tapi, sejak saat itu juga aku lebih berhati-hati dan berusaha memberikan pemahaman kepada diriku sendiri bahwa tidak semua orang harus menerimaku atau mengiyakan apa yang aku katakan atau apa yang aku minta. Setiap orang berhak untuk mengatakan YA atau TIDAK dan aku harus siap dengan itu. Lagi-lagi, aku bukanlah pusat dari alam semesta ini, tapi aku hanyalah sebagian kecil di dalamnya. 

Kalau kamu bagaimana? Masih jadi pusat alam semesta? 

Saturday, March 20, 2021

Dunia sandiwara #Day16

Beberapa hari yang lalu Dian cerita kalau dia di prank sama beberapa temannya soal MLM (Multi Level Marketing) buat support biaya hidup selama jadi sukarelawan di Papua. Karena saking besarnya keinginan Dian buat ke Papua juga, sampai-sampai dia tertarik buat gabung. Alhasil, itu cuma prank aja. 

Setelah aku simak detail cerita yang Dian bilang, ada beberapa hal yang aku pelajari.

Selama kita hidup, kita selalu diajarkan untuk menjadi orang yang jujur. Apa adanya. Sehingga selama kita tumbuh dewasa, kita selalu berusaha untuk bersikap sejujur-jujurnya. Mungkin ada kalanya tidak jujur. Tapi itupun mungkin karena epepet dan ada tujuan lebih besar yang ingin dicapai, salah satunya adalah untuk tidak menyakiti atau menyinggung perasaan orang lain. Nah, secara tidak sadar juga kita akan menerima atau menganggap orang lain itu akan selalu jujur terhadap kita. Makanya, kalau kita ingat-ingat, bisa jadi ada kalanya kita merasa sedih atau kecewa ketika ada seseorang yang tidak berkata atau bersikap jujur terhadap kita. Ya, karena secara tidak langsung kita punya harapan bahwa semua orang akan jujur, seperti kita. Dan seperti yang kita tahu, ketika kenyataan tak sejalan dengan harapan, hasilnya adalah kekecewaan dan kesedihan. Soal Dian yang kena prank, dia itu orang yang sangatlah jujur dan jarang sekali atau bahkan tidak pernah curiga atau bahkan berburuk sangka kepada orang lain. Dia selalu menerima apa yang dia lihat dan dia dengar sebagai sebuah kebenaran dan kejujuran. Makanya dia mudah sekali percaya soal MLM yang diceritakan temannya itu dan sampai tertarik. 

Secara tidak langsung dari bagian di atas, kita bisa memahami bahwa ada sebuah pedoman hidup yang melekat dalam diri kita, yaitu bersikap jujur adalah sebuah keharusan bagi semua orang. Akan tetapi, untuk beberapa orang pada tahap kehidupan tertentu, bersikap jujur itu menjadi sebuah pilihan, bukan kewajiban lagi. Mereka bisa memilih untuk jujur atau tidak jujur. Untuk menjadi apa adanya dan seadanya atau menjadi versi yang mereka buat. Hal ini mereka lakukan selama mereka tidak merugikan orang lain. Makadari itu, aku bisa saja menciptakan versiku sendiri yang berbeda di waktu dan di lingkungan tertentu. Misalkan, aku memang pada dasarnya suka bicara dan suka bercanda. Aku bisa saja bersandiwara dengan tidak menjadi apadanya dan merubah versiku menjadi sosok yang pemalu dan pendiam. Aku bisa dengan mudah menciptakan pencitraan ini. Nah, kalian pun pasti bisa saja selama kalian mau. Masing-masing dari kita sepenuhnya memegang kendali diri kita sendiri. Tapi, masalahnya adalah sandiwara ini akan sangat melelahkan karena ketika kita berbohong dan tidak jujur, atau dengan kata lain tidak menjadi apa adanya, kita membutuhkan energi yang sangat banyak. Ini melelahkan. Pilihannya akan kembali lagi ke kamu, kamu siap atau tidak? Nah, makanya teman-teman Dian yang menawarkan MLM sempat bingung ketika Dian terus-terusan bertanya informasi lebih lanjut soal MLM nya itu karena itu berarti mereka harus melanjutkan karangan cerita mereka dan sandiwara mereka. Melelahkan, kan? 

Dari pengalaman ini aku menuju sebuah kesimpulan bahwa yang terbaik untuk aku lakukan adalah menjadi diriku sendiri apa adanya dengan selalu membuka mata untuk melihat berbagai kemungkinan bahwa not every thing is the way it is atau not every one is the way he or she is. Cukup itu saja. Dengan membiarkan mataku terbuka lebar bahwa kenyataan itu tidak harus selalu seperti apa yang aku percayai dan harapkan, ini akan membuatku lebih mudah dan lebih bijak dalam berurusan dengan orang lain. Jadi, aku akan memainkan peranku dalam sandiwara kehidupan ini dengan sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya, dan tidak lupa bahwa orang lain pun bersandiwara. 


Tuesday, March 16, 2021

Melihat yang kecil dan juga yang besar #Day15

Beberapa minggu yang lalu aku sempat membuat satu postingan di IG. Aku lupa isinya secara detail, tapi itu tentang bagaimana aku melihat atau memandang sesuatu. Aku masih ingat tahun lalu aku sempat tinggal di gedung apartemen lantai 1. Setiap hari aku selalu menghabiskan beberapa saat untuk duduk di balkoni dan melihat pemandangan luas. Dari sana aku bisa melihat dunia yang sangat luas ini dengan berbagai macam isi di dalamnya seperti langit yang luas, deretan gunung, berbagai macam bentuk dan desain gedung tinggi, perumahan kecil-kecil, dan juga kendaraan yang mungil-mungil. Aku masih saja selalu takjub dengan kenyataan bahwa aku tidak lebih dari secuil bagian dunia ini. Apalah artinya aku yang sekecil ini di antara ciptaan-ciptaan Tuhan lainnya. Dan, di lain kesempatan beberapa waktu yang lalu aku duduk di sekitar kolam renang apartemen tempat tinggalku saat ini. Kalau di atas, aku bisa melihat luas ke depan dan ke bawah. Saat itu, karena aku ada di bawah, maksudnya di daratan, aku hanya bisa melihat sekitarku dan memandang langit yang ada di atas. Saat itu mengingatkanku dengan pemandangan jika aku ada di lantai atas dan membandingkannya. Di saat itu juga aku mulai membandingkan apa yang bisa aku lihat ketika aku melihat dari gedung tinggi dan dari daratan. Di daratan aku bisa melihat semuanya dengan jelas seperti bermacam-macam keindahan bunga, berbagai bentuk pepohonan, desain-desain unik dedaunan dan juga rerumputan. Di sana, hal terbesar yang bisa aku lihat adalah langit yang memayungiku.

Dari kedua sudut pandang ini, aku seringkali merenungkan pelajaran yang bisa aku ambil. Dalam menghadapi sesuatu, terutama sebuah masalah, ada kalanya aku melihatnya sebagai masalah yang sangatlah besar sekali. Padahal kalau aku coba ambil jarak dan memandangnya dari sedikit kejauhan, aku akan bisa melihatnya dengan pikiran yang lebih terbuka sehingga aku merasa lebih ringan dan ternyata masalah itu tidak seserius apa yang aku pikirkan. Di sisi lain, ada kalanya juga aku dihadapkan dengan sebuah masalah yang perlu aku amati dan selidiki sampai ke bagian-bagian kecilnya supaya aku bisa menemukan celah yang menyebabkan masalah itu terjadi.

Serpertinya dari sini aku bisa melihat bahwa dalam proses belajarku sejauh ini, aku selalu berusaha melihat segala sesuatu dari gambaran secara umum atau secara luas untuk mendapatkan pemahaman secara garis besar. Tetapi, tidak dipungkiri bahwa memiliki pemahaman dengan hal-hal detail memungkinkan aku untuk mengerti koneksi antara yang satu dengan yang lain yang mungkin berupa perbedaan atau persmaan atau sebab akibat. Selain untuk diriku sebagai pembelajar, menurutku kemampuan untuk melihat dengan kedua sudut pandang ini juga membantuku dalam mengajar di kelas untuk memberikan dan membangun pemahaman murid-muridku dalam mengikuti pelajaran. 

Kalau kamu bagaimana? Apakah kamu lebih sering melihat segala hal secara garis besar? Atau secara detail?

Sunday, March 14, 2021

Beasiswa atau biaya sendiri? #Day14

Beberapa waktu yang lalu aku sempat terpikir untuk lanjut kuliah S3 di Malaysia sambil bekerja. Aku berusaha untuk mencari beberapa kesempatan beasiswa yang ada di sini. Tapi, setelah aku pikir-pikir, kalau aku ambil program beasiswa, aku tidak bisa sambil bekerja di perusahaanku saat ini. Aku sudah terlanjur jatuh cinta dengan perusahaanku. Akhirnya, alternatif lainnya adalah untuk kuliah part-time. Aku mencari dan mengumpulkan informasi dari beberapa universitas di sini yang menawarkan program S3 part-time di bidang pendidikan atau bahasa. Sayangnya, mereka tidak membuka program S3 part-time untuk mahasiswa internasional, hanya untuk lokal. 

Momen ini mengingatkan aku dengan beberapa tahun yang lalu ketika aku ingin sekali bisa mendapatkan beasiswa untuk kuliah ke luar negeri seperti LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan), Chevening, Fullbright, Australia Awards dana beberapa lainnya yang aku sudah lupa. Sayangnya tidak ada yang lolos. Setelah satu tahun bekerja dan sambil berjuang mendaftarkan diri ke program beasiswa di beberapa universitas dan tidak lolos, aku memutuskan untuk lanjut kuliah S2 dengan biaya sendiri di UIN Jakarta. Waktu itu aku sambil mengajar part-time di English First (EF) Pondok Indah dan di Sampoerna Academy dengan penghasilan yang lebih dari cukup untuk membayar biaya kuliahku dan sebagian aku sisihkan untuk tabungan. Akhirnya, aku berhasil lulus di tahun ketiga. Not bad!

Hal ini juga mengingatkan aku di detik-detik setelah aku lulus SMA. Beberapa guruku mengkhawatirkanku dan beberapa kali menanyakan kemana aku akan melanjutkan kuliah. Mereka sangat berharap aku bisa melanjutkan ke jenjang perguruan tinggiiversitas karena mereka sangat tahu kemampuanku dari beberapa prestasi yang aku capai di dalam dan di luar kelas selama di sekolah. Aku ingat saat itu aku coba mendaftarkan diri ke program beasiswa Universitas Bakrie dan mengikuti tesnya. Aku diterima dengan sejumlah potongan biaya pendidikan, tidak sepenuhnya dibebaskan. Saat itu juga aku merasa bahwa aku tidak akan mampu. Selain Universitas Bakrie, aku hanya mencoba ke Sampoerna School Education (SSE) yang sekarang jadi universitas almamaterku yang selalu aku banggakan. Saat itu juga ada salah seorang guru yang menawarkanku untuk ikut beasiswa Bidik Misi ke IAIN Raden Intan Lampung, tetapi aku tidak menanggapinya karena aku hanya ingin kuliah ke Jakarta. Aku tidak ingin di Lampung lagi. Oya, waktu itu aku sempat mempersiapkan pendaftaran untuk beasiswa ke Universitas Al-Azhar juga tetapi tidak aku selesaikan karena aku merasa tidak mantap sepenuhnya dengan beberapa program yang ditawarkan seperti Bahasa Arab, Tafsir dan beberapa ilmu Islam lainnya. 

Seperti itulah perjuangan untuk terus melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dengan keterbatasan biaya. Terkadang aku menjadi salah satu orang yang beruntung dan mendapatkan pengurangan ataupun pembebasan biaya pendidikan di sekolah, dan ada kalanya aku kurang beruntung dan tidak mendapatkannya di tingkat universitas. Tapi, caraku sekarang dalam melihat situasi saat ini sudah berbeda, menunda-nunda waktu untuk melanjutkan pendidikan karena terus mengejar beasiswa bukanlah satu-satunya pilihan. Pertanyaannya adalah, bukankah kita bisa kuliah dengan biaya sendiri?

Kuliah dengan biaya sendiri mendorong kita untuk semakin bekerja keras untuk bisa membayar biaya pendidikan dan pada saat yang sama belajar dengan sungguh-sungguh agar tidak menyia-nyiakan uang yang sudah dibayarkan dengan memaksimalkan kesempatan dan fasilitas di tempat perkuliahan sebaik-baiknya dan sebanyak-banyaknya. Intinya dengan kata lain tidak mau rugi. 

Kuliah dengan biaya sendiri bukan berarti kita lebih rendah atau tidak sebagus mereka yang mendapatkan beasiswa. Mereka yang berhasil mendapatkan beasiswa merupakan beberapa orang cerdas dan pintar yang beruntung diantara banyak orang cerdas dan pintar lainnya di luar sana. Bagus atau tidaknya seseorang itu bukan tergantung pada siapa atau bagaimana biaya kuliah dibayar, tapi tergantung pada keingingan dalam diri yang kuat untuk menjadi pribadi pembelajar menjadi lebih baik dari waktu ke waktu.

Kuliah dengan biaya sendiri bisa sesuka hati melakukan apapun yang diinginkan setelah lulus. Aku terpikir hal ini ketika tahu ada beberapa teman yang kuliah dengan beasiswa yang di berikan pemerintah, tetapi akhirnya memilih untuk melanjutkan karir di bidang atau di tempat yang bisa memberikan banyak keuntungan untuk dirinya sendiri. Meski demikian, pastinya ada banyak juga yang mengabdikan diri ke masyarakat dengan segala keterbatasannya. Anyway, intinya adalah dengan kuliah berbiaya sendiri kita bisa dengan leluasa mengepakkan sayap sesuai keinginan di manapun dan di bidang apapun. 

Tidak lucu kan kalau kita menunda-nunda atau bahkan sampai tidak melanjutkan pendidikan hanya karena tidak juga mendapatkan beasiswa.  Jadi, untuk kalian para pejuang beasiswa, kuliah dengan biaya sendiri masih selalu bisa menjadi alternatif pilihan. Kalau menurut kalian bagaimana?


Saturday, March 13, 2021

Menembus ruang dan waktu, siapkah kamu? #Day13

Aku masih teringat suatu hari ketika aku berkunjung ke Pesantren Ekologi At-Thariq di Garut yang dipimpin oleh Ibu Nisa dan Abah, suaminya. Suatu hari Abah mengatakan bahwa kita, manusia, itu terbatas oleh ruang dan waktu. Kita mempunya versi kenyataan masing-masing yang mencakup satu waktu saja dimana kita ada didalamnya. Dan, apa yang kita lihat hanyalah sekedar apa yang bisa kita jangkau oleh lima panca indera kita, dan yang paling jauh bisa dijangkau oleh pandangan mata kita. 

Akan tetapi sepertinya sekarang tidaklah seperti itu lagi. Teknologi sudah memungkinkan kita semua untuk menembus ruang dan waktu. Contoh, aku yang ada di Malaysia saat ini bisa berkomunikasi melalui video call dengan Mamak dan Adikku yang ada di Indonesia pada saat ini juga. Ruang dan waktuku bisa ditembus dengan begitu mudahnya. Suatu saat hal ini mulai membuatku heran. 

Aku beberapa kali mengamati media sosial, terutama Instagram dengan fitur live video yang ada di sana. Ketika aku perhatikan, kebanyakan apa yang mereka tunjukkan atau lakukan adalah kegiatan sehari-hari saja, seperti memotong sayuran untuk di masak, membajak sawah, karaokean, menyetrika, atau sekedar bercakap-cakap dengan kawan-kawan saja entah melalui telepon atau sekedar berkumpul bersama. Pertanyaannya adalah, untuk apa? Dan, kenapa? Selain itu, hal lain yang aku perhatikan adalah, adakalanya live video yang disiarkan itu hanya ditonton oleh satu atau dua orang saja, atau malah tidak ada yang menonton sama sekali. Dari mana aku tahu? Pastinya dari angka viewers di samping simbol mata yang ada di layar live video, coba deh perhatikan. Lagi-lagi aku bertanya, kenapa orang harus menyiarkannya melalui? Pertanyaan ini selalu muncul dan aku masih belum juga menemukan jawabannya. Tapi, yang jelas adalah hal ini mengingatkan ku dengan apa yang Abah katakan di atas dan sekarang tidak sama lagi. 

Baru saja aku bertanya dengan salah satu teman di rumah tentang pertanyaan ini. Mengapa? Menurut dia, ini bisa jadi karena adanya kebutuhan, yang pertama untuk berkomunikasi dengan keluarga atau teman yang ada di sosial media, atau yang kedua sebagai media untuk show off. Iya, bisa jadi hanya ingin berbagi informasi dengan teman-teman yang ada di sosial medianya saja. Tapi menurutku, kalau memang begitu, kenapa tidak menelepon atau video call pribadi saja, jadi bisa berkualitas komunikasinya karena kalau di live video akan disaksikan banyak orang dan mungkin akan tidak nyaman jika ingin membahas hal-hal tertentu. Kemungkinan yang kedua adalah untuk show off atau menunjukkan jati diri ke publik. Menurutku, secara langung atau dengan kata lain hal ini seperti upaya untuk pencarian validasi dari orang lain. Misalkan, seperti yang temanku katakan, ada seseorang yang memang bagus dalam mengambil foto. Dia akan memposting hasil foto-fotonya di sosial media dan bisa jadi salah satu tujuannya adalah untuk mendapatkan validasi atau pengakuan dari para penonton bahwa hasil karyanya memang bagus. Meskipun tidak dipungkiri juga ada beberapa orang yang menggunakannya untuk peluang bisnis oya mencari pelanggan yang akan  menggunakan jasanya. 

Kembali lagi soal siaran langsung tidak penting yang ada di sosial media, suatu hari aku juga pernah bertanya ke dua teman di kantor. Sangat sederhana, mereka mengatakan bahwa orang yang melakukan hal yang serupa mungkin merasa kesepian, makanya mereka mencari perhatian di sosial media untuk di perhatikan. Well, it does make sense. Hal ini mengingatkanku dengan apa yang Deddy pernah katakan di siaran podcastnya di Youtube kalau zaman sekarang orang-orang itu butuh ditemani, makanya ada banyak siaran langsung mabar (main bareng) game yang ditonton banyak orang di sosial media. Tapi, kalaupun toh memang iya ini adalah penyebabnya, kesepian, aku jadi semakin penasaran lagi apa yang nantinya mungkin terjadi kalau keinginan atau kebutuhan seseorang untuk mendapatkan perhatiannya itu tidak terpenuhi. Bisa jadi orang tersebut merasa sedih, kecewa dan bahkan depresi. Yang paling menyeramkan adalah sampai ada beberapa orang yang melukai diri sendiri dan bahkan bunuh diri di siaran online. Menyeramkan. Sebegitu kesepiannya kah?

Tiba-tiba, aku jadi teringat dengan Bapakku. Di rumah hampir setiap hari pasti ada teman-teman Bapak yang bertamu ke rumah dan mengobrol sampai tengah malam. Seringkali aku sudah tidur sebelum para tamu pulang. Atau, ada kalanya juga Bapak berkunjung ke rumah temannya dan pulang di malam hari. Sepertinya mereka menikmati obrolan-obrolan ringannya saat berkumpul. Terkadang juga Bapak mengikuti perkumpulan Yasinan rutin dari satu rumah ke rumah lain di desaku. Selain itu, aku pun jadi ingat ketika aku di masa-masa sekolah. Aku bermain dengan teman-temanku ke sawah mencari keong dan ikan-ikan kecil, kemudian mandi di kali. Inilah caranya saat itu mengisi rasa kesepian dalam keterbatasan ruang dan waktu. Kami menikmati waktu kebersamaan yang nyata dengan penuh nikmat. Beda dengan sekarang ini. 

Sekarang, canggihnya teknologi memungkinkan kita semua untuk menjangkau dunia di luar batas ruang dan waktu kita secara fisik yang membuat pikiran dalam otak dan perasaan dalam hati kewalahan sehingga mengabaikan apa yang bisa dijangkau dan berusaha meraih apa yang sesungguhnya sangatlah jauh dari jangkauan. Tapi, terkadang aku pun berpikir, bukankah canggihnya teknologi itu bagus? Lagi-lagi, ini bukan persoalan kecanggihan teknologi itu sendiri tapi bagaimana kita bisa mengontol diri kita dalam penggunaanya. Itu menurutku. Oleh karena itu, aku memilih untuk mengambil satu langkah ke belakang dalam menggunakan sosial media, terutama Instagram dan Facebook karena setelah aku renungkan, dengan waktuku yang hanya 24 jam dalam sehari ini, aku tidak ingin energiku habis dengan melihat atau bahkan memikirkan hal-hal di luar sana. Aku memilih untuk hidup di sini saja dan saat ini saja dan menjangkau apa yang bisa aku jangkau saja. 


Kesedihan berbuah senyuman #Day12

Aku menyimpan foto ini sudah lama, kira-kira dua tahun yang lalu ketika beberapa bulan awal aku pindah ke Kuala Lumpur, Malaysia. Aku masih ingat waktu itu aku membaca e-booknya ketika aku ada di kereta, tapi entah sewaktu berangkat atau pulang kerja.  Bukunya berjudul Belajar Hidup dari Rumi: Serpihan-serpihan puisi penerang jiwa oleh Haidar Bagir. Kalian bisa coba cari di Google Play Books di Android kalian dan kalian bisa unduh gratis untuk dibaca.

Sambil membaca, aku menyimpan beberapa halaman yang mengesankan buatku. Tapi, sepertinya aku sudah menghapus beberapa lainnya dengan alasan yang bahkan aku sendiri sekarang sudah lupa. Jadi, sekarang tinggal ada satu bagian yang tersimpan. Biaasanya ketika aku menyimpan suatu hal di handphone atau di buku catatanku, itu berarti ada hal-hal tertentu yang membuatku tertarik dan merasa ada koneksi dari apa yang aku temukan dan apa yang aku alami pada saat itu. Dan, biasanya di saat itu juga aku berencana untuk menuangakannya ke dalam tulisan. Sayangnya kenyataan tidak selalu sesuai dengan keinginan. Hehe. Maksudku, aku punya keinginan untuk menulis tetapi kenyataannya jari-jariku tidak tergerak sama sekali untuk menulis. Ya, alhasil tidak ada tulisannya hingga saat ini, setelah dua tahun. Oleh karena itu, saat ini adalah waktunya aku menunaikan keinginanku itu supaya hal ini tidak mengganjal di perasaan dan pikiranku. 

Aku coba membaca lagi teks yang tertulis disini. Saat aku membacanya, aku langsung memaknai bahwa ada kalanya aku harus kehilangan sesuatu atau seseorang sehingga nantinya aku akan dipertemukan dengan sesuatu atau seseorang yang baru lainnya. Kehilangan pastilah menyedihkan, tetapi disitulah ada pintu yang terbuka untuk yang lain dan baru tumbuh atau datang mengisi kekosongan itu. Ketika hal ini terjadi, tidak ada lagi yang bisa aku lakukan selain menerima dan melepaskan sesuatu atau seseorang yang hilang itu dengan harapan bahwa ini akan membukakan pintu untuk kebaikan dan kebahagianku yang lebih di kemudian hari. Lalu, bagaimana kalau akhirnya yang lain dan baru tidak datang atau tidak tumbuh? Itu berarti aku sudah rugi serugi-ruginya? Menurutku tidak, apalah arti mempunyai harapan yang besar di masa datang kalau kita tidak bisa menikmati dan memaksimalkan kesempatan hidup kita hari ini, jam ini, menit ini, dan detik ini. Hehe, sepertinya aku sudah mulai bicara melantur. 

Hal ini mengingatkan aku dengan peristiwa waktu itu ketika seorang laki-laki yang aku kagumi, hormati, dan hargai dan aku harapkan bisa menjadi pasangan hidupku ternyata pergi begitu saja meninggalkan aku dan menikah dengan perempuan lain. Aku sangatlah sedih waktu itu. Tetapi apa dayaku? Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Peristiwa ini jadi salah satu pelajaran buatku bahwa ada hal-hal yang bisa aku kendalikan atau aku kontrol dan ada hal-hal lain dan bahkan lebih banyak lagi yang ada diluar kendali atau kontrolku. Mau tidak mau aku harus menerima dan melepaskan. Saat itu, apakah aku mengharapakan akan datangnya orang yang lebih baik nantinya? Terpikir pun tidak. Cukup berusaha untuk menerima, itu saja. Selain itu, catatan ini juga ini mengingatkan aku tentang hari meninggalnya Bapak. Aku membutuhkan waktu yang jauh lebih lama untuk menghadapi kesedihanku karena kehilangan Bapak. Seperti yang kita semua tahu, Bapak tidak akan pernah terganti. 

Sekarang, setelah beberapa tahun berlalu sejak meninggalnya Bapak dan kepergian laki-laki itu, ada banyak sekali hal yang sudah aku lalui dan aku pelajari. Banyak sekali pengalaman dan pengetahuan sampai sejauh ini yang sudah menjadikan aku sosok yang sekuat dan setegar ini dengan berbagai kemampuan diriku yang terus aku asah dan tingkatkan. Sedikit demi sedikit kesedihanku yang mendalam waktu itu tidak lagi membuatku menangis, tapi tersenyum. Mau bagaimana lagi, hidup akan terus berjalan dan bagian-bagian cerita kehidupan akan terus berlanjut dan sambung-menyambung dari yang satu ke yang lainnya. Akan sangat disayangkan sekali kalau aku menghabiskan waktuku untuk kesedihan. Aku memilih untuk tersenyum dan sesekali tertawa menjalani kehidupan ini. 

Thursday, March 11, 2021

Apa ada cita-cita terlambat? #Day11

Di sekolah sering sekali ada pertanyaan "Apa cita-citamu?" sejak Taman Kanak-kanak (TK), sampai Sekolah Dasar (SD), sampai Sekolah Menengah Pertama (SMP), sampai Sekolah Menengah Atas (SMA), dan bahkan sampai di tingkat universitas. Jujur, dari sejak kecil aku tidak pernah tahu aku ingin jadi apa. Aku selalu merasa bingung untuk menjawab pertanyaan ini. Ujung-ujungnya aku hanya meng-copy apa yang teman-temanku sebutkan di kelas. Ada yang ingin jadi dokter, pilot, guru. Alhasil, cita-citaku berubah-ubah terus. Ya, sederhana saja, karena memang aku tidak tahu ingin jadi apa nantinya. Sempat aku berpikir kenapa aku tidak punya cita-cita, mungkin karena Bapak dan Mamak memang tidak pernah menyebutkan atau mengarahkan profesi-profesi tertentu untuk jadi cita-citaku.

Sampai suatu ketika aku sempat ingin jadi motivator seperti Mario Teguh dan beberpa motivator lainnya yang bisa berbagi pelajaran-pelajaran hidup dan membangkitkan semangat para pendengar untuk menjadi pribadi lebih baik dan terus punya keinginan untuk belajar. Tapi, keinginan itu terhenti ketika ada salah satu teman, aku lupa siapa tepatnya, dia bilang kalau aku perlu punya sederetan prestasi atau kesuksesan terlebih dahulu sebelum menjadi seorang motivator untuk didengar. Kalau aku nya saja tidak berprestasi atau tidak sukses, kenapa orang lain harus mendengar dan mengikutiku? Ya, ada benarnya juga. Saat itu juga aku langsung mencoret kenginginanku untuk jadi motivator. Kenapa? Karena aku tidak ingin jadi orang yang punya ambisi besar untuk mencapai kesuksesan ataupun prestasi yang besar dan sebanyak-banyaknya hanya karena aku ingin jadi motivator yang didengar oleh banyak orang. Aku merasa hal ini kurang tepat. Tidak klik di hati. Sepertinya keinginan untuk jadi motivator ini muncul ketika aku ada di tingkat SMA.

Sampai di tingkat universitas, aku bertemu dengan beberapa dosen perempuan yang menyandang gelar Professor, yaitu Prof. Rosa dan Prof. Paulina. Menurutku, sangatlah keren dan hebat untuk kedua perempuan ini menyandang gelar tersebut. Contoh yang nyata langsung aku temukan di kehidupan ini. Aku ingin jadi seorang Professor juga seperti mereka. Contoh nyata ini membuktikan bahwa seorang perempuan pun bisa menjadi sosok kuat dan mandiri dengan intelektual tinggi. Oiya, terlebih lagi kedua Professor perempuan hebat ini mencerminkan pribadi yang sangatlah bijak dan meneduhkan ketika mengajar dan berinteraksi dengan kami semua mahasiswanya. Selain itu, aku pun pernah suatu ketika secara tidak sengaja mendengar kedua perempuan hebat ini bercakap-cakap dengan Bapak Rektor dan beberapa dosen lainnya. Dan aku langsung jatuh cinta ketika mereka memanggil kedua perempuan hebat ini dengan panggilan 'Prof'. Sangatlah keren. Bukan Mbak, Ibu, Ms., Mrs., atau Mam, tapi Prof. Aku langsung jatuh cinta, dan lagi-lagi aku ingin sebutkan kalai aku ingin jadi seorang Professor. Cita-citaku, ingin jadi professor (Ingat lagu ini?)

Saat ini aku sudah menyelesaikan pendidikan S2, dan pastinya aku perlu melanjutkan studiku ke tingkat S3 kalau aku memang benar-benar ingin meraih mimpiku untuk menjadi seorang Professor. Jujur, aku tidak tahu bagaimana caranya ataupun syarat-syarat nya apa saja. Beberapa waktu yang lalu aku sempat menerjemahkan satu artikel penelitian tentang evaluasi beberapa profesor di kampus UIN Jakarta, dan seingatku persyaratan mendasarnya adalah menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pelaksanaan pendidikan, penelitian dan pengabdian. Apakah aku serius dengan cita-citaku ini? Iya, pastinya aku serius, tapi tidak serius-serius banget. Biasa saja sambil melakukan apa yang bisa dilakukan. Tulisan ini adalah pengingatku kalau masih ada hal yang ingin aku capai supaya aku terus bergerak maju untuk belajar dan meningkatkan kemampuan diriku. Apalah arti hidup ini kalau sudah tidak ada lagi harapan dan semangat untuk terus belajar dan belajar.  


Wednesday, March 10, 2021

Tangan Tuhan ada di mana saja #Day10

Dua hari yang lalu aku membeli sebuah lemari sudah pakai yang masih sangat bagus dari seseorang. Aku pun ke sana untuk mengambil lemari itu karena si pemilik hanya menerima pembeli yang mengambil sendiri barangnya, tidak memakai jasa kurir. Jadi, aku memutuskan untuk pergi kesana menggunakan Grabcar. Setelah aku sampai dan melihat kondisi raknya, ternyata sudah dalam keadaan terpasang. Aku perlu membongkarnya jika aku ingin membawanya lebih mudah, tapi sepertinya tidak memungkinkan karena ada beberapa bagian yang terpaku dan akan cukup susah untuk dibongkar. Jadi, berdasarkan saran si pemilik, aku tidak membongkarnya. 

Jika aku akan membawanya dalam keadaan utuh, itu berarti aku harus memesan mobil yang cukup besar dan akan sedikit merepotkan si sopir. Dan, seperti yang kita tahu, tidak semua sopir itu berkenan untuk direpotkan dengan hal semacam ini, apalagi harus angkat-angkat. Belum lagi harus cari akal dan jalan keluar supaya lemari bisa muat ke dalam mobil. Beruntungnya, Pak Sopir Grabcar waktu itu sangatlah baik. Dia membantu si mantan pemilik lemari memasukkan ke dalam mobil dan berusaha supaya bisa muat. Aku beberapa kali meminta maaf karena sudah merepotkan dan berterima kasih banyak karena sudah membantu. Selama di perjalanan kami sempat banyak mengobrol tentang beberapa hal seperti kehidupan bekerja di Malaysia dan masa muda untuk menjelajah mendapatkan banyak pengalaman. Ada beberapa hal-hal lain tapi aku tidak terlalu ingat. Yang jelas, kami menikmati perjalanan kami dengan bertukar bahan pembicaraan. Bahkan, sesampainya di rumah Pak Sopir mengeluarkan rak bukuku itu dan mengantarkannya ke lantai dua tempat aku tinggal. Sangat baik, ya? Tidak ada hal lain yang bisa aku lakukan selain berterima kasih, memberikan sedikit tips, dan mendoakannya. Semoga si Pak Sopir dan keluarga selalu sehat dan dilimpahkan rezekinya oleh Tuhan, Tuhanku dan Tuhannya. 

Dengan kata lain, mungkin aku bisa bilang kalau aku beruntung. Iya, mungkin. Tapi aku lebih memilih untuk menyatakan bahwa tangan Tuhan itu ada di mana saja dan melalui diulurkan melalui siapa saja. Kita tidak pernah tahu itu. Makadari itu, sampai kapan kita akan terus-terusan hanya mendapatkan uluran tangan Tuhan melalui orang-orang di sekitar kita? Mulai sekarang, jadilah juga salah satu duta atau utusan Tuhan untuk menjadi menebarkan kebaikan dan cinta kasih dengan saling membantu ke sesama. Tapi tunggu dulu, tangan Tuhan mana sih yang sedang aku bicarakan? Hmmm. Anyway, Tuhan yang mana saja deh. Toh, masa iya para Tuhan akan saling adu untuk mendapatkan gelar yang paling baik. 

Tuesday, March 9, 2021

Cuma satu yang pasti, kematian #Day9

Hari ini aku mendapat kabar duka dari keluarga di Lampung. Dek Nia, istri dari salah satu adik sepupuku, meninggal dunia. Aku tidak bisa berkata atau berbuat apa-apa selain menarik napas panjang, aku tahan sejenak dan aku hembuskan pelan-pelan. Seketika mataku meneteskan air mata. Tapi apa daya, tidak ada yang bisa aku lakukan selain mengirimkan do'a sebanyak-banyaknya yang aku bisa. 

Sebelumnya, aku tidak terbiasa dengan kematian. Ketika satu-persatu tetangga di sekitar ku meninggal dunia, satu hal yang muncul di pikiranku adalah aku takut kalau-kalau roh nya gentayangan dan jadi hantu. Itu saja. Sampai suatu hari ada salah satu anggota keluargaku meninggal.

Pertama, di mulai dari Mbah Kakung dari Bapakku. Tetapi waktu itu aku masih kecil dan rumah Kakekku sangatlah jauh. Makanya waktu itu cuma Bapak saja yang pergi ke sana. Aku waktu itu tidak takut karena lokasinya jauh. Mana bisa hantu atau roh gentayangan dari orang meninggal menempuh jarak jauh? Kan tidak.

Berikutnya, Mbah Uti dari Mamakku meninggal dunia. Aku merasa sedih karena Mbah Uti adalah salah satu orang yang banyak memberikan pelajaran hidup kepadaku, dan aku baru menyadarinya sekarang ketika aku sudah besar. Saat itu perasaanku bercampur, apakah aku harus sedih atau harus takut. Rasa sedih sudah pasti karena aku tidak akan pernah bisa berjumpa dengan Mbah Uti lagi, ya meskipun masih bisa lewat mimpi, tapi tidak di alam nyata. Tapi, apakah aku harus merasa takut? Takut kalau-kalau roh nya gentayangan dan jadi hantu? Tapi kan, itu Mbah Utiku, aku mengenalnya, dan tidak mungkin Mbah Uti akan menakutiku atau membahayakanku.Setiap kali aku pergi ke belakang rumah atau ke kamar mandi atau ke gudang, aku selalu minta ditemani Bapak atau Mamak atau siapapun yang ada di rumah. Waktu itu kami menginap di rumah Mbah sampai kira-kira satu minggu. Dan itu menakutkan. 

Setelah beberapa tahun, Mbah Kakung dari Mamakku meninggal. Waktu itu aku tidak ada di rumah. Aku sedang kuliyah di Jakarta. Setelah aku mendengar kabar, aku langsung bersiap menuju pulang ke rumah. Sayangnya Mbah Kakung sudah dimakamkan ketika aku sampai rumah di hari berikutnya. Seperti sebelumnya, ketika Mbah Uti meninggal, keluargaku tinggal di rumah Mbah sampai kira-kira tujuh hari juga karena kami ada tradisi do'a bersama setiap hari selama tujuh hari setelah seseorang meninggal dunia. Tapi, aku tidak bisa tinggal lama-lama waktu itu. Aku harus segera kembali ke Jakarta karena aku harus menyelesaikan tugas program mengajar ke sekolah untuk melengkapi salah satu penilaian kuliyahku. Waktu itu aku merasa sedih, tapi tidak terlalu sedih. Mungkin karena aku tidak terlalu dekat dengan Mbah Kakung. Tapi yang jelas pada saat itu aku sudah mulai tidak takut lagi, karena aku berusaha meyakinkan diriku bahwa Mbah Kakung tidak akan menakuti, melukai atau membahayakanku, seperti halnya Mbah Uti. 

Aku baru mulai belajar untuk memahami kematian ketika Bapak meninggal dunia. Bahkan aku masih menetaskan mata sambil mengetik saat ini juga menuliskan tentang kematian Bapak. Aku tidak ada di sisi Bapak ketika Bapak meninggal, tapi aku bersyukur karena aku masih bisa melihat wajah Bapak untuk terakhir kalinya dengan sangat jelas. Oiya, sebelumnya aku tidak berani menengok wajah jenazah Mbah Uti. Aku tidak pernah berani melihat wajah jenazah siapapun sebelumnya. Aku tidak pernah terpikir bahwa akan datang saatnya Bapak akan pergi meninggalkan aku. Tidak pernah sama sekali. Terpikir pun tidak, apalagi membayangkan. Aku menolak kenyataan bahwa Bapak harus pergi meninggalkan dunia ini, tapi apa daya seberapa kuatpun aku menolak tidak akan merubah keadaan. Semoga Bapak tenang dan tersenyum di alam sana. Aku berusaha meruntuhkan egoku dan keinginanku untuk menahan Bapak. Aku harus bisa melepaskannya. Apakah itu mudah? Sama sekali tidak. Butuh waktu yang lama untuk berlatih. Tapi yang jelas, sekarang aku mulai memahami bahwa tugas Bapak sudah selesai di dunia ini dan cukup sekian. Justru kematian itu lah yang sudah membebaskan Bapak dari segala serba-serbi yang ada di dunia ini. Bapak sudah terlepas, lega dan tenang di alam lain sekarang.

Itulah, kematian pasti akan datang. Yang tidak pasti adalah kapan, di mana, dan bagaimana. Mau tidak mau aku harus selalu siap, entah itu dengan kematianku sendiri atau kematian orang-orang yang aku sayangi. Semoga Allah mengampuni kita semua, mengasihani kita semua, memberikan kesejahteraan untuk kita semua, dan memaafkan kita semua. Aammiin. 

Monday, March 8, 2021

Antara memori dan imajinasi, jebakan atau jembatan? #Day8

Sebagai manusia, kita adalah sebaik-baiknya ciptaan, terutama karena adanya otak yang kita miliki untuk berpikir. Kemampuan yang dimiliki otak kita ini sangatlah luar biasa hingga bisa menembus ruang dan waktu yang pada dasarnya tubuh ini sangatlah terbatas ruang dan waktu. Menarik ya? Berbicara soal kemampuan otak kita ini, aku teringat salah satu hal yang disampaikan oleh Sadhguru di salah satu 'pengajian'nya. Aku lupa tentang apa konteks atau topik yang dibicarakan saat itu, tapi yang jelas ada satu hal yang sangat aku ingat dan aku masih terus belajar untuk memahaminya.

Memori
Hingga saat ini aku sudah berusia 28 tahun dan sebentar lagi akan memasuki usia 29 tahun. Itu berarti aku seudah menjalani kehidupanku selama itu. Hal yang menakjubkan dari otak yang aku miliki adalah bahwa hal-hal yang terjadi padaku atau aku alami sebelumnya akan tersimpan didalam otakku. Ada yang indah. Ada yang buruk. Ada yang mengecewakan. Ada yang menyedihkan. Bermacam-macam peristiwa terjadi disertia emosi yang melekat di setiap kejadian itu tersimpan di sana. Terlebih lagi, otak kita tidak hanya menyimpan hal-hal yang memang sengaja kita ingat, tapi juga hal-hal yang mungkin tidak sengaja kita dengar atau lihat atau rasa. Aku jadi teringat ada kalanya di masa lalu, aku lupa tepatnya kapan, aku memutuskan untuk menyimpan hal-hal yang memang aku ingin simpan dan mengabaikan apa-apa yang aku tidak ingin simpan. Alhasil, seeperti yang sering dikatakan pacarku dan teman-temanku, aku jadi pelupa. Hehe.

Imajinasi
Selain menyimpan masa lalu, ternyata otakku bisa membayangkan apa yang akan terjadi besok, minggu depan, bulan depan, tahun depan, ataupun beberapa tahun kedepan. Ya mungkin ini merupakan sebuah gambaran yang aku miliki dari perencanaan-perencanaan yang aku buat. Sangatlah luar biasa, ya. Pernah tidak kalian memikirkan berdasarkan apa gambaran atau imajinasi kalian muncul di masa yang akan datang? Aku sempat memikirkannya dan aku menemukan sebuah pemikiran bahwa pastinya berdasarkan pengalaman yang telah lalu dan juga informasi yang sudah kita dapatkan sebelumnya sehingga aku bisa mempertimbangkan berbagai kemungkinan-kemungkinan yang akan mempengaruhi rencanaku tersebut. Dan, itu semua tidak lepas dari memori yang sudah aku jelaskan di atas. Lagi-lagi, aku ingin mengatakan bahwa hal ini sangatlah menarik. Oya, tapi perlu kita sadari bahwa kenyataan yang terjadi ini tidak selalu seperti imajinasi yang dibayangkan. Ada lebih banyak faktor yang tidak bisa aku jangkau atau kendalikan untuk memastikan semuanya pasti. Lagipula, tidak ada yang pasti di dunia ini selain kematian. 

Saat ini, jebakan atau jembatan?
Suatu hari ada seorang temanmu yang berbohong dan ketahuan. Apakah sekarang kamu masih akan percaya dengan temanmu itu?
Suatu hari ada seorang temanmu yang memberimu sebuah hadiah. Apakah sekarang kamu masih akan berteman dengan temanmu itu?
Disinilah hal yang sempat aku renungkan, apakah saat ini, waktu penghubung antara memori dan imajinasi akan menjadi sebuah jebakan bagiku dalam bertindak dan menyikapi suatu hal karena kalau aku berperilaku dengan berdasarkan memori-memori yang sudah aku miliki dan membayangkan dalam imajinasiku tentang apa dan bagaimana suatu hal akan terjadi nantinya, itu berarti aku sudah terjebak di dalam memori dan imajinasiku sendiri. Secara tidak langsung, keadaan ini seperti halnya aku sudah memiliki sebuah teori dalam diriku sendiri, jika A maka B. Aku tidak ingin seperti itu. Aku ingin menjadikan waktu saat ini sekedar sebagai jembatan jembatan saja dan terbuka dengan segala kemungkinan yang terjadi. Ketika ada seseorang yang mungkin sudah menyakiti atau mengecewakanku di masa lalu, bukan berarti aku harus menjauhinya dan benci terhadap orang tersebut. Iya, aku sedih dan kecewa, tapi bukan berarti aku akan mengkhawatirkan hal-hal tersebut akan terjadi di masa datang dan akhirnya aku menjadi seseorang yang tidak baik. Aku ingin belajar untuk melepaskan dan melupakan hal-hal dalam memori dan imajinasi, dan hidup seutuhnya di masa saat ini. Oya, aku jadi ingat sebuah pesan guru-guruku sebelumnya untuk selalu mengingat kebaikan-kebaikan yang orang berikan kepada kita dan melupakan kebaikan apapun yang kita lakukan atau berikan kepada orang lain. Lalu bagaimana dengan keburukan? Pastinya hal ini tidak dibahas karena tidaklah penting. Aku sangat suka nasehat ini. 

Dan, seperti yang Sadhguru peringatkan, aku belum mengambil kesimpulan apa-apa sampai saat ini karena aku masih terus belajar dan belajar. 


Sunday, March 7, 2021

Let's thrive! Not only me, but also you! #Day7

Lagi-lagi, masih soal perayaan Hari Perempuan Internasional di kantor beberapa hari yang lalu. Di akhir acara Pak Azwan sempat menyebutkan soal 'thriving'. Seperti yang kita ketahui bahwa sudah satu tahun lebih kita melewati masa pandemi ini dengan berbagai perbedaan dan perubahan yang besar dari sebelumnya dalam hal pekerjaan, kehidupan sehari-hari di rumah, dan kehidupan bersosial. Terlebih lagi dalam  hal ekonomi, banyak sekali orang-orang di luar sana yang mengalami kerugian atau kemunduruan dalam bisnis yang dijalankan. Banyak juga di luar sana orang yang kehilangan pekerjaan. Ini adalah masa yang berat dan sulit untuk kita semua. Meskipun begitu, segala puji bagi Allah atas segala nikmat yang masih diberikan ke aku hingga saat ini. Aku sangat bersyukur. 

Pak Azwan sempat menyebutkan bahwa meskipun kita melalui masa-masa sulit ini, bukan berarti kita harus terpuruk dalam kesedihan dan menyerah pada keadaan. Sebaliknya kita harus bangkit dan mengupayakan hal terbaik yang bisa dilakukan untuk terus berkembang dan maju. Satu hal lagi, beliau juga menyebutkan bahwa jangan lupa untuk bergandeng tangan dengan orang lain untuk maju bersama-sama. Di saat itulah aku teringat lagu yang dulu seringkali aku dan teman-teman nyanyikan saat belajar di Sampoerna School of Education (SSE) yang berjudul Spread Our Wings.

Baru saja aku mencari lagu ini di Youtube untuk aku putar dan ikut bernyanyi bersama. Dan, aku juga mencari halaman dimana aku bisa menyalin lirik lagunya. 

Spread Our Wings

I can dream the impossible
I fear not the obstacle
For if I believe in me
I can make it possible
I’ll shine my light for all the see
For a gem can’t be polished without frictions
Nor man perfected without trials
 
We all take different paths in life
But no matter where I go
I will feel safe knowing that
We’re all together in this journey
 
For we are one big family
There’ll always be time for sharing
And caring for each other,
Even when we are far apart
 
Like an eagle, we spread our wing
Soaring high in the sky of dream
Always strive to be the very best
And help others to soar as high
 
We remember the start
We will go through the journey
We will reach the goals
Let’s lend our hands to our brother and sisters
Let’s make a brighter tomorrow for others
Make their impossible dreams possible
For when we believe, when we are together
We can make the difference

Saat menyanyikan lagu ini, aku teringat masa ketika aku kuliyah untuk mengejar mimpiku. Mimpi apa dan yang mana? Nanti akan aku bahas di bagian tuliasan yang lain. Banyak sekali keterbatasan-keterbatasan yang aku miliki dan alami saat itu. Nyatanya, aku bisa melalui semua itu dan menjadi diriku saat ini yang mempunyai banyak sekali potensi. 

Yang pastinya, saat ini aku menyadari bahwa setiap baris di lagu ini sudah terserap ke dalam diriku sampai-sampai banyak sekali hal yang sudah aku lakukan dan ternyata itu adalah bagian dari lirik lagu ini. Bagiku, lagu ini mempunyai pesan yang sangat kuat. Hiingga saat ini, ini merupakan salah satu lagu penyemangat, pengingat buatku untuk terus mengepakkan sayap, bukan hanya sayapku tapi juga sayap kalian. 

Saturday, March 6, 2021

Kamu cerminan panutanmu #Day6

Dua hari yang lalu aku mengikuti acara virtual langsung perayaan Hari Perempuan Internasional 2021 di Accenture Malaysia. Di akhir sesi, ada kalimat penutup yang disampaikan oleh pimpinan Accenture Malaysia, Azwan Baharuddin. Aku sangat suka bagaimana beliau menyampaikan pesan-pesannya yang penuh rasa, semangat, ketulusan dan kejujuran sehingga apa yang disampaikan tidak hanya sekedar kata-kata tetapi juga menyalurkan energi ke aku sebagai salah satu pendengarnya. Dan, jika suatu saat nanti aku menjadi seorang pemimpin entah di sebuah perusahaan, komunitas, daerah, ataupun yang lainnnya, aku akan melakukan hal yang serupa. 

Kamu adalah cerminan dari panutanmu (your role model). Inilah hal yang muncul pada saat itu juga. Hal ini membuatku merenungkan kembali siapa saja yang sudah menjadi panutanku selama ini dan apa saja hal yang sudah aku cerminkan dalam kehidupanku.

Pengaruh yang sangat besar dalam caraku menjadi seorang guru adalah Miss Yannik, salah seorang dosen ketika aku belajar S1 di Sampoerna School of Education (SSE). Aku sangat suka bagaimana cara beliau membangun hubungan dengan setiap mahasiswa yang sangatlah personal sehingga setiap mahasiswa, termasuk aku, merasa dekat dengan beliau. Dan, karena kedekatan inilah aku merasa aman dan nyaman mengikuti kelas beliau. Tapi, bukan berarti kami bisa berbuat seenaknya. Peraturan kelas, ketentuan tugas dan penilaian harus tetap ditaati dengan semestinya. Salah satu keinginanku adalah menjadi seorang guru seperti beliau dan sampai saat ini aku masih terus menerapkannya. Terima kasih, Miss Yannik. 

Aku mencoba mengingat lagi siapa saja yang sudah menjadi sosok panutan di beberapa aspek kehidupanku. Mungkin karena terlalu banyak, jadi aku tidak bisa menentukan yang manapun. Bagaimana bisa banyak? karena dari setiap orang, entah siapapun itu, aku selalu yakin dia mempunyai hal positif yang bisa aku pelajari dan bisa aku ambil untuk aku simpan dan amalkan. 

Aku jadi ingat Mba Ieie. Dia adalah teman kerjaku ketika aku kerja paruh waktu sambil kuliyah di Jakarta. Saat itu aku sedang berpacaran dengan seseorang dan hampir setiap hari pasti SMSan atau teleponan. Aku masih ingat  waktu itu kami sedang makan malam di pinggir jalan dan dia nyeletuk "Teleponan SMSan terus sama pacar, udah telepon Bapak Ibu belum?" Sejak saat itu juga aku berusaha untuk terus berkomunikasi dengan Bapak dan Ibu setiap hari lewat telepon, tepatnya setiap pagi. Aku selalu mengobrol dengan Bapak paling tidak satu jam biasanya. Makadari itu ketika Bapak meninggal dunia, aku sama sekali tidak merasa menyesal atau bersalah karena tidak bisa menghabiskan banyak waktu dengan Bapak karena aku ada di Jakarta dan Bapak di Lampung. Kami sudah menjalin komunikasi dan hubungan yang sangat baik di hari-hari kami dengan jarak jauh. 

Siapa lagi, ya? Ada banyak. Akhir-akhir ini aku sedang banyak menyimak pelajaran-pelajarn dari Sadhguru untuk bisa aku terapkan di kehidupan sehari-hari. 

Yang pastinya, panutanku dan pahlawanku adalah Bapak. Banyak sekali hal yang sudah aku pelajari dari Bapak dan sampai saat ini sudah aku terapkan. Bahkan bisa jadi aku karakter dan sifatku sudah menyatu dengan hal-hal yang diajarkan Bapak tanpa aku sadari. Bapak selalu mengajarkan untuk tenang (stay calm). Bapak mengajarkan untuk tidak usah muluk-muluk dalam mengejar suatu ambisi atau keinginan. Bapak mengajarkan untuk menjadi pribadi yang tegas dalam mengambil keputusan dan selalu siap menanggung segala akibat yang mungkin terjadi. Bapak mengajarkan untuk santai saja (chill out) ketika menghadapi suatu kegagalan dan terus maju ke depan dengan memanfaatkan kesempatan yang ada untuk perbaikan. Bapak mengajarkan untuk tidak pernah takut dan dihantui oleh masa depan karena yang terpenting adalah melakukan yang terbaik sekarang. Bapak mengajarkan banyak hal yang seringkali dikaitkan dengan kejadian atau peristiwa yang terjadi di masa para Nabi atau sahabat. Dan,  Bapaklah yang mengenalkan aku tentang Allah swt. dan Rasulullah saw. yang penuh cinta dan kasih sayang.

Dengan kata lain, ketika kamu ingin mengenali seseorang, salah satu caranya ialah dengan mencari tahu atau mengenali siapa panutannya. 

Dan, coba deh berhenti sejenak, siapa saja sih panutan kamu sehingga kamu menjadi dirimu saat ini?

ATLAS.ti keren! (Day 129)

Aku ke kampus agak siangan buat ikutan sesi training cara pakai ATLAS.ti buat analisa data, terutama analisa qualitative. Keren banget sih t...